Konten dari Pengguna

Ketika Sekolah Jadi Mewah: Realita Pahit Pendidikan di Tengah Ketimpangan

Alma Haerunisa
Saya mahasiswi Manajemen Pendidikan, angkatan 2024 Universitas Negeri Jakarta. Aktif dalam kegiatan organisasi, memiliki ketertarikan pada isu pendidikan dan percaya bahwa pendidikan dapat mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
7 Mei 2025 17:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alma Haerunisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap anak, bukan kemewahan yang hanya bisa dinikmati sebagian orang. Namun, di Indonesia, slogan “pendidikan untuk semua” masih jauh dari kenyataan. Di satu sisi, anak-anak dari keluarga mampu menikmati akses luas ke pendidikan dan teknologi. Di sisi lain, jutaan anak dari keluarga kurang mampu terpaksa putus sekolah demi membantu ekonomi keluarga. Ironi ini menjadi gambaran pahit ketimpangan pendidikan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Sejak masa kolonial, pendidikan di Indonesia sudah terbagi kelas. Hanya kaum priyayi dan elite yang bersekolah, sementara rakyat kebanyakan tertinggal. Meski Indonesia telah merdeka lebih dari 70 tahun, jejak ketimpangan itu masih terasa, baik dari segi akses maupun mutu pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan sekitar 8,8 juta anak usia sekolah, atau 29,21% dari total 30,2 juta anak, dilaporkan putus sekolah. Sebagian besar bukan karena kemauan, melainkan keterbatasan ekonomi. Seperti biaya transportasi, seragam, dan buku.
Anak-anak yang tak bersekolah kehilangan lebih dari sekadar pelajaran. Mereka kehilangan masa kecil dan harapan masa depan. Banyak yang tumbuh terlalu cepat, memikul beban yang tak semestinya, memperbesar risiko kemiskinan turun-temurun. Tekanan ekonomi membuat orang tua lebih memilih anaknya bekerja daripada sekolah. Karena pendidikan dianggap beban, bukan investasi.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah mengupayakan berbagai program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP). Namun, tantangan distribusi, minimnya pengawasan, serta keterbatasan guru berkualitas masih menjadi kendala besar. Di banyak daerah, sekolah kekurangan guru, buku, bahkan bangunan yang layak, sehingga kualitas pendidikan masih memprihatinkan.
Dari pengalaman pribadi, saya melihat anak-anak cerdas dan penuh semangat di sekitar saya harus putus sekolah demi membantu orang tua. Hal ini mengajarkan saya bahwa solusi pendidikan tidak bisa hanya datang dari pemerintah. Dibutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan bantuan ekonomi, pendidikan karakter, dan pemberdayaan komunitas.
Negara seperti Finlandia bisa menjadi inspirasi. Di sana, pendidikan tidak memandang status sosial. Semua anak diperlakukan setara sejak dini. Indonesia bisa belajar dari model tersebut, tentu dengan menyesuaikan pada konteks lokal. Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Ini mengingatkan kita bahwa membangun budaya belajar harus dimulai dari keluarga.
ADVERTISEMENT
Nelson Mandela juga mengatakan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Sayangnya, di Indonesia, banyak lulusan yang menganggur atau bekerja di luar bidangnya. Namun, pendidikan tetap penting untuk membentuk cara berpikir, karakter, dan membuka peluang masa depan.
Pemerataan pendidikan harus menjadi prioritas pembangunan nasional. Evaluasi kebijakan perlu dilakukan agar bantuan benar-benar tepat sasaran. Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas lokal juga penting untuk menciptakan solusi berkelanjutan. Dukungan konkret kepada keluarga prasejahtera sangat mendesak agar anak-anak tidak terus dihadapkan pada pilihan antara sekolah atau bekerja.
Selama pendidikan masih menjadi hak istimewa, mimpi tentang keadilan sosial hanya akan menjadi angan-angan. Dibutuhkan sinergi nyata antara negara, masyarakat, dan keluarga untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif dan berkualitas.
ADVERTISEMENT