PKI, Gatot dan Politik Playing Victim

Alja Yusnadi
Kolumnis, tinggal di Aceh
Konten dari Pengguna
28 September 2020 6:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alja Yusnadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Stop Politik Playing Victim (Foto: Nusantaranews)
Oleh: Alja Yusnadi
September adalah bulan yang paling riyuh dengan isu PKI. Apalagi, kalau ada pilpres, pilleg maupun pilkada yang jadwalnya dekat-dekat dengan September. PKI dijadikan narasi untuk menghantam lawan politik.
ADVERTISEMENT
Perihal ini, dapat kita maklumi. 55 tahun yang lalu, di penghujung September, PKI melakukan pemberontakan, menculik para Jendral.
Setelah itu, Soeharto berkuasa. Melalui rezim Orde Barunya, menyulap PKI sebagai entitas yang paling hina di Republik ini. Padahal, pada pemilu 1955, PKI menjadi partai politik yang mendapat suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi, NU.
Banyak pentolan PKI yang dibunuh tanpa pengadilan. Bahkan, simpatisan atau masyarakat yang namanya tercantum sebagai penerima bantuan dari PKI ikut di jagal. Siapa saja yang dituduh terlibat--baik secara idiologis maupun biologis--ditandai sebagai eks tapol, yang menjelang pemilu diungsikan ke kantor serdadu terdekat.
Banyak cara untuk merayakan kehancuran Partai Komunis itu. Salah satunya dengan cara mengingat setahun sekali. Pemerintah membiayai sebuah proyek pembuatan film tentang kekejaman PKI.
ADVERTISEMENT
Film yang disutradarai oleh Arifin C Nor ini menelan biaya hampir 1 milyar rupiah. Sejak tayang perdana 1984, secara berturut-turut TVRI sebagai satu-satunya televisi pada saat itu menayangkan film PKI, sampai Orde Baru runtuh.
Terlepas dari kontennya yang mengandung polemik, ternyata film begitu ampuh untuk membentuk imajinasi kolektif sebuah bangsa.
Bagi generasi yang lahir setelah peristiwa itu terjadi, tentu film karya Arifin C Nor itu menjadi referensi tunggal dalam memahami sejarah PKI.
Saya masih ingat, awal 90-an, menyaksikan Subah Asa berpidato “Jakarta adalah Kunci” melalui televisi hitam putih. Bagaimana sadisnya pemeran tokoh PKI dalam film tersebut, menyayat, mencongkel, membunuh.
Anak-anak seusia saya menontonnya berulang, setiap tahun. Jadilah PKI dalam bayangan saya seperti yang dalam imajinasi Arifin C Nor, sampai menemukan referensi pembanding.
ADVERTISEMENT
Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI sudah dua kali melakukan pemberontakan: 1927 dan 1948, dan kedua-duanya gagal. Kalau menurut Tan Malaka, aksi setengah matang.
PKI sebagai partai dan ajaran telah dilarang di Indonesia. Tidak ada satu partai politik dan organisasipun yang mencantumkan komunis sebagai idiologinya. Namun, dalam perjalanannya, isu PKI masih saja diangkat kepermukaan.
***
Tahun ini, saya perhatikan intensitas PKI-PKI-an agak berkurang, mungkin sebab Korona. Salah satu yang masih menggunakannya adalah Gatot Nurmantyo (GN).
Menurut GN, pemberhentian dirinya dari Panglima TNI ada hubungan dengan perintah menonton film Pemberontakan G 30 S/PKI. GN, diakhir masa jabatan memang—setidaknya menurut saya—seringkali “mencari perhatian”.
Langkah GN saya tangkap sebagai upaya untuk “menjual diri”. Karena, tidak lama setelah dia purnawirawan, Indonesia akan memilih Presiden secara langsung.
ADVERTISEMENT
Nama GN mulai membumi, dia membentuk citra. Banyak intruksi Panglima yang tidak boleh diketahui mayarakat, tapi untuk perintah nonton bareng itu GN justru meriuhkannya. Padahal, kalau ditonton semalam suntukpun dan diulang-ulang setiap hari tidak ada masalah, tidak ada yang melarang.
GN mulai memainkan irama politik. Namun, tidak ada partai politik yang meminang GN untuk menjadi Capres atau Cawapres pada saat itu.
Walaupun Presiden telah terpilih, ternyata langkah GN belum berakhir. Baru-baru ini, di tengah teror Korona, GN dan kawan-kawan mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
GN dan Din Syamsuddin menjadi inisiator. Tampak, beberapa orang yang selama ini bersebrangan dengn Joko Widodo sejak Pilpres bergabung dengan kelompok ini.
Beberapa minggu setelah deklarasi KAMI, GN melanjutkan “curhat”, itulah perihal pemberhentian dirinya sebagai Panglima. Padahal, normal saja, Gatot sudah memasuki masa pensiun.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, saya melihat GN ingin mendapat simpati publik, menaikkan elektabilitas dan akhirnya dilirik oleh partai politik untuk dijadikan striker pada pilpres mendatang.
Sebagai politisi, langkah GN sudah benar, mengharap simpati publik. Dalam hal ini dia memposisikan diri menjadi korban.
Namun, GN lupa. Sekarang dia adalah politisi sipil, sama seperti yang lainnya. Memang, sebagai purnawirawan Jendral bintang empat, GN memiliki privilege.
Banyak purnawirawan seperti GN yang lebih dulu masuk gelanggang. Sebut saja Wiranto, SBY, Prabowo, Luhut, Muldoko, dan sederet purnawirawan lain yang kiprahnya berbeda-beda.
Dari sekian nama itu, baru SBY yang mampu tampil sebagai Presiden. Selebihnya, masih menjadi bagian dari tim pemenangan dan kalau jagoannya menang membantu Presiden di kabinet.
ADVERTISEMENT
Wiranto terbilang yang sangat konsisten mengikuti perpolitikan Indonesia pasca Orde baru runtuh. Pun kalau mau, Wiranto bisa saja mengambil alih kekuasaan saat Indonesia gaduh 1998.
Wiranto mau memimpin secara konstitusional. Dimulailah langkah panjang itu: Mengikuti konvensi Partai Golkar 2004,Capres Partai Golkar, mendirikan Partai Hanura pada 2006, Cawapresnya Jusuf Kalla pada Pilpres 2009.
Tidak pernah menang tidak membuat langkah Wiranto berhenti. Pada Pilpres 2014, Wiranto berencana menjadi Capres bersama Haritanoe, tapi urung, karena suara Hanura tidak cukup untuk mengusung Capres-cawapres.
Prabowo juga demikian. Pada 2004 mengikuti konvensi Capres dari Partai Golkar, kalah. Kemudian mendirikan Partai Gerindra, menjadi Cawapresnya Megawati pada Pilpres 2009, menjadi Capres 2014 dan 2019. Akhirnya, Prabowo justru menjadi menteri Pertahanan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjadi Capres tentu bukan perkara instan dan murah. Lihat saja bagaimana jalan panjang dan berliku kedua senior GN itu. Tetapi, mereka konsisten. Tetap berdiri tegak.
Cara seperti itu lebih elegan, daripada terus menerus menjadi playing victim, seolah-olah menjadi korban. Bagaimana ratusan juta rakyat akan menggantungkan harapan kepada Capres yang menjadi korban...[Alja Yusnadi]