Dilema Batubara: Musuh Bersama yang Dicinta

Venessa Allia
Environmental Analyst in Ministry of Energy. Drive and write to relieve stress.
Konten dari Pengguna
18 Juli 2021 14:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Venessa Allia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan pertambangan di Kalimantan Selatan. Sumber Foto: Dominik Vanyi via Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan pertambangan di Kalimantan Selatan. Sumber Foto: Dominik Vanyi via Unsplash
ADVERTISEMENT
Dua minggu lalu, akun instagram saya cukup ramai dengan unggahan beberapa teman yang memuat ulang (repost) berita dari Greenpeace Indonesia, sebuah non-government organization (NGO) yang fokus pada kampanye lingkungan. Organisasi tersebut menyatakan bahwa Indonesia bersama Cina, India, Vietnam dan Jepang dapat menjadi negara penyebab gagalnya Perjanjian Paris. Kelima negara Asia tersebut dinilai mengancam upaya pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Greenpeace tersebut didasari oleh kebijakan Indonesia dan empat negara lainnya yang masih mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sebagaimana yang kita ketahui, sumber energi utama dari PLTU adalah batubara yang memiliki nilai faktor emisi CO2 tinggi. Merespons dampak perubahan iklim yang semakin nyata, banyak negara maju yang menyatakan keberatan terhadap komoditas batubara, salah duanya adalah Inggris dan Kanada.
Inggris dan Kanada merupakan dua negara yang masuk dalam kelompok G7, atau tujuh negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Kedua negara tersebut telah menyatakan penolakan terhadap proyek berbasis batubara. Hal senada juga dinyatakan oleh Asian Development Bank (ADB) yang akan menghentikan pembiayaan kepada kegiatan pertambangan batubara, minyak dan gas bumi.
ADVERTISEMENT
Batubara telah menjadi musuh bersama bagi negara-negara pemegang modal, uniknya kecuali Amerika Serikat dan Jepang yang masih mendukung penggunaan energi fosil. Ketidakberpihakan terhadap energi fosil relatif lebih mudah dilakukan oleh negara maju karena tidak terlalu memusingkan dampak ekonomi. Sementara bagi Indonesia, batubara tidak bisa semata-mata dilihat sebagai lawan.

Komoditas Dibuang Sayang

Di balik ratifikasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta strategi penurunan emisi yang telah disusun pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), para regulator tetap saja tidak bisa mengorbankan energi fosil secara drastis. Ibarat dibuang sayang, cadangan batubara di negeri ini tercatat masih tinggi dan pemerintah membutuhkan penerimaan dari sektor tersebut.
Berdasarkan publikasi Direktorat PNBP Kementerian Keuangan tahun 2020, industri batubara merupakan kontributor PNBP terbesar dari sektor sumber daya alam non migas sub sektor minerba yaitu sebesar 70-80%. Dengan demikian, dari total 34,6 triliun penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara di tahun 2020, minimal 24 triliun rupiah disumbang industri batubara. Sungguh bukan angka yang sembarangan.
ADVERTISEMENT
Dilema batubara tidak berhenti sampai di situ. Dari sisi penyediaan listrik, batubara menjadi tulang punggung operasi PLTU yang proporsinya mencapai 48% penyediaan tenaga listrik nasional. Hal ini sepertinya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pengharaman PLTU di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 hanya berlaku untuk 54 pembangkit yang belum berkontrak. Menurut Greenpeace, jumlah ini hanya sekitar 4,4% dari total proyek pembangunan pembangkit 35.000 MW. Di sini semakin terlihat bahwa republik kita masih cinta dengan batu bara.

Batubara, Listrik dan Energi Terbarukan

Di kolom komentar konten Greenpeace yang saya singgung di atas, banyak warganet yang mengaitkan potensi Indonesia menggagalkan Perjanjian Paris dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Isu perubahan iklim dan EBT memang layaknya sahabat karib yang selalu dihubungkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Bicara soal EBT, Indonesia boleh jadi sangat kaya dengan potensi energi terbarukan, tapi banyak pilihan terkadang tidak membuat masalah jadi lebih gampang. Masalahnya, EBT bukanlah solusi tanpa problematika sama sekali mengingat setiap EBT punya keterbatasan sendiri-sendiri.
Misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang sifatnya sangat site specific, hanya bisa diandalkan untuk daerah-daerah tertentu dengan potensi angin yang cukup. Demikian juga tenaga surya yang sifatnya inkonsisten dan membutuhkan base load karena teknologi baterai masih tergolong mahal.
Sementara itu, energi panas bumi yang potensinya sangat tinggi di Indonesia masih sering mendapat penolakan dari masyarakat, belum lagi jika lokasinya berada di area konservasi. Di sisi lain nuklir, sepertinya belum menjadi potensi yang diperhitungkan secara serius karena potensi katastrofe dan trust issue yang dimilikinya. Ujung-ujungnya opsi yang dimiliki adalah gas dan diesel yang masih termasuk energi fosil walau memang lebih rendah emisi dibanding batubara.
ADVERTISEMENT
Dilema pemanfaatan batubara memaksa pemerintah untuk mencari jalan tengah. Kementerian ESDM sebagai pengampu sektor pertambangan dan ketenagalistrikan dituntut menyusun strategi terbaik di tengah pro kontra yang ada. Saat ini, solusi yang sedang banyak dibahas adalah integrasi PLTU dengan teknologi lain, misal co-firing atau dengan teknologi Carbon Capture Utilization Storage (CCUS).
Co-firing merupakan penambahan pelet biomassa sebagai bahan substitusi sebagian batubara pada operasi PLTU. Sementara CCUS merupakan teknik penginjeksian emisi CO2 ke dalam reservoir lapangan minyak dan gas bumi. Semua cara tersebut tentunya memiliki konsiderasi yang perlu dipikirkan matang, baik dari sisi biaya, infrastruktur dan keberlanjutan.
Pengaturan energi fosil di Indonesia terutama batubara memang sangat dilematis. Barang ini bisa jadi musuh bersama di banyak negara, tapi faktanya masih dicintai di Indonesia. Harus ada solusi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan: kebutuhan masyarakat akan listrik, potensi PNBP, tuntutan perubahan iklim dan desakan masyarakat global. Kompleksitas ini yang sering dilupakan oleh sebagian besar orang yang cenderung memandang permasalahan dari sudut tunggal.
ADVERTISEMENT
Isu perubahan iklim memang humanis dan protagonis, tapi kebijakan yang benar tidak bisa hanya berat di satu sisi. Perlu pandangan yang menyeluruh dan mempertimbangkan setiap risiko yang ada. Pemerintah tetap harus mendengarkan masukan dari semua pihak, termasuk NGO, negara maju, atau development bank sekalipun, tapi pada akhirnya tidak semua masukan harus ditelan mentah-mentah.
Bagaimanapun juga perkara batu bara bukanlah soal sederhana, atau kalau boleh meminjam istilah generasi milenial, batubara ini statusnya ‘it’s complicated’.