Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Meninjau Ulang Sistem Pendidikan di Indonesia
20 Juni 2023 15:00 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Almasiva Tirta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem pendidikan di Indonesia belum bisa menyesuaikan tantangan zaman. Hal ini terlihat dari anggapan anak pintar hanya disematkan pada anak yang pandai dalam pelajaran matematika, mendapat nilai yang bagus di berbagai pelajaran, menuruti seluruh regulasi sekolah yang ada, serta dituntut untuk dapat menghafal materi yang diberikan oleh guru sesuai kurikulum nasional. Mereka dibentuk layaknya seorang “robot” yang diprogram sedemikian rupa agar mampu menghafal segala materi yang diberikan, sehingga banyak dari mereka yang mudah tergantikan di dunia kerja karena tidak dibekali dengan soft skill yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya berimplikasi pada jumlah tenaga kerja ahli di Indonesia. Dilihat dari latar belakang pendidikan, para TKI yang bekerja di luar negeri masih didominasi lulusan SD dan SMP dengan angka 65%, sehingga sebagian besar TKI hanya bekerja di sektor formal (sebagian besar hanya bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga atau buruh kasar). Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Bagian Humas BNP2TKI, Servulus Bobo Riti Pada tahun 2017. Sementara data yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan 65 dari 130 negara yang disurvei.
Pemeringkatan ini dilakukan berdasarkan empat indikator yakni kapasitas pekerja berdasarkan pendidikan, tingkat partisipasi kerja dan tingkat pengangguran, kapasitas kemampuan pekerja berdasarkan melek huruf dan edukasi, serta tingkat pengetahuan pekerja. Survei tersebut menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yaitu Singapura yang menduduki peringkat 11 dan Malaysia yang berada di posisi 33.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa kesalahan yang seharusnya menjadi evaluasi dan harus dibenahi dari sistem pendidikan di Indonesia. Pertama, murid di Indonesia diajarkan untuk menjadi textbook person. Semua murid di Indonesia pasti merasa bahwa jawaban yang benar adalah jawaban yang sesuai dengan apa yang dituliskan dalam teks pelajaran atau sesuai dengan pandangan gurunya.
Saya punya satu pengalaman. Ketika itu, ada soal yang menuliskan “wastafel berada di bagian.....rumah” saya menjawab berada di bagian tengah rumah, karena memang wastafel rumah saya terletak di bagian tengah rumah, antara ruang tamu dengan dapur. Namun jawaban ini disalahkan oleh guru saya karena menurut persepsinya wastafel selalu berada di bagian belakang rumah.
Agak konyol memang, tapi ini merupakan pengalaman nyata yang pernah saya alami. Tak hanya itu, ujian juga tidak terlepas dengan pilihan ganda yang jawabannya menyesuaikan dan selalu mengikuti pilihan yang disajikan. Ketimbang mempelajari poin-poin penting, lagi-lagi pelajaran harus berkutat dengan hafalan.
ADVERTISEMENT
Kedua, jam sekolah yang tidak masuk akal, apalagi setelah diterapkannya sistem lima hari sekolah (“Five days School”). Memang hari sekolah dikurangi. Namun lama waktu belajar mengajar selama lima hari tersebut ditambah. Jadi apa bedanya dengan enam hari sekolah? Lebih dari itu, saya melihat kebijakan ini sebagai sesuatu yang tidak efektif dan tidak seharusnya diterapkan, karena anak banyak tersita waktunya di sekolah.
Ketika sampai di rumah, anak sudah kelelahan dan tidak ada waktu lagi untuk bisa mengembangkan diri, menggali potensi, membaca buku, bahkan bermain. Belum lagi jika ada pekerjaan rumah yang diberikan. Pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah merupakan hal yang dangkal, sehingga bagi saya, setiap anak perlu memperdalamnya sendiri menurut hal yang ia sukai dan cintai. Sedangkan dengan waktu sekolah yang diterapkan saat ini, anak menjadi tidak memiliki waktu bahkan untuk mengenali dirinya sendiri, apa yang ia mau, apa yang ia suka kerjakan dan apa yang membuatnya tertarik untuk belajar.
ADVERTISEMENT
Hal ketiga yang ingin saya kritik adalah regulasi dan aturan yang sering berubah-ubah. Jika berganti menteri pendidikan pasti ada beberapa aturan atau sistem yang diubah. Misalnya kebijakan mengenai Ujian Nasional. Kebijakan ini rasanya sangat plin plan. Saya merasakan sendiri bagaimana “keplin-planan” kebijakan Ujian Nasional diterapkan.
Pertama ketika saya duduk di bangku SD, saya masih mengalami Ujian Nasional, namun angkatan di bawah saya sudah tidak menggunakan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan hingga sekitar dua atau tiga tahun selanjutnya. Namun ketika saya duduk di bangku kelas tiga SMP, kebijakan ini kembali diterapkan dan berubah lagi ketika saya berada di bangku kelas tiga SMA. Kemudian berbagai revisi dan perubahan yang tak henti-hentinya terhadap kebijakan mengenai kurikulum nasional yang menjadi kiblat bagi berjalannya kegiatan belajar mengajar di jenjang SD hingga SMA.
ADVERTISEMENT
Belum lagi sistem seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Selalu saja ada poin yang berubah di tiap tahunnya mengenai pelaksanaan seleksi tersebut. Apalagi jika mengalami pergantian menteri pendidikan. Pasti ada saja poin yan diubah dari kebijakan dari periode sebelumnya.
Jika sistem pendidikannya saja masih sering berubah dan menjadi terkesan seperti "coba-coba", maka kapan pendidikan Indonesia dapat maju? Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk merasakan hasil dari revolusi yang dilakukan di dunia pendidikan membutuhkan belasan bahkan hingga puluhan tahun.
Perbedaan Sistem Pendidikan di Indonesia dengan di Eropa
Gambar tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara sistem pendidikan di Indonesia dengan sistem pendidikan di Eropa. Di Indonesia ujian menjadi salah satu hal yang sangat penting. Jika dilihat dari gambar di atas, semua dibebankan pada perguruan tinggi. Sedangkan masa SD hingga SMA dihabiskan dengan mempelajari pelajaran-pelajaran yang telah menjadi kurikulum nasional dan sering kali tidak digunakan di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sistem pendidikan yang diterapkan di Eropa lebih menekankan pada eksplorasi diri dan lingkungannya di jenjang SD, di masa ini anak dapat belajar tanpa adanya paksaan karena mereka dapat mengeksplor apa pun yang ia mau dan ia sukai. Banyak hal dan pelajaran baru yang ia lakukan, sehingga meski masih berada di jenjang SD banyak anak yang sudah paham tentang dirinya sendiri.
Apa yang ia sukai, apa yang menarik baginya, hal yang ia cintai, dan ingin ia geluti. Semua sudah tergambar jelas bahkan di jenjang SD sekalipun. Sehingga jenjang berikutnya yakni SMP dan SMA anak tinggal menentukan bidang apa yang ingin ia geluti dan memperdalam hal yang sudah menjadi pilihannya. Dijenjang perguruan tinggi, anak hanya tinggal mematangkan core skill diri.
ADVERTISEMENT
Beberapa poin di atas merupakan hal yang harus dievaluasi dan dibenahi dari sistem pendidikan Indonesia. Mungkin bisa berkaca dan mempelajari sistem pendidikan yang diterapkan di Eropa, atau negara Asia lainnya (yang memiliki sistem pendidikan bagus) seperti China, Jepang dan Hongkong. Karena memang realita yang terjadi di Indonesia adalah ketika lulus SMA atau SMK anak baru berpikir, ingin kuliah atau bekerja.
Jika ingin bekerja, sering terkendala dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dan bingung dengan pekerjaan yang akan digelutinya karena tak memiliki skill yang dibutuhkan di dunia kerja. Di sisi lain, jika ingin melanjutkan kuliah, ingin fokus di jurusan apa? Sebagian besar masih bingung akan hal ini bahkan setelah pengumuman kelulusan sekalipun hingga pada akhirnya semua itu baru dipikirkan dalam kurun waktu yang singkat, tidak ada kematangan dalam memilih jurusan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya seringkali mahasiswa di Indonesia memilih jurusan karena terlihat keren, karena perintah orang tua, atau karena teman. Mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya ingin mereka geluti, sehingga tak sedikit juga yang merasa salah jurusan, bahkan banyak juga yang terpaksa pindah atau keluar dari universitas karena hal tersebut.
Fenomena ini saya kira lahir dari sistem pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik dari SD hingga SMA. Sekali lagi mereka hanya diajarkan bagaimana cara mendapatkan nilai yang bagus bukannya malah mencari tahu apa yang sebenarnya disukai, apa yang sebenarnya ingin digeluti, apa yang menjadi minatnya dan apa yang ingin ia kerjakan di masa depan.
Tujuan pendidikan seharusnya menjadikan anak yang memiliki imajinasi berbudaya, kreatif dan inovatif agar mereka bisa mandiri dan menentukan visi hidup mereka sendiri. Selain itu, di era modern ini peserta didik semestinya dibekali dengan pengajaran soft skill yang bertujuan untuk melatih cara berpikir kritis, karakter yang berkualitas, serta cara pandang yang visioner. Namun sayangnya hal tersebut justru tak diajarkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, dapat sangat menentukan keberhasilan seseorang di masa depan.
ADVERTISEMENT