Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
5 Alasan Mengapa Legasi J-Pop Memudar
2 Januari 2021 19:23 WIB
Tulisan dari Allyssa Mizardie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah J-Pop sendiri berasal dari frasa, musik populer Jepang. Menurut Wade (2005: 45), musik populer dapat dipahami sebagai musik yang mudah diterima di kalangan masyarakat yang lebih luas (Stevens, 2008: 1). Stevens (2008: 1) juga mengemukakan bahwa musik populer harus mudah diterima masyarakat tanpa membutuhkan keahlian khusus untuk mengonsumsi dan mengapresiasinya. Awalnya, yang dapat dikategorikan sebagai J-Pop hanya musik-musik bergenre pop, namun seiring berjalannya waktu, istilah ini digunakan untuk melabeli semua musik yang menduduki tangga lagu Jepang, Oricon. Dalam legasinya di Indonesia, jauh sebelum JKT48 dan AKB48 meledak, musik Jepang telah mencapai telinga masyarakat Indonesia. Terbukti dari viralnya lagu First Love yang dinyanyikan oleh Utada Hikaru dan Kokoro No Tomo-nya Mayumi Itsuwa pada tahun 1990-an bersamaan dengan musik pop barat dan lokal yang menjadi konsumsi anak-anak muda di tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
Di tengah legasinya di Indonesia antara tahun 2000 hingga 2010-an, J-Pop mengalami redup, bahkan tahtanya diambil alih oleh K-Pop pada sekitar tahun 2009 hingga sekarang. Namun, bukan berarti J-Pop lantas tidak digemari lagi. Lalu, apakah yang menyebabkan J-Pop mengalami redup di tengah legasinya di Indonesia bahkan di dunia?
Dahulu, musik selalu diproduksi dalam bentuk fisik berupa piringan hitam, kepingan CD, dan kaset yang kemudian didistribusikan ke toko-toko musik baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Seiring dengan berkembangnya teknologi, musik kini bisa diproduksi dalam bentuk digital. Melalui platform musik dan media sosial yang dewasa ini semakin marak, musik jadi lebih mudah diakses oleh seluruh kalangan. Kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh platform dan media sosial tersebut secara tidak langsung memberi akses dan kesempatan bagi oknum-oknum pembajak tidak bertanggung jawab, sehingga maraklah pembajakan. Produksi musik dalam bentuk digital juga membuat eksistensi toko dan warung rental CD musik menurun. Namun, hal itu justru tidak terjadi di Jepang. Dilansir dari cultura.id tentang bagaimana industri musik di Jepang bertahan dengan konservatisme, ketika di banyak negara toko dan warung rental CD menjadi berkurang, di Jepang justru berjumlah tetap, yaitu sebanyak 6000 toko. Jumlah itu bahkan melampaui jumlah toko CD di Amerika yang justru industri musiknya menguasai dunia.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan industri musik Jepang yang lebih memilih tetap memproduksi musik dalam bentuk CD fisik, hal ini kemudian menimbulkan peraturan dan hukum yang lebih ketat dan lebih rumit untuk hal-hal yang berkaitan dengan copyright. Jepang sangat menerapkan IPR (Intellectual Property Rights) sehingga pembajakan musik Jepang pun hampir mustahil untuk dilakukan. Bahkan, grup idola yang sudah malang melintang selama 20 tahun seperti Arashi pun baru memiliki media sosial official sejak tahun 2019 silam. Ketika banyak musisi dunia yang mendistribusikan musiknya melalui platform digital seperti Spotify dan iTunes, musisi Jepang justru memilih untuk cukup memproduksi musiknya secara fisik. Hal inilah yang membuat terkadang musik-musik J-Pop agak sulit untuk diakses. Keterbatasan akses itu merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak cipta atau copyright musisi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pemerintah Korea Selatan yang memasarkan Korea Selatan sebagai destinasi pariwisata di kancah internasional melalui K-Pop, pemerintah Jepang memilih tidak campur tangan mengenai hal itu. Itulah yang menyebabkan J-Pop lebih berorientasi secara domestik daripada secara internasional. J-Pop pun biasanya hanya diperkenalkan melalui original soundtrack atau OST dari drama Jepang atau anime, seperti Love So Sweet yang dibawakan oleh Arashi yang populer setelah menjadi OST dari drama Jepang berjudul Hana Yori Dango (Boys Over Flowers). Diikuti dengan popularitas Arashi yang melejit setelah itu.
Berkaitan dengan poin ketiga tentang pemerintah Jepang yang tidak memanfaatkan J-Pop sebagai strategi pemasaran Jepang untuk destinasi pariwisata, menurut Hong dalam Parc dan Kawashima (2018: 28), hal itu ternyata juga dipengaruhi oleh industri musik Jepang itu sendiri yang lebih memfokuskan musik di pasar domestik. Selain itu, jika ditinjau secara musikal, musik J-Pop sendiri lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang daripada masyarakat asing. Tidak seperti K-Pop yang kadang merilis lagu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, J-Pop jarang melakukan itu karena lebih memilih untuk menjaga popularitas mereka hanya di kancah domestik.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita semua ketahui, Jepang merupakan salah satu negara berpengaruh besar ketika Perang Dunia II diletuskan pertama kali pada tahun 1939. Bersama dengan Jerman dan Italia, Jepang membentuk aliansi untuk membekuk Amerika Serikat dan aliansinya walaupun pada akhirnya Jepang kalah dalam PD II. Jepang kemudian membawa luka bagi banyak pihak, khususnya negara satu kawasannya sendiri, yaitu Cina dan Korea. Hal itulah yang membuat Jepang lebih memilih memasarkan kebudayaannya secara soft power dan membuat Jepang memiliki keterbatasan dalam menyerap pengaruh barat, sehingga memilih untuk tetap mempertahankan orisinalitas musik J-Pop sebagai musik Jepang (Yang dalam Parc dan Kawashima, 2018: 27-28).
Di balik alasan tentang mengapa legasi J-Pop tidak sebesar legasi K-Pop, ternyata pasar industri musik Jepang merupakan industri musik terbesar kedua di dunia setelah industri musik Amerika Serikat menurut IFPI (International Federation of Phonographic Industry). Bahkan berdasarkan data statistik dari buku tahunan RIAJ (Recording Industry Association of Japan), industri musik Jepang berhasil meraup keuntungan sebesar 229,129 juta yen atau setara dengan 31,541 miliar rupiah di tahun 2019. Jumlah yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, berdasarkan data pada IFPI, pada tahun 2013, Jepang berhasil menduduki peringkat pertama, mendepak industri musik Amerika karena meledaknya grup idola perempuan yang salah satunya adalah AKB48.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Asai, S. (2008). Firm organisation and marketing strategy in the Japanese music industry. Popular Music, 473-485.
Cultura.id. (2019, 7 Mei). BAGAIMANA INDUSTRI MUSIK DI JEPANG BERTAHAN DENGAN KONSERVATISME?. Diakses pada 1 Januari 2021 dari https://www.cultura.id/bagaimana-industri-musik-di-jepang-bertahan-dengan-konservatisme-mereka
Kumparan.com. (2019, 16 November). APAKAH J-POP KALAH SAING DARI K-POP?. Diakses pada 1 Januari 2021, dari https://kumparan.com/kumparanhits/apakah-j-pop-kalah-saing-dari-k-pop-1sGORk5PL4E/full
Mojok.co. (2020, 25 Juli). MEMBANDINGKAN INDUSTRI MUSIK JEPANG DAN KOREA SELATAN ITU HAL YANG SIA-SIA, INI ALASANNYA. Diakses pada 1 Januari 2021 dari https://mojok.co/terminal/membandingkan-industri-musik-jepang-dan-korea-selatan-itu-hal-yang-sia-sia-ini-alasannya/
Mojok.co. (2020, 21 Juli). KENAPA INDUSTRI MUSIK JEPANG TIDAK BERKEMBANG SEBESAR K-POP?. Diakses pada 1 Januari 2021 dari https://mojok.co/terminal/kenapa-industri-musik-jepang-tidak-berkembang-sebesar-k-pop/
Parc, J., & Kawashima, N. (2018). WRESTLING WITH OR EMBRACING DIGITIZATION IN THE MUSIC INDUSTRY: The Contrasting Business Strategies of J-pop and K-pop. Kritika Kultura.
ADVERTISEMENT
Republika.co.id. (2013, 26 Juli). FAKTOR YANG BUAT PENDAPATAN INDUSTRI MUSIK JEPANG LAMPAUI AS. Diakses pada 2 Januari 2021 dari https://www.republika.co.id/berita/senggang/asia-pop/13/07/26/mqjcnd-faktor-yang-buat-pendapatan-industri-musik-jepang-lampaui-as-1
Riaj.or.jp. (2020). STATISTICS TRENDS RIAJ YEARBOOK 2020. Diakses pada 2 Januari 2021 dari https://www.riaj.or.jp/f/pdf/issue/industry/RIAJ2020E.pdf
Stevens, C. S. (2008). Japanese popular music: Culture, authenticity, and power (Vol. 9). Routledge.