Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berkunjung ke Molenbeek, Kota di Belgia yang Dijuluki 'Sarang Teroris'
7 Maret 2020 16:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Allessandro Bernama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Brussels, ibukota Belgia adalah salah satu hidden gem Eropa. Jalan-jalan ke berbagai sudut kota Brussels yang hanya seluas 33 km2 (setara Banyuwangi). Hal itu justru seringkali memberi kejutan dan inspirasi yang tak terduga, lebih dari sekadar bangunan indah serta surga kuliner.
ADVERTISEMENT
Sabtu sore itu di musim panas Agustus 2016, saya memutuskan untuk 'bertualang' ke Molenbeek, satu dari 19 municipalité (semacam distrik) di Brussels. Jika di-Google, memang Molenbeek bukan obyek foto yang Instagramable. Lantas, apa menariknya?
Molenbeek, Si Anak Tiri
Molenbeek yang dulunya daerah industri berat, sekarang pemukiman warga kelas menengah bawah. Tercatat memiliki pendapatan terendah kedua seantero Belgia, sepertiga populasi Molenbeek pengangguran dan 40 persen kaum pemuda tidak bekerja. Kemiskinan di distrik ini pun dianggap mendarah daging, diwariskan dari generasi ke generasi. 80 persen warganya muslim, mayoritas asal Maroko.
Molenbeek juga mendapat julukan 'sarang (breeding ground) teroris'. Waduh!
Asal muasalnya, kejadian bom Paris pada November 2015 serta ledakan bom di bandara dan stasiun metro Brussels pada Maret 2016. Sejumlah pelaku pemboman teridentifikasi sebagai warga negara Belgia yang tinggal di distrik ini. Perdana Menteri Belgia saat itu, Charles Michel bahkan menyebut bahwa hampir setiap kali ada aksi terror, ada jaringan yang berkaitan dengan Molenbeek. Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahkan menimbulkan kontroversi setelah menyebut Brussels sebagai “hellhole” (lubang neraka) akibat kejadian ini.
ADVERTISEMENT
Awalnya saya sempat berpikir panjang untuk ke Molenbeek. Apalagi nyaris setiap hari media lokal maupun internasional menayangkan aksi kejar-kejaran polisi dan terduga teroris beserta keluarganya di Molenbeek. Di banyak titik keramaian di sekitar Molenbeek, termasuk di pusat kota dan obyek wisata yang hanya berjarak 15 menit dari lokasi, saya kerap menyaksikan sendiri polisi dan tentara rutin berpatroli dalam jumlah besar dengan senjata api. Suasana di bandara nasional Zaventem bahkan tak ubahnya kamp militer.
Namun, seluruh hal itu tidak mengurungkan niat saya. “Belum lengkap ke Belgia rasanya kalau belum ke Molenbeek,” saya membatin.
Ngeri-ngeri Sedap ke Molenbeek
Sebelum ke Molenbeek, seperti biasanya setiap Sabtu siang saya ngemil di sekitar Grand Place, pusat kota dan objek wisata turis paling ngetop di Brussels.
ADVERTISEMENT
Enaknya tinggal di Belgia, sama halnya dengan di Indonesia, orang Belgia juga hobi ngemil. Berbagai kuliner lokal seperti frites (kentang goreng dengan saus mayonnaise), cokelat, wafel dipadukan dengan susu cokelat panas atau ratusan jenis bir, dapat dengan mudah ditemukan di berbagai kedai, warung, atau pun restoran.
Setelah kenyang, saya segera menuju stasiun metro terdekat. Tiba di stasiun transit Comte de Flandre yang merupakan salah satu 'gerbang' Molenbeek, jantung saya langsung berdebar saat melangkah keluar dari gerbong kereta.
Ada yang berbeda di stasiun metro bawah tanah di bagian barat ibu kota Belgia ini. Meski modern khas negara maju di Eropa, suasananya agak suram. Nyaris di setiap sudut ruangan, terpasang CCTV. Rasanya sungguh seperti berada di dalam akuarium.
ADVERTISEMENT
Lalu-lalang penumpang di stasiun juga cukup sibuk. Saya perhatikan mayoritas mereka keturunan Afrika Utara atau Turki. Rasanya tidak ada orang asli (kulit putih) Belgia. Agak sulit menebak apakah mereka penduduk setempat atau pendatang, karena tidak sedikit yang berkomunikasi dalam bahasa asal. Bahasa resmi Belgia sendiri adalah Prancis, Belanda dan Jerman.
Beberapa pria paruh baya tampak menggunakan djellaba, “gaun” khas Maroko. Sebagian besar penumpang perempuan muda maupun warga senior nampak nyaman menggunakan hijab dalam berbagai motif.
Seorang ibu muda yang sedari tadi duduk di sebelah saya di kereta metro sibuk membereskan isi kantung plastik belanja sambil menjaga stroller bayi di depannya. Sesekali ia berteriak memanggil dua anak perempuannya yang berlarian kesana-kemari.
ADVERTISEMENT
Dari gerak-gerik mereka, saya berkesimpulan mereka bukan turis.
Saya melirik telepon seluler. Rupanya perjalanan barusan hanya memakan waktu kurang dari lima menit dari stasiun Grand Place tempat saya naik. “Lho, dekat sekali tapi kok suasananya beda banget,” saya membatin.
Di pintu keluar stasiun setelah agak ngos-ngosan menaiki puluhan anak tangga, saya dihadapkan pada kantor polisi yang cukup megah. Tidak tampak ada petugas dan suasananya sangat hening.
Saya pun bergegas melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit ke town hall Molenbeek. Dalam hati saya berharap menemukan town hall khas di setiap kota Belgia, yaitu bangunan dengan arsitektur unik dan megah dikelilingi pusat keramaian seperti restoran, toko souvenir dan pusat belanja. Lumayan untuk menambah koleksi foto untuk dipamerkan di Instagram.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, bangunan town hall Molenbeek sederhana, dan lingkungan sekitarnya tak ubahnya komplek ruko (rumah kantor), mirip Pasar Jatinegara di kota asal saya, Jakarta. Pasar tumpah penuh sesak pengunjung, dengan barang-barang dagangan yang tidak pernah saya lihat di tengah kota. Harganya tentu saja lebih miring.
Sebagian besar bangunan tampak usang dan kotor. Beberapa toko kelontong menjual alat perlengkapan rumah seperti ember, panci sampai sapu lidi yang dipajang hingga memakan sebagian bahu jalan. Sungguh mirip di Jakarta.
Meski ramah, para warga setempat juga cenderung tidak banyak bicara ataupun berbasa-basi. Mereka lebih fokus mendengarkan musik kencang dari speaker di dalam toko.
Sedang asyik-asyiknya mengambil foto, hidung saya mengendus harum rempah Mediterania yang menyengat dari toko roti dan tea house a la Maroko (semacam kafe yang menyajikan teh mint dan cemilan) di berbagai penjuru. Walau sungguh penasaran, saya sedikit segan untuk masuk bahkan melirik ke jendela toko.
ADVERTISEMENT
Puas menjajal lokasi sekitar town hall, saya iseng menyusuri gang-gang pemukiman warga. Tidak banyak hal menarik untuk dilihat, sehingga kali ini kamera saya simpan di tas. Deretan apartemen seluas kurang lebih 6 km2 dengan populasi sekitar 95 ribu warga itu memang terbilang kumuh dan padat untuk ukuran Eropa.
Seluruh jendela dan pintu apartemen tampak tertutup rapat. Sesekali saya melihat sosok orang mengintip melalui jendela, barangkali terusik oleh gema suara langkah kaki saya. Beberapa pemuda tampak berkerumun sambil menghisap rokok di depan apartemen. Mereka sesekali melirik ketika saya lewat, antara curiga atau heran. Saya pun tersadar bahwa saya satu-satunya orang Asia Timur/Tenggara saat itu.
Berangkat Bawa Kamera, Pulang Bawa Kenangan
ADVERTISEMENT
Yang jelas, sepanjang perjalanan saya merasa aman, jauh berbeda dengan pemberitaan di media.
Blusukan ke Molenbeek justru menyadarkan saya, sesungguhnya masih terdapat banyak peluang kerja sama antara Indonesia dan Belgia maupun Eropa, khususnya berbagi pengalaman dalam menjembatani perbedaan dan mengatasi akar permasalahan pembangunan.
Andaikan saya lebih fasih berbahasa Prancis (bahasa yang dipergunakan mayoritas warga Brussels), barangkali saya berkesempatan mengenal warga Molenbeek lebih dekat. Bagi saya, cerita hidup mereka sangat menarik. Molenbeek mewakili salah satu potret belum tuntasnya persoalan multikulturalisme di Belgia maupun Eropa secara umum.
Hari itu, saya pribadi bersyukur telah mengambil satu langkah progresif dengan melawan “Molenbeekphobia”, rasa takut yang tidak beralasan terhadap Molenbeek. Langkah berikutnya tentu perlu pendekatan yang lebih komprehensif.
ADVERTISEMENT
Langit masih terang namun kaki saya mulai terasa pegal. Jam saya menunjukkan pukul 9 malam. Suasana di sejumlah tea house tampak semakin ramai pengunjung, namun saya memutuskan untuk pulang ke apartemen. “Lain kali saja kesini lagi pas bulan Ramadan pasti lebih seru,” ikrar saya.