Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlukah Peran Pemuda dalam Transisi Energi?
19 Februari 2022 7:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Almahdi Yudha Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presidensi G20 Indonesia akan mengangkat tiga isu utama yang salah satunya adalah transisi menuju energi yang berkelanjutan. Lantas, seberapa pentingkah peran pemuda dalam agenda ini?
ADVERTISEMENT
Transisi energi tidak jauh dari tren Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sumbernya bisa kita rasakan keberadaannya di sekitar kita, yaitu air, angin, panas bumi, gelombang air laut, bioenergi, dan surya. Dalam 1 dekade terakhir terjadi penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga EBT secara global yang makin dominan daripada penambahan pembangkit listrik tenaga fosil. Jika dikembangkan lebih lanjut, target net zero emission tentu bukan hal yang mustahil.
Menurut data Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ada beberapa strategi Indonesia untuk menuju net zero emission, yaitu pembangkit listrik EBT diprioritaskan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang habis masa kontraknya tidak lagi diperpanjang. Selain itu, perlu adanya inovasi kendaraan listrik, kompor listrik, implementasi smart grid and smart meter, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), dan Battery Energy Storage Systems (BESS).
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaan transisi energi menuju net zero emission membutuhkan peran berbagai pihak, di antaranya akademisi, pemangku kepentingan, pebisnis, pemerintah, dan tentu para pemuda. Pemuda adalah aset bangsa, setidaknya itu yang diharapkan oleh kita semua. Bisa dibayangkan siapa yang akan memegang peran dalam perwujudan transisi energi hingga tercapainya net zero emission di tahun 2060, siapa lagi kalau bukan para pemuda.
Pemuda merupakan penerus tongkat estafet keberlangsungan transisi energi menuju EBT hingga tercapainya net zero emission di tahun 2060. Hal ini karena sebagian besar agenda transisi energi ditujukan untuk tahun-tahun mendatang. Generasi pemangku kepentingan saat ini sudah tidak lagi muda jika harus menunggu sampai tahun 2060. Jadi, pemuda harus memiliki ide dan kemampuan lebih untuk menghadapi tantangan ini. Semuanya bisa dilakukan jika para pemuda memiliki niat dan tujuan yang jelas untuk mewujudkan net zero emission di tahun 2060.
ADVERTISEMENT
Salah satu program transisi energi yang melibatkan pemuda adalah Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya). Program yang termasuk dalam Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) ini diusulkan oleh dua kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Gerilya berfokus pada instalasi PLTS Atap pada beberapa mitra yang bekerja sama dengan Kementerian ESDM. Pelaksanaannya sendiri didukung pengajar dan mentor profesional. Program ini diadakan dalam rangka mendorong pemanfaatan energi bersih untuk mendukung bauran EBT 23% pada tahun 2025. Selain itu, Gerilya juga berguna sebagai wadah kolaborasi lintas generasi, lintas institusi, dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia dipertemukan dalam Gerilya. Dengan jumlah 57 mahasiswa dari 29 universitas di seluruh Indonesia sudah pasti banyak pandangan-pandangan kreatif dari masing-masing peserta mengenai perwujudan transisi energi. Pada program ini, peserta akan dihadapkan dengan isu-isu terkait EBT dan terkhusus pada PLTS Atap. Metode yang dilakukan antara lain mendatangkan pengajar profesional, diskusi dengan mentor, belajar mandiri, aktif menulis, dan team-based project.
ADVERTISEMENT
Semoga ke depannya program yang diadakan oleh pemerintah dapat menjangkau lebih banyak pemuda, entah dengan sosialisasi maupun program seperti Gerilya. Kita tidak boleh telanjur pesimis dengan adanya pembangkit listrik energi fosil yang masih berdigdaya dan murah. Menurut perhitungan simulasi Kementerian ESDM, cadangan batubara Indonesia akan habis pada 2096 dan dalam 11 hingga 12 tahun ke depan Indonesia tidak mampu lagi memproduksi minyak bumi. Fakta-fakta ini makin mendorong kita untuk segera menyukseskan agenda transisi energi. Dukungan teknologi dan aksi untuk memperlancar agenda ini harapannya dapat dijalankan oleh para pemuda ke depannya.
Tantangan untuk para pemuda tentu lebih berat. Tanggung jawab akan target yang perlu dicapai pada 2060 bukan masalah sepele. Sudah saatnya para pemuda bangkit dan ikut berperan serta dalam perwujudan agenda ini. Jatuh bangun adalah hal yang biasa, kita tidak akan pernah tau akan berhasil jika kita tidak memulainya. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
ADVERTISEMENT