Konten dari Pengguna

Ketika Fotokopi Menjadi Cermin Identitas dan Integrasi Sosial

Almaas Tifani
mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Tengah
30 April 2025 11:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Almaas Tifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Ilustrasi menunggu di toko print. Sumber: Gambar dihasilkan oleh AI melalui ChatGPT (OpenAI, 2025).
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Ilustrasi menunggu di toko print. Sumber: Gambar dihasilkan oleh AI melalui ChatGPT (OpenAI, 2025).
ADVERTISEMENT
Ketika selepas pulang kuliah, saya singgah ke satu-satunya tempat fotokopi yang berada di lingkungan kampus dan pesantren tempat saya tinggal. Tujuan saya sederhana, hanya untuk mencetak materi ujian. Namun, peristiwa kecil yang saya alami di sana justru membuka pandangan saya terhadap persoalan yang lebih besar dari sekedar urusan akademik, yakni tentang siapa kita dan bagaimana kita dapat hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
Di depan saya, ada seorang kakak tingkat ingin mengambil hasil print. Sebagai mahasiswa di kampus tersebut, ia bertindak sama dengan mahasiswa lain yakni mengimkan file-nya lebih dahulu pada operator cetak, baru kemudian mengambil hasil print mereka. Seorang operator cetak yang terlihat sedang sibuk menjilid dengan dibantu temannya, merespon dengan ketus: “Nge-print terus!.” Kakak tingkat itu mencoba menjelaskan pentingnya file yang hendak ia print, namun ia malah mendapatkan jawaban ketus, “Bukan urusanku!.” Melihat kejadian tersebut, saya yang saat itu sedang berposisi di belakangnya, mendadak kehilangan semangat untuk mencetak materi yang sudah saya siapkan. Bukan karena takut, tapi saya merasa kehadiran dan kebutuhan saya juga tidak dihargai dan tidak dianggap.
Identitas Sosial yang Terkikis
ADVERTISEMENT
Manuel Castells dalam The Power of Identity menyatakan bahwa identitas terbentuk dari proses interaksi sosial dan pengenalan diri terhadap nilai-nilai kelompok tempat ia berada. Dalam konteks kehidupan di pesantren atau lingkungan pendidikan lainnya, nilai kebersamaan, kepedulian, serta tanggung jawab sosial seharusnya menjadi identitas bersama. Tetapi, interaksi yang saya alami justru malah menunjukkan mulai terkikisnya nilai-nilai itu.
Ketika individu dalam suatu komunitas tidak lagi mencerminkan nilai kolektif yang melekat pada kelompoknya, maka itu menandakan adanya krisis identitas sosial. Operator cetak yang bersikap masa bodoh menunjukkan seolah dirinya tidak mempunyai peran dalam perjalanan belajar, padahal ia adalah bagian dari ekosistem pendidikan yang semestinya saling mendukung.
Retaknya Jaringan Integrasi Sosial
Ramlan Surbakti menyebut integrasi sebagai upaya menyatukan berbagai kelompok sosial budaya dalam satu kesatuan identitas. Sementara Christian Drake menegaskan pentingnya hubungan fungsional yang harmonis antaranggota masyarakat. Tentang bagaimana setiap bagian dalam komunitas menjalankan perannya dan saling mendukung. Jadi, ketika ada satu bagian yang merasa tidak perlu peduli atau tidak lagi menjalankan perannya, maka ikatan tersebut mulai melemah.
ADVERTISEMENT
Di sinilah letak persoalan integrasi sosial. Bukan hanya karena adanya perbedaan, akan tetapi karena tidak adanya semangat untuk saling melengkapi. Dalam skala kecil seperti lingkungan pesantren, tindakan sederhana seperti enggan membantu bisa melahirkan perasaan tidak diterima. Yang mana perasaan tersebut dapat menciptakan jarak sosial dalam jangka panjang. Kalau sudah begitu, lantas bagaimana komunitas itu bisa utuh?
Pelajaran Sosial dari Peristiwa Sehari-hari
Peristiwa ini memang tampak sepele, namun jika ditarik ke ranah yang lebih luas, peristiwa ini merupakan potret kecil dari tantangan kita sebagai bangsa. Jika di dalam komunikasi kecil saja semangat saling peduli perlahan mulai menghilang, lalu bagaimana caranya agar kita bisa membangun integrasi dalam masyarakat yang jauh lebih besar dan kompleks?
ADVERTISEMENT
Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan keberagaman, seperti keragaman budaya, agama, dan suku yang menyimpan potensi kekayaan sekaligus tantangan dalam menjaga keharmonisan. Oleh karena itu, integrasi sosial harus dibangun dari bawah, yakni dari lingkungan kecil tempat kita berinteraksi setiap hari. Kesediaan membantu, menghargai sesama, dan bertanggung jawab terhadap peran masing-masing termasuk fondasi dari integrasi yang kuat.
Dari balik mesin fotokopi, saya belajar bahwa menjaga identitas sosial dan membangun integrasi bukanlah tugas ataupun tangung jawab besar yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atau elite. Namun, sebenarnya ia tumbuh dalam tindakan sederhana yang dilakukan dengan tulus, seperti bersikap ramah, membantu teman, dan menjalani peran sehari-hari dengan sepenuh hati. Andai setiap individu mampu memerankan bagiannya dengan empati dan kesadaran, barulah kita bisa berharap hidup dalam lingkungan yang lebih utuh dan saling mendukung. Bukan hanya di pesantren atau kampus saja, tapi juga dalam masyarakat yang lebih luas. Karena perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan kesungguhan.
ADVERTISEMENT