PLTS: Solusi Energi Bersih yang Potensial

Almahdi Yudha Nugraha
Electrical Engineering Students at Diponegoro University - Clean Energy Enthusiast
Konten dari Pengguna
20 Februari 2022 14:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Almahdi Yudha Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rombongan Dirjen EBTKE dan Komisi VII DPR RI meninjau PLTS Cirata yang berkapasitas 1 MW di kawasan Waduk Cirata, Purwakarta (https://www.ebtke.esdm.go.id/gallery/album/210/kunjungan.dirjen.ebtke.bersama.komisi.vii.dpr.ri.ke.plta.cirata)
zoom-in-whitePerbesar
Rombongan Dirjen EBTKE dan Komisi VII DPR RI meninjau PLTS Cirata yang berkapasitas 1 MW di kawasan Waduk Cirata, Purwakarta (https://www.ebtke.esdm.go.id/gallery/album/210/kunjungan.dirjen.ebtke.bersama.komisi.vii.dpr.ri.ke.plta.cirata)
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki bentang daratan seluas 1,922 juta km2 yang terdiri dari 17.508 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan jumlah penduduk tak kurang dari 272 juta jiwa, dapat dibayangkan betapa besar kebutuhan energi untuk menghidupi tiap penghuninya.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia pada sektor transportasi, industri, dan listrik masih bergantung pada energi fosil yaitu batubara dan minyak bumi dengan persentase 91% di tahun 2019. Hal ini cukup beralasan, energi fosil tersedia secara luas dan lebih murah karena adanya subsidi harga. Sektor kelistrikan masih menjadi yang dominan dengan 63% di antaranya menggunakan batubara sebagai bahan bakar utama. Akibatnya, penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara menyumbangkan emisi hingga 140% dalam periode 1990-2017.
Selain dapat meningkatkan suhu global dan perubahan iklim, PLTU juga mengotori udara dengan polutan beracun seperti merkuri, timbal, arsenik, dan partikel halus yang dapat membahayakan kesehatan warga sekitar PLTU tersebut. Akibatnya, masyarakat menjadi rentan terkena kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernapasan, dan gangguan kesehatan lainnya. Jika dirunut dari proses penambangan batubara, tentu lebih banyak dampak negatif yang ditimbulkan mulai dari sisa galian tambang yang merusak muka daratan, air asam tambang, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil Conference of the Parties ke-26 (COP 26) yang dihadiri hampir 200 negara termasuk Indonesia, negara-negara terkait sepakat untuk menghentikan secara bertahap batubara. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Indonesia juga mengikutinya mulai dari sekarang.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai tanah warisan nenek moyang penuh dengan kekayaan hayati dan non hayati. Negeri tercinta ini memang dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, berbagai energi terbarukan meliputi angin, surya, bioenergi, gelombang air laut, air, dan panas bumi yang semua itu berpotensi menghasilkan 648,3 GW. Sayangnya, pemanfaatan energi yang melimpah tersebut baru 11,152 GW di tahun 2020 dengan dominasi tenaga air.
Mengingat betapa luasnya Indonesia baik daratan maupun lautan, ditambah dengan adanya sinar matahari sepanjang tahun, potensi energi surya amat besar dibanding dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya. Ini menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menggunakan energi tersebut sebagai solusi energi ramah lingkungan. Dikutip dari Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di tahun 2019 mencapai 194 hingga 655 GWp, dan baru terpasang 153,5 MW (Data Kementerian ESDM tahun 2020).
ADVERTISEMENT
Target pemerintah mengenai bauran EBT sebesar 23 % di tahun 2025 seharusnya dapat terlaksana jika menilik dari potensi yang ada. Tentu hal ini menambah kepercayaan diri berbagai pihak dalam pengembangan penggunaan energi surya di Indonesia, yang bukan tidak mungkin bahwa Indonesia dapat mengandalkan energi surya sebagai sumber pasokan pembangkitan listrik utama menggantikan batubara. Penggunaan energi surya juga dapat menjangkau daerah yang memiliki akses terbatas terhadap kelistrikan khususnya daerah-daerah di Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua yang rasio elektrifikasinya masih di bawah 70 %. Dengan demikian, ketimpangan akses listrik di Indonesia pun dapat teratasi.
Pemasangan PLTS tentu dapat menguntungkan berbagai pihak baik pemerintah maupun rakyat. Rakyat dapat menghasilkan listrik sendiri, menurunkan polusi udara, dan mengurangi emisi. Kelebihan hasil pembangkitan listrik pun dapat dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan sistem on-grid sehingga pada akhirnya bisa menjadi sumber pendapatan bagi rakyat. Dari segi pemerintah, dalam hal ini PLN memiliki keuntungan berupa pengurangan biaya bahan bakar operasional pembangkitan listrik pada siang hari. Selain itu, bagi pelaku usaha dapat ikut andil dalam menyukseskan target bauran EBT 23 % di tahun 2025 dengan memasarkan komponen PLTS itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Manfaat lain bagi PLN yaitu bisa menghasilkan listrik bersih tanpa harus membangun pembangkit dan menjualnya ke pengguna listrik, dengan artian terdapat penggunaan silang dari rakyat penyedia listrik dan PLN sebagai pihak ketiga menjual listrik ke rakyat yang belum memiliki pembangkit listrik sendiri. Namun, perlu diperhatikan lagi jika masyarakat memakai pembangkit listrik sendiri maka kebutuhan listrik PLN yang bersumber dari PLTU akan menurun. Akibatnya, PLTU tidak beroperasi sesuai kapasitasnya, hal ini menjadi risiko keuangan bagi PLN karena adanya aset terdampar.
EBT dalam hal ini energi surya perlu diperjuangkan keberlangsungannya, kita semua sadar bahwa potensi EBT di bumi pertiwi amat berlimpah jika kita manfaatkan dengan baik. Sudah saatnya pemerintah, akademisi, pemangku kepentingan, pelaku bisnis, dan masyarakat bersinergi serta gotong-royong guna mengejar target pemanfaatan tersebut. Komitmen bangsa dipadu kebijakan pemerintah merupakan langkah jelas menuju sistem energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT