Konten dari Pengguna

COVID-19 dan Semangkuk Bakso di Luksemburg

Allessandro Bernama
Penulis amatir. PNS. Diplomat.
14 Maret 2020 16:25 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Allessandro Bernama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbagai berita bombastis di media sosial soal wabah COVID-19 mengurungkan niat saya untuk ke Puncak hari ini. Saya pun memilih menghabiskan waktu bersantai di kamar, ditemani semangkuk bakso panas dan laptop, membuka foto-foto lama di media sosial.
ADVERTISEMENT
Ada satu foto yang mengusik saya. Foto lama, hampir lima tahun lalu. Di situ, saya berpose genit di depan papan penunjuk jalan di desa Schengen, Luksemburg.
Penulis berpose di depan salah satu ladang di desa Schengen, Luksemburg, 2016. Foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Penulis berpose di depan salah satu ladang di desa Schengen, Luksemburg, 2016. Foto: koleksi pribadi
Alam pikiran saya pun segera melanglang buana, flashback ke hampir satu dekade lalu, di suatu akhir pekan musim semi April 2011.
Hari itu, saya pertama kali tiba di Luxembourg City, ibukota Luksemburg yang merupakan salah satu Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) UNESCO.
Ditemani seorang rekan, kami baru saja turun dari kereta api asal Den Haag. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, langit masih gelap dan suasana di sekitar sangat sepi. Kami pun masih menahan kantuk karena harus berangkat sebelum subuh.
Kereta api Luksemburg. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Di dalam hati, saya histeris kegirangan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya bisa menjejakkan kaki di Luksemburg.
Meski hanya menghabiskan setengah hari di pusat kota, koleksi foto-foto perjalanan saya ke Luksemburg “panen” likes di Facebook, media sosial paling digandrungi saat itu.
“Di mana itu Luksemburg?” tulis seorang kerabat, yang sepertinya jarang memanfaatkan layanan Google.
Pemandangan dari atas bukit ke lembah di pusat kota Luxembourg City. Foto: koleksi pribadi
Memang, agak sulit menemukan microstate (negara mini) satu ini di peta dunia, bahkan peta Eropa. Luasnya hanya sekitar 2.500 km2, kurang lebih sebesar Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara sana.
Beberapa orang Indonesia yang saya kenal rajin ke Eropa pun, rupanya banyak yang belum pernah ke Luksemburg.
Padahal, negara ini berbatasan langsung dengan Belgia, Perancis dan Jerman. Bandar udara internasional Luksemburg juga melayani rute ke hampir setiap negara di Eropa hingga Maroko, Turki dan Uni Emirat Arab.
Saat cuaca bersahabat, warga Luxembourg City memilih bersantai mendengarkan konser gratis di pusat kota. Foto: Pixabay
Malam itu di dalam gerbong kereta dalam perjalanan pulang menuju Den Haag, sambil menatap layar telepon menghitung likes, dalam hati saya berharap suatu saat dapat kembali berkunjung ke Luksemburg.
Istana Harya Patih Luksemburg yang sederhana di tengah kota Luxembourg City, bertetangga langsung dengan pusat keramaian. Foto: koleksi pribadi
Mudik ke Luksemburg
ADVERTISEMENT
Beruntung lima tahun setelahnya, saya ditugaskan sebagai diplomat selama 3 tahun (2016-2019) di KBRI Brussel, Belgia yang juga merangkap Luksemburg.
Bolak-balik ke Luksemburg? Mengutip istilah millennials, “Ahsiaaaaap!”
Selama di Belgia, saya sering berkelakar ke kerabat di Indonesia, buat warga Belgia, Luksemburg itu ibarat Puncak-nya warga Jakarta.
Memang, di akhir pekan jika waktu cukup senggang, saya dan rekan kantor hobi berwisata ke berbagai kota di Luksemburg. Maklum saja, jarak tempuh dari Brussels rata-rata hanya 2 jam dengan menggunakan mobil, dan sedikit lebih lama apabila naik bis atau kereta.
Berhubung hari ini saya tidak bisa ke Puncak, saya akan mencoba berbagi sedikit pengalaman menarik tentang Luksemburg, Puncak-nya Belgia.
Kecil-kecil cabe rawit
ADVERTISEMENT
Seperti halnya Singapura di antara Indonesia dan Malaysia, Luksemburg “nyempil” di antara Belgia, Prancis dan Jerman.
Posisi Luksemburg di antara negara-negara di Eropa. Foto: Google Map
Berbeda dengan Belgia atau Belanda yang cenderung landai, mayoritas wilayah Luksemburg berupa pegunungan, bukit dan lembah terjal. Hutannya juga rimbun dan hijau, persis di Puncak.
Kondisi alam yang sedemikian strategis, menjadi pilihan tepat untuk mendirikan benteng pertahanan (fortress), tatkala Eropa sedang gemar-gemarnya berperang.
Saat ini di tengah kota Luxembourg City, masih berdiri tegak sisa-sisa struktur bangunan benteng seperti Casemates du Bock dan Fortress of Luxembourg, dengan lorong panjang dan berliku yang sangat terawat.
Cobalah susuri untuk memperoleh pemandangan indah kota dari berbagai sudut. Semakin sore, suasana misterius di lorong-lorong juga menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung yang ingin menguji nyali.
Pemandangan dari atas bukit di Luxembourg City yang terpisah menjadi dua bagian dan terhubung oleh landmark Jembatan Adolphe. Foto: koleksi pribadi
Meski kecil, Luksemburg berperan penting sebagai salah satu founding members (pendiri) kerja sama Benelux yang juga menjadi cikal bakal Uni Eropa. Mantan Perdana Menteri Luksemburg Jean-Claude Juncker tercatat menjabat Presiden Komisi Eropa, badan eksekutif tertinggi hingga akhir 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Sejumlah institusi utama Uni Eropa, antara lain European Court of Justice, European Investment Bank dan Secretariat of the European Parliament berkedudukan di Luxembourg City. Hal ini semakin mempertegas kedudukan Luksemburg sebagai salah satu ibukota penting Eropa, selain Brussels (Belgia) dan Strasbourg (Prancis).
Luksemburg juga terkenal sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Pasca hasil voting Brexit pada Juni 2016, Luxembourg City bahkan “digadang-gadang” sebagai “the next London”.
Satu-satunya Keharyapatihan di Dunia
Berbeda dengan monarki Eropa lainnya (Belgia, Denmark, Inggris, Norwegia, Spanyol dan Swedia), Luksemburg adalah satu-satunya Keharyapatihan (Grand Duchy) yang tersisa di dunia.
Pada abad ke-19, tercatat ada 14 Keharyapatihan di seluruh benua Eropa, namun saat ini melebur menjadi bagian dari Finlandia, Italia, Jerman dan Lithuania.
ADVERTISEMENT
Nama resmi negara ini adalah “Groussherzogtum Lëtzebuerg”, atau Keharyapatihan Luksemburg. Bentuk negaranya monarki konstitusional dengan demokrasi parlementer, yang dipimpin Perdana Menteri selaku Kepala Pemerintahan.
Grand Duke Luksemburg, Henri dan isterinya Grand Duchess Maria Teresa. Foto: Pixabay
Peran Kepala Negara dijalankan oleh Harya Patih (Grand Duke) Henri, yang naik tahta pada tahun 2000. Harya Patih sendiri adalah gelar bangsawan Eropa satu tingkat lebih rendah dari Raja/Kaisar namun setingkat lebih tinggi dari Pangeran. Bilamana seorang Raja dipanggil “Your Majesty”, maka sapaan untuk seorang Harya Patih adalah “Your Royal Highness”.
Lho kok sama dengan Pangeran Charles dan Pangeran William dari Inggris? I know, it's complicated.
Kiri ke kanan: Perdana Menteri Xavier Bettel, Pangeran Guillaume (Hereditary Grand Duke), Grand Duchess Maria Teresa, Grand Duke Henri, Puteri Stéphanie (isteri Pangeran Guillaume), dan Deputi Perdana Menteri Étienne Schneider saat perayaan Hari Nasional Luksemburg 2018. Foto: koleksi pribadi
Isteri Harya Patih Henri, Grand Duchess María Teresa lahir di Havana, Kuba. Oleh karenanya, pernikahan keduanya menjadi berita bombastis saat itu bagi keluarga kerajaan dan masyarakat Luksemburg.
ADVERTISEMENT
Keduanya memiliki 5 orang anak (bergelar Pangeran dan Puteri), 2 di antaranya menikah dengan bangsawan Belgia dan Jerman.
Tidak kalah bombastis, baik Perdana Menteri Luksemburg saat ini, Xavier Bettel maupun Deputi Perdana Menteri Étienne Schneider secara terbuka menikahi pasangan sesama jenis masing-masing.
Perdana Menteri Bettel bahkan adalah pemimpin Eropa pertama yang menikah sesama jenis pada 2015.
Tajir Melintir
Luksemburg saat ini menjadi negara terkaya di dunia berdasarkan GDP per kapita (US$ 113 ribu). Upah minimum pekerja bahkan nyaris mencapai 2.000 euro per bulan.
Minimnya sumber daya alam menjadikan negara ini unggul di sektor jasa, khususnya jasa keuangan, logistik dan teknologi.
Luksemburg saat ini bahkan tercatat sebagai pusat keuangan Syariah ketiga terbesar di dunia setelah Arab Saudi dan Malaysia. Hal ini menarik karena 87% masyarakatnya justru beragama Katolik.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya indah, Luxembourg City juga menjadi pusat finansial dunia yang sangat sibuk. Foto: Pixabay
Tentu saja biaya hidup di negara ini juga tinggi, khususnya biaya sewa akomodasi. Apalagi ditambah semakin meroketnya harga properti akibat Brexit. Posisi Luksemburg yang landlocked (seluruhnya daratan tanpa akses ke laut, serta dikelilingi pegunungan) juga menyebabkan tingginya biaya logistik dan transportasi kebutuhan sehari-hari.
Meski begitu, biaya sehari-hari relatif tidak jauh berbeda dengan kota besar Eropa lainnya. Selalu ada restoran McDonald’s serta KFC untuk kalangan “cari aman”. Jangan lupa, mata uang yang diterima disana adalah Euro.
Kangen ngobrol atau makan masakan Indonesia di Luksemburg? Data terakhir KBRI Brussel, komunitas WNI di negara tersebut cukup besar. Jadi, sebelum ke Luksemburg pastikan untuk mampir atau kontak KBRI Brussel ya, hitung-hitung silaturahmi dan memperluas networking di Luksemburg.
ADVERTISEMENT
Bahasa Mempersatukan Bangsa
Luksemburg memiliki bahasa nasional: Bahasa Luxembourgish.
ADVERTISEMENT
Bahasa ini diajarkan sejak taman kanak-kanak. Bahasa resmi lainnya, Prancis dan Jerman, diajarkan mulai di tingkat sekolah dasar. Secara garis besar, Bahasa Luxembourgish memiliki kemiripan dengan bahasa Jerman.
Fakta ini cukup unik. Sebagai ilustrasi, penduduk Luksemburg hanya 5% dari total populasi Belgia, negara tetangganya. Belgia memiliki 3 bahasa nasional yaitu Prancis, Belanda dan Jerman, namun tidak ada “Bahasa Belgia”.
Bendera Luksemburg (mirip dengan bendera Belanda, hanya dengan warna biru muda dan bukan biru tua) dan miniatur patung Gëlle Fra, symbol penghormatan bagi ribuan prajurit Luksemburg yang tewas saat Perang Dunia I). Foto: koleksi pribadi
Salah satu alasan utama wajib digunakannya Bahasa Luxembourgish adalah untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat.
Hal ini tidak lepas dari sejarah Luksemburg yang berulang kali dijajah kekuatan besar Eropa termasuk Prancis, Spanyol, Austria. Pengalaman pahit ini tercermin dari semboyan negara “Mir Wëllebleiwewatmirsir” yang berarti “we want to remain what we are” (kami ingin tetap menjadi apa adanya/merdeka).
ADVERTISEMENT
Mayoritas penduduk Luksemburg sangat fasih berbahasa Inggris.
Hobi Ngebut
Sejujurnya, cara terbaik untuk menikmati pemandangan alam Luksemburg adalah dengan kendaraan pribadi.
Hamparan gunung, hutan, bukit, sawah dan ladang serta arsitektur bangunan kuno di sepanjang perjalanan, ditambah lagi jalanan yang mulus rasanya membuat saya betah berlama-lama menyetir dengan kecepatan rendah, sambil sesekali berhenti untuk mengambil foto.
Sayangnya, dari pengalaman saya nampaknya salah satu hobi warga Luksemburg adalah mengebut di jalan raya. Kecepatannya tidak tanggung-tanggung, di atas 100 km/jam, bahkan di jalan sempit pedesaan. Saya pun terpaksa harus menyesuaikan agar tidak dimaki-maki dari belakang. Tidak ada adegan road trip seru Instagrammable a la film-film Hollywood.
Mayoritas penduduk negara ini juga memang lebih memilih kendaraan pribadi sebagai alat transportasi utama. Meski jarak antar kota tidak jauh, perjalanan dengan transportasi publik seperti kereta dan bis seringkali kurang efisien karena alam pegunungan Luksemburg.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya di Luxembourg City, semakin jarang tampak kendaraan pribadi.
Bis dalam kota Luxembourg City yang nyaman dan bersih serta gratis. Foto: Pixabay
Sejak awal 2020, layanan bis dan tram dalam kota telah digratiskan.
Hal ini untuk mengurangi kemacetan akibat banyaknya commuter (penglaju) dari luar Luksemburg yang menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja di tengah kota. Akibatnya, kota Luksemburg City yang sangat mini tidak tambah sesak.
Stasiun dan terminal kendaraan umum seperti bis dan kereta sudah terintegrasi dengan layanan transportasi publik lainnya. Para pejalan kaki juga dapat dengan mudah dan aman melalui jalur khusus pejalan kaki ke tengah kota.
Bagaimana dengan pesepeda? Siap-siap ngos-ngosan, karena jalan di Luksemburg City umumnya sangat terjal dan berbukit.
Schengen
Luksemburg adalah anggota Schengen zone, sehingga turis wajib memiliki visa Schengen untuk memasuki negara ini. Namun tidak ada pos imigrasi di perbatasan darat.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika menggunakan kendaraan pribadi, bis atau kereta dari Belanda, Jerman atau Perancis untuk ke Luksemburg, tidak ada pemeriksaan oleh petugas. Silahkan lewat dengan bebas.
Selain Luxembourg City, salah satu tempat yang paling indah dan bersejarah yang wajib dikunjungi apalagi dengan kendaraan pribadi adalah desa Schengen.
Tidak banyak yang tahu, Schengen adalah nama sebuah desa kecil di ujung tenggara Luksemburg, berbatasan dengan Jerman dan Perancis.
Luasnya sekitar 32 km2 dengan populasi 4.800 orang.
Sejauh mata memandang, kota ini hanya berupa hamparan sawah dan ladang anggur yang indah. Kota ini disusuri oleh sungai Moselle yang melewati tiga negara, Luksemburg, Jerman dan Perancis.
Pemandangan desa Schengen yang asri dan tenang. Foto: Wikipedia Commons
Di sungai Moselle dekat desa Schengen inilah, pada 14 Juni 1985 di atas kapal Princess Marie-Astrid, dokumen Schengen Agreement ditandatangani oleh 5 dari 10 anggota (saat itu) Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE, yaitu Belanda, Belgia, Luksemburg, Perancis dan Jerman Barat.
ADVERTISEMENT
Perjanjian ini adalah cikal bakal kesepakatan bebas visa Schengen kelak, dengan secara bertahap menghapus aturan pengecekan di perbatasan serta harmonisasi kebijakan visa di negara-negara anggota MEE.
Sebagai tribute dari peristiwa bersejarah ini, pada 2010 dibangun European Museum Schengen di bibir sungai Moselle di pusat kota Schengen.
Kastil Schengen di dekat European Museum Schengen, kecil tapi sangat Instagrammable. Foto: Wikipedia Commons
Bagi penikmat sejarah, museum ini wajib dikunjungi. Tidak hanya memajang dokumen-dokumen bersejarah seperti paspor dan mata uang Euro dari waktu ke waktu, di tempat ini pengunjung juga dapat berfoto di photo booth dan mencetak “Paspor Schengen” untuk kenang-kenangan.
Monumen di depan European Museum Schengen dengan kunci gembok yang dipasang pengunjung dari berbagai negara. Foto: Wikipedia Commons
Kastil
Indahnya alam Luksemburg juga semakin lengkap dengan berbagai kastil tua yang tidak kalah menarik dan bersejarah. Antara lain yang pernah saya kunjungi yaitu Vianden Castle, Hollenfels Castle dan Clervaux Castle.
Vianden Castle yang megah dan misterius. Foto: Pixabay
Uniknya, bangunan monastery di sebelah Hollenfels Castle bahkan beralih fungsi menjadi hostel. Harganya murah sekali, meski harus berbagi fasilitas umum seperti kamar mandi dan ruang makan. Namun soal kebersihan dan kualitas pelayanan jangan ditanya, benar-benar kelas biarawan!
ADVERTISEMENT
Pemandangan alam pegunungan di sekitar kastil juga begitu indah, terutama saat musim gugur dengan warna-warni dedaunan.
Senja yang cantik di kastil Hollenfels. Foto: Wikipedia Commons
Meski begitu, waktu terbaik berkunjung ke Luksemburg adalah setiap 23 Juni, saat perayaan Hari Nasional Luksemburg. Di pusat kota, biasanya terdapat parade dan festival musik besar-besaran untuk merayakan hari ulang tahun Harya Patih.
Anehnya, baik Harya Patih Henri maupun para pendahulunya tidak satupun yang berulang tahun pada 23 Juni. Tanggal ini ditetapkan sebagai tribute kepada Harya Patih Charlotte yang paling lama memerintah Luksemburg… yang lahir pada 23 Januari. Waduh.
Usut punya usut, sejak tahun 1962 waktu perayaan dipindah ke 23 Juni di musim semi agar cuaca lebih bersahabat dan lebih meriah.
Bayangkan tinggal di Vianden Castle... betah atau bosan? Foto: Wikipedia Commons
Factory outlet
ADVERTISEMENT
Harus diakui, tempat singgah paling favorit turis Indonesia di Eropa selain obyek foto dan pusat kuliner adalah factory outlet (FO). Nah, beruntung di sekitar Luxembourg City, ada 2 FO yang akan membuat perjalanan ke Luksemburg semakin lengkap, apalagi jika daftar oleh-oleh dari teman dan keluarga cukup panjang.
Yang pertama ialah Villeroy & Boch (Factory Shop), perusahaan alat makan dan perkakas rumah tangga berbahan keramik asal Jerman.
Lokasinya hanya 10 menit dari pusat kota Luxembourg City. Disini banyak tersedia produk berkualitas tinggi dengan harga miring. Pada hari tertentu, pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatan keramik mereka.
Sekitar 30 menit dari Luxembourg City ke arah barat di sekitar perbatasan Luksemburg-Belgia, ada FO McArthurGlen Luxembourg.
ADVERTISEMENT
Di sini, pengunjung dapat membeli berbagai produk berkualitas merk dunia seperti Hugo Boss, Calvin Klein, Tommy Hilfiger, Nike, Adidas, dengan "harga silaturahmi".
Suasana FO di Luksemburg. Foto: Tripadvisor
Meski lokasinya di Luksemburg, bisa dipastikan tidak ada yang berbahasa Luxembourgish di tempat ini. Hal ini karena FO ini sudah tidak lagi berada di negara Luksemburg, melainkan provinsi Luksemburg di selatan Belgia (Belgian Luxembourg).
Halah. Bingung? Maklum saja sejak berdiri pada tahun 1815, wilayah Luksemburg sempat dipartisi dan sebagian menjadi provinsi Belgia pada 1839. Jadi jangan sampai salah tujuan ya jika hendak menuju Luksemburg dari Belgia.
Makan bakso
Ada satu lagi tradisi rutin yang saya selalu lakukan setelah seharian menikmati pemandangan indah Luksemburg dan “cuci mata” di FO: makan bakso.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, bakso yang saya maksud adalah Swedish meatballs. Lokasinya? Tentu saja di IKEA, yang memiliki cabang di kota Arlon, ibukota Belgian Luksemburg. Lokasinya 10 menit dari FO. Ini menjadi menu andalan saya karena opsi kuliner di FO kurang dapat diandalkan.
Swedish meatballs IKEA yang hangat, sederhana namun lezat. Foto: Wikipedia Commons
Slurp… tanpa tedeng aling-aling, dalam 5 menit saya habiskan bakso tadi. Sungguh klop untuk mengakhiri hari yang indah dan membuat badan saya kembali segar untuk melanjutkan perjalanan ke Brussels.
Kembali ke Laptop
Krrriiiukkk…”
Rupanya napak tilas ngebakso ke Luksemburg tadi membuat perut saya lapar lagi.
Tidak terasa, beberapa jam telah berlalu sejak saya membuka laptop. Bakso di piring sudah habis tak tersisa.
“Hmm, gak apa-apa hari ini batal ke Puncak, besok ke IKEA ah makan bakso,” ujar saya sambil mengharapkan mukjizat, besok wabah COVID-19 sudah tertangani dengan baik dan saya bisa jalan-jalan bebas lagi.
ADVERTISEMENT