Tulus Tanpa Ikhlas

Aliq Nurmawati
Makhluk paling bahagia di dunia
Konten dari Pengguna
19 Mei 2018 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aliq Nurmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Mr. Wong terlahir di Indonesia. Tepatnya 87 tahun yang lalu. Akan tetapi, keluarganya membawanya pulang ke negara asalnya yaitu negeri Panda. Pada usianya yang ke-6 tahun.
ADVERTISEMENT
Kala itu beliau tidak bisa berbahasa mandarin, atau bahasa cantonese. Menulis huruf China pun, juga tidak bisa sama sekali.
Hal itulah yang membuat kedua orang tua Mr. Wong sesegera mungkin untuk membawanya pulang. Supaya dia bisa mengenyam pendidikan di negaranya."
Cerita Nyonya Wong tentang siapa suaminya itu.
Yang sekarang telah menjadi kembang ranjang dipanti jompo.
Keluarga Wong, adalah majikanku. Tetapi lebih ku artikan mereka sebagai keluarga baruku.
Mengingat akan kebaikan mereka yang sungguh tidak pernah membedakan antara aku dengan anggota keluarga yang lainnya.
Bahkan aku lebih dekat dibandingkan anak-anaknya.
Karena memang mereka tinggal diluar negeri, dan satunya lagi tinggal diluar kota.
ADVERTISEMENT
"Tak kenal maka tak sayang." Pepatah ini dulu selalu ku jadikan pedoman.
Tapi tidak untuk sekarang, mungkin juga sampai nanti.
Hal ini ku petik dari sini.
Dari prinsip hidup Nyonya Wong.
Beliau selalu mengatakan
"Sayangi semua orang, biar semua orang juga menyayangimu. Andai kata mereka tak membalas biarkanlah, mungkin mereka belum paham akan arti sayang yang sebenar-benarnya. Lalu pergilah, pasti kelak setelah mereka paham kamu akan dicarinya."
Awalnya aku belum begitu paham dengan kalimat itu.
Tapi dari sikap beliau yang di tunjukan kepadaku membuatku lebih dari paham. Dan ingin mewarisinya.
ADVERTISEMENT
Nyonya Wong, punya banyak sahabat dari yang seumuran hingga yang lebih muda darinya.
Dan dari semua sahabatnya mempunyai pribadi yang sama dengannya.
"Baik hati dan tidak sombong."
Aku sering memberikan pujian ini melalui nyonya, dan nyonya pun, memberikan filosofinya.
"Tahukah kamu kenapa sepatu atau sandal yang telah menempel dikaki seseorang itu pasti searah tujuannya?"
"Karena mereka sepasang."
Jawabku.
"Nah, itulah juga aku dengan semua sahabatku. Karena kita sepemikiran."
Dan kami pun, saling melengkungkan bibir.
***
ADVERTISEMENT
Hari ini adalah hari pertama kunjungan ke panti menjenguk Mr. Wong.
Disepanjang perjalanan, nyonya tidak hentinya memberi arahan kepadaku tentang bagaimananya kita menuju panti itu. Yang mulai dari naik MTR, jurusan mana, lalu pindah naik mini bus, lalu memperhatikan dimana harus tombol stop didalam kendaraan tersebut. Dan Ia terhenti memberi penjelasan yang berputar-putar itu setelah ku anggukan kepala lalu dia menanyakan berapa lama aku bermukim disini;
"Lebih kurangnya sembilan tahunan."
Tangannya menimpuk pundakku, lalu tawa kita sedikit pecah. Dengan disaksikan belasan penumpang sekaligus pengemudi didalam mini bus jurusan Sawan King itu.
ADVERTISEMENT
Sesampainya dipanti.
Mataku masih tidak percaya, bahwa laki-laki yang hampir berusia seabad dan duduk dibalik jendela kaca dengan memangku dua boneka gundul itu adalah Mr Wong.
Suami Nyonya.
Ia bertepuk tangan kegirangan melihat kedatangan kami.
Mengacung-acungkan ibu jarinya. Lalu melepaskan ke dua boneka gundul dipangkuannya sembarangan.
Aku menyapanya dengan mengucapkan salam pagi kepadanya.
Tapi, hanya deretan gigi putih yang terbungkus bibir ranum tanpa bekas tembakau serta garis kerut tipis itu yang menjawabnya.
"Ayo, jawab salamnya Aliq dong. Dia, itu berasal dari Indonesia lo... Dan akan menemaniku dirumah. Lalu menjengukmu setiap saat. Kamu ingat Indonesia kan?
ADVERTISEMENT
Kamu terlahir disana lo.. Ingat nggak?"
Seikat kalimat nyonya yang memperjelaskan semuanya.
Tapi, apa yang jadi jawabannya?
Beliau malah menoleh keluar jendela, dan bersiul memanggil burung yang baru saja menggelepar dari pohon randu.
***
"Nyonya, kalau boleh tahu. Tuan Wong itu sakit apa?"
Aku berusaha memecah sepi dengan sedikit kepo, saat kuperhatikan Nyonya sedang butuh teman bicara.
"Bahasa medisnya loyan jingoi atau lebih halusnya loudoifa. Penyakit itu sangat kejam dan semua orang ketakutan, karena si penderita akan tidak mengenali siapapun itu termasuk dirinya sendiri. Tapi penyakit tersebut hanya akan menyerang mereka yang berumur panjang, minimal usia 80 tahunan keatas.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkanlah bagaimana rasanya jadi keluarganya?
Atau lebih parahnya rasanya jadi aku?
Seseorang yang lebih dari setengah abad hidup bersama.
Susah senang selalu saling berbagi, dan sekarang dia lupa siapa aku.
Aku sempat ingin mengakhiri hidupku saat tahu suamiku telah mengidap penyakit yang menakutkan ini. Tapi dunia sepertinya belum rela jika harus ku tinggal pergi.
Aku tersadar oleh anganku sendiri. Jika aku tiada siapa yang akan merawat dia?
Bukankah ini malah siksa baginya, juga anak-anakku. Disitulah aku bangkit dan berdiri.
Aku menemukan alasan hidupku lagi, yaitu merawatnya hingga akhir hayatku.
Dan doaku, semoga nyawaku tak diambilnya sebelum tugasku selesai."
Sambil matanya berkaca-kaca, nyonya menceritakan jerit hatinya kepadaku.
ADVERTISEMENT
Sementara aku, hanya bisa menyodorkan lipatan tisu yang ku ambil dari sudut meja makan yang tak jauh dari sofa tempat kita duduk.
***
Kisah pasangan yang lebih dari setengah abad ini ternyata sangat romantis, bahkan lebih romantis dari Romeo and Juliet.
Jika dilihat dari segi pandang mata telanjang sangatlah berbalik arah.
Nyonya Wong adalah seorang guru. Sedangkan Tuan Wong adalah seorang yang bergelut dengan dunia syuting dan film. Mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing dari mulai pacaran hingga pensiun itu sangat sedikit waktu bersamanya.
ADVERTISEMENT
Tapi ada satu hal yang membuatku terperangah, yaitu saat nyonya menceritakan tentang cara suaminya mencintainya.
Bak permaisuri yang dimanjakan sang raja.
Dengan mencucikan bajunya memakai tangan, karena katanya kalau menggunakan mesin cuci selain tidak bersih juga akan memudarkan warna pakaian.
Lalu tak hanya itu saja, tiap kali beliau sedang libur kerja pasti akan membereskan rumah, memasak dan membuat rapi seluruh ruangan.
Sampai-sampai nyonya itu tidak tahu apa yang namanya masak dan bersih-bersih rumah.
Pun, mengasuh ke dua puterinya. Karena Mr. Wong, sering menggendong ke dua putri kesayangannya itu ke lokasi syuting, jika memang memungkinkan.
Coba pikirkanlah perempuan mana yang tidak akan berebut perhatian dari sosok Tuan Wong ini?
ADVERTISEMENT
Tapi, bagi Nyonya Wong, semua itu menjadi siksa jika dikenang untuk saat ini.
Apalagi dengan kondisi suaminya yang semakin hari bertambah mengenaskan.
***
Pagi buta, dengan cuaca yang tidak bersahabat.
Weather dilayar androidku menunjukan angka 7° dengan kode beku. Itu artinya aku harus mempertebal bajuku. Dari ujung rambut hingga kaki.
Dasar aku yang alergi dengan musim dingin akan mengenakan tiga kali lipat dari orang-orang pada umumnya.
Semisal kaos kaki mereka cukup dua lapis aku mungkin akan tiga atau empat lapis.
ADVERTISEMENT
Telpon diruang tamu memanggil-manggil berulang kali. Langsung ku comot lalu ku tekan tombol halo, ternyata dari Rumah Sakit. Mengabarkan bahwa tuan Wong harus dirawat disana.
Tak lama kemudian aku dan nyonya bergegas menuju rumah sakit.
Dengan diantar city bus nomor 99 jurusan Wong Chuk Hang.
Sesampainya disana, nyonya langsung berbincang dengan dokter yang menangani Mr. Wong.
Dan aku kaget setelah melihat keadaannya, ada selang yang menancap disalah satu lubang hidungnya.
Tak lama kemudian, muncullah nyonya. Dengan muka pucat pasi, seperti kehabisan darah lalu menceritakan apa yang tadi Ia dengar dari ruang sebelah.
"Tuan, tidak bisa makan selamanya, kecuali susu. Karena ada organ pencernaanya yang sudah tidak bisa bekerja dengan normal lagi."
ADVERTISEMENT
Semangat hidup nyonya yang baru saja tumbuh, kini harus tumbang lagi.
Karena penyakit yang menyerang tubuh tuan bertambah satu biji.
Satu penyakit tidak ketemu obatnya, malah ketumpuk penyakit berikutnya yang konon juga belum ada penyembuhnya.
Ini benar-benar siksa dunia yang ditakuti banyak makhluk-Nya.
Beberapa hari kemudian tuan diizinkan keluar dari Rumah sakit. Tapi hal itu tak mampu membuat tenang hati nyonya.
Karena sekarang memberi makanan yang disukainya sudah tidak diizinkan lagi.
Dan kedua tangannya harus diikat.
Karena pihak panti takut kalau sampai tanpa sadarnya, akan mencabut selang yang menancap dihidungnya.
Hal itu adalah duka berikutnya untuk nyonya.
ADVERTISEMENT
Menambah daftar panjang catatan pahit selama Ia mendampingi orang yang sangat Ia sayangi itu.
Tugasku hanyalah menguatkannya dengan semampu bibirku mengolah kata-kata. Karena kalau ku katakan ini adalah cobaan dari-Nya belum tentu beliau akan mampu mengucap istilah pasrah yang utuh kepada Tuhan nya. Karena mereka memang seorang Atheis.
***
"Sedihku ini akan tidak berujung jika tetap melihat suamiku hidup tapi mati. Coba kamu lihat, istri mana yang akan tega melihat suaminya tangannya diikat 24jam dalam sehari, 7hari dalam seminggu dan akan 365 hari dalam setahun?"
ADVERTISEMENT
"Tidak ada yang kuat nyonya, kecuali jika hal itu telah jadi kenyataannya. Dan bukankah kamu dulu pernah bilang padaku bahwa tugas manusia itu hanya empat hal saja; lahir, tua, sakit dan mati.
Bukankah ini sebagian prosesnya?"
Kita berdua saling menunduk, diiringi pecahnya peluh dari ujung mata masing-masing.
Empat bulan kemudian.
Tepatnya pukul 06:45 pagi hari.
Pihak rumah sakit menghubungi kami, agar segera ke sana karena Mr. Wong sedang kritis.
Ku bangunkan Nyonya dengan mengabarkan hal tersebut.
Ia pun bergegas. Ku gandeng tangannya, dengan setengah berlari kita turuni tangga menuju tempat pemberhentian taxi. Tanpa memperhatikan siapa Si pengemudi itu kita langsung masuk dan duduk dan memberi isyarat agar meluncur secepatnya ke Grantham Hospital.
ADVERTISEMENT
Diantara kecepatan roda taxi yang berputar, ku perhatikan tangan sopirnya yang hanya normal sebelah.
Ternyata pengemudi ini tangan sebelah kanannya tidak bisa difungsikan lagi. Pasrahku untuk yang ke sekian kalinya hanya kepada-Mu sang pemilik bumi langit. Jangan sampai Nyonya tahu, karena kalau sampai beliau tahu pasti akan membuatnya bertambah panik.
"Alhamdulilah kita selamat."
Bisikku dalam hati setelah sampai di tempat tujuan.
Rumah sakit yang berlokasi diantara bukit dan pegunungan itu, masih sunyi sekali.
Kanan dan kiri yang memenuhi hanya sepi.
Aku dan nyonya mendadak bisu.
Hanya sesekali mata dan tangan ini yang bicara saling mengerdip atau menggandeng.
ADVERTISEMENT
Pintu rumah sakit belum terbuka lebar, pertanda jam kunjung belum terjadwal.
Dan hanya pengunjung tertentu saja yang diizikan masuk.
Tanpa menunggu perintah dari perawat aku dan nyonya masuk saja ke ranjang dimana Mr. Wong ditempatkan.
Dalam kebingungan kutemukan sosok lelaki hampir seabad itu tersenyum, tanpa ada selang yang menyumbat di lubang hidungnya. Tapi tubuhnya tak lagi bergerak, kulitnya menguning pucat bak mayat.
"Kalian berdua keluarganya?
Maafkan kami yang belum mampu menyelamatkan nyawa suami anda nyonya. Tadi pukul 06:45 adalah terakhir beliau menghembuskan nafasnya."
Ruangan ini gelap seketika, yang tertinggal hanya derai air mata yang jatuh dari pipiku dan nyonya.
ADVERTISEMENT
Ku peluk nyonya dengan bisikan-bisikan kekuatan.
Supaya beliau ikhlas menerima kepergian tuan.
Tapi apa jawabnya;
"Aku memang tulus mencintainya tapi tidak pernah ikhlas jika harus ditinggalkannya." (*)
Northpoint, HongKong 19/05/18