Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
"Mitos dan Fakta" Mengapa Konflik Palestina Tak Kunjung Usai?
20 Oktober 2024 10:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Allyah Azzahrah Hairuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik Palestina-Israel bermula pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika gerakan Zionisme yang bertujuan mendirikan negara Yahudi tumbuh bersamaan dengan munculnya nasionalisme Arab di wilayah Palestina.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1947, PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, untuk orang Yahudi dan untuk orang Arab. Orang Yahudi menerima rencana ini, tetapi orang Arab menolaknya.
Pada 14 Mei 1948, negara Israel diproklamasikan, yang langsung memicu perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya. Sejak itu, konflik terus berlangsung melalui beberapa perang besar, seperti Perang Enam Hari (1967).
Meski berbagai perundingan damai telah dilakukan, permasalahan seperti status Yerusalem, perbatasan, pengungsi Palestina, dan pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan tetap menjadi hambatan utama.
Beberapa mitos tentang konflik Palestina:
ADVERTISEMENT
Beberapa fakta tentang konflik Palestina:
ADVERTISEMENT
Konflik ini sangat kompleks dan dipenuhi oleh kesalahpahaman yang sering kali menyederhanakan isu-isu yang ada. Mitos-mitos yang berkembang, seperti bahwa konflik hanya tentang agama atau bahwa tidak ada pihak yang ingin perdamaian, sering kali mengaburkan realitas dan memperpanjang ketegangan.
Faktanya, konflik ini berakar dari sengketa tanah, hak menentukan nasib sendiri, dan sejarah panjang kolonialisme serta nasionalisme yang melibatkan berbagai aktor politik dan agama. Mitos juga dapat memperburuk pemahaman tentang solusi yang mungkin, seperti persepsi bahwa solusi dua negara tidak mungkin dicapai.
Untuk menyelesaikan konflik ini, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam dan faktual, serta pengakuan bahwa perdamaian hanya bisa dicapai melalui dialog yang jujur, adil, dan berbasis pada hak-hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT