Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hormon, Cinta, dan Candu
31 Desember 2020 18:38 WIB
Tulisan dari Almira Puti Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Banyak dari kita mengaku bahwa ketika berada dalam masa jatuh cinta, kita dapat merasakan adanya desiran atau sensasi menyenangkan yang bergejolak di dada kita. Akan tetapi, sistem kerja ini sebetulnya terjadi di otak, lho. Adanya sensasi tertentu di dada disebabkan oleh kerja otak dalam memproduksi hormon stres yang dapat mempengaruhi ritme jantung. Itulah mengapa, pada kondisi yang tidak biasa, seperti saat jatuh cinta, kita dapat merasakan sensasi tertentu di dada.
ADVERTISEMENT
Lalu sebenarnya, apa sih cinta? Sampai sekarang, cinta telah didefinisikan dan diterjemahkan dari berbagai macam sudut pandang. Dalam neurosains, cinta umumnya dikaitkan dengan emosi, saraf, hormon, serta adanya zat kimia yang membanjiri otak kita. Menurut dokter spesialis saraf, Adnyana & Kamelia (2012), “Cinta adalah salah satu bentuk emosi dasar manusia yang menjelaskan ketertarikan antar dua individu dengan proses-proses yang bersifat kompleks.”
Saat kita berada pada fase jatuh cinta, ada banyak hormon penting yang terproduksi. Seorang antropolog biologi, Dr. Helen Fisher, bersama dengan kelompok penelitiannya membagi fase perasaan saat sedang jatuh cinta menjadi 3 kategori berdasarkan hormon yang terlibat. Kategori pertama adalah nafsu yang mana terkait dengan rasa tertarik dan ingin memberi perhatian lebih pada “si dia”. Hormon yang berkorelasi dengan fase ini adalah testosteron dan estrogen. Testosteron berfungsi meningkatkan libido serta sikap agresif yang mendorong kita untuk mendekati orang yang menarik perhatian kita. Penelitian menunjukkan bahwa pria yang mencintai dengan sikap romantis menghasilkan lebih sedikit testosteron, begitu juga yang terjadi pada wanita dengan estrogennya.
ADVERTISEMENT
Pada kategori yang kedua, yaitu daya tarik, kita cenderung ingin lebih mengenal orang yang kita cintai dan penuh gejolak ingin bertemu. Hormon yang memengaruhi di fase ini adalah dopamin yang juga disebut sebagai reward hormone. Hormon tersebut diproduksi akibat adanya rangsangan dari aliran oksitosin dan vasopresin dalam sirkulasi otak, yaitu ketika kita melakukan hal yang menyenangkan, salah satunya adalah saat kita bermesraan dengan orang yang kita cintai. Ketika hormon ini diproduksi, kita akan cenderung merasa termotivasi dan bersemangat. Menariknya, bagian otak yang bereaksi ketika kita merasakan daya tarik sama seperti ketika seorang pecandu obat-obatan memakai kokain. Hormon norepinefrin dan serotonin juga terlibat dalam kategori ini. Hormon norepinefrin menyebabkan kita lebih energik dan aktif, sedangkan serotonin berhubungan dengan nafsu makan dan obsesi yang tinggi terhadap pasangan kita. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan serotonin yang terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta menunjukkan adanya persamaan perilaku dengan penderita Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
ADVERTISEMENT
Kategori terakhir, yaitu keterikatan, memiliki keterkaitan yang erat dengan komitmen dan keseriusan hubungan. Hormon yang terproduksi pada fase ini adalah oksitosin dan vasopresin. Oksitosin, yang biasa disebut cuddle hormone, diproduksi oleh hipotalamus yang dapat mengurangi tingkat stres seseorang. Sedangkan vasopresin bertugas mengatur tekanan darah. Oksitosin dan vasopressin memiliki efek yang sama seperti saat seorang ibu melahirkan anaknya. Sehingga akan terbangun keterikatan serta ikatan emosional dalam hubungan tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa jatuh cinta memiliki banyak manfaat untuk emosi kita yang akan berdampak pada tubuh kita juga, lho. Lucunya, rasa rindu yang biasa kita rasakan saat tidak bersama pasangan merupakan bentuk respons tubuh terhadap ketidakhadiran hormon gembira, seperti dopamin, oksitosin, dan serotin, yang biasanya terproduksi saat kita sedang bersama dengan orang yang kita cintai.
ADVERTISEMENT
Eitss, walaupun jatuh cinta dapat meningkatkan hormon yang baik, kondisi ini juga dapat memicu stress. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar kortisol, yaitu hormon terkait stres, pada tahap awal jatuh cinta dalam penelitian yang diterbitkan pada National Center for Biotechnology Information edisi 2004. Kabar baiknya, dalam sebuah studi dalam Neuroendocrinology Letters edisi 2005, terbukti bahwa terbangunnya ikatan dengan orang yang kita cintai dapat mengurangi kecemasan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan hubungan aktivasi Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA-Axis), sebagai system respon stres seseorang, dengan pengembangan keterikatan sosial.
Namun, apakah terbangunnya ikatan menandakan bahwa hubungan kita dengan pasangan akan tetap “aman” dan bahagia? Tentu saja, tidak. Cinta memang gejala biologis yang memiliki kekuatan positif dan euforia yang menyenangkan. Akan tetapi, gejolak ini akan menjadi berbahaya jika kita tidak pandai mengendalikannya.
ADVERTISEMENT
Kesenangan dan kenikmatan seringkali berhubungan dengan keinginan terus-menerus untuk mendapatkannya, atau yang bisa kita sebut kecanduan. Hal ini sebetulnya disebabkan oleh adanya dopamin yang dihasilkan saat kita memiliki pengalaman yang menyenangkan yang kemudian memengaruhi bagian otak lain. Pengaruh itu membuat kita mengingat pengalaman menyenangkan tersebut dan meminta kita untuk melakukannya lagi dan lagi. Yang menarik adalah adanya fenomena kecanduan cinta (love addiction). Ini merupakan fenomena yang cukup menarik dan masih dikaji lebih lanjut oleh para ahli. Seorang love addict cenderung “haus” akan hubungan asmara tanpa kontrol secara berulang-ulang. Memang, cinta menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia, tetapi seorang love addict merasa kesulitan mengontrol keinginannya dalam merasakan cinta. Salah satu cara yang ia lakukan untuk memenuhi hasratnya adalah dengan menggunakan ledakan cinta secara berkala (love bomb).
ADVERTISEMENT
Apabila didalam suatu hubungan terdapat seorang love addict, sedangkan pasangannya tidak dapat memuaskan hasratnya untuk merasakan sensasi yang ia harapkan, tentu ini akan menjadi akar besar untuk tumbuhnya hubungan tidak sehat. Seorang love addict akan terus “memaksa” pasangannya untuk terus membawanya mencapai klimaks kebahagiaan, sedangkan pasangannya merasa tidak nyaman dengan tuntutan tersebut. Akhirnya keduanya akan mudah mencapai kelelahan secara mental dan kejenuhan yang sama dalam hubungan. Ini akan menjadi bencana besar jika keduanya tetap memilih untuk melanjutkan hubungan yang tidak sehat ini.
Memang cinta itu bukan perkara yang mudah. Hormon-hormon kita bekerja dengan keras hingga dapat memengaruhi kerja otak. Padahal, otak sendiri adalah pengendali utama dalam diri kita. Itulah mengapa perlu bagi kita untuk tetap mengaktifkan logika dan kesadaran ketika menjalin suatu hubungan. Jangan sampai kita terhanyut dalam suatu hal yang dapat merusak diri kita baik secara fisik maupun mental.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Admin. (2019, May 27). 6 Hal yang Terjadi pada Otak Saat Jatuh Cinta. Tumor Otak. https://braintumorindonesia.com/6-hal-yang-terjadi-pada-otak-saat-jatuh-cinta/#:~:text=Sebuah%20penelitian%20menunjukkan%20bahwa%20serotonin
Apakah Baik Menjadi Bucin? (Cara Lepas Dari Budak Cinta) - YouTube. (2020, January 7). Www.Youtube.com. https://www.youtube.com/watch?v=ikHCXfKOItE&t=217s
Bagaimana kita Jatuh Cinta? - YouTube. (2019, February 10). Www.Youtube.com. https://www.youtube.com/watch?v=jMJmpTnAt5s
dePraxis, L. (2019, August 30). Cinta Itu Proses Biologis. Kumparan. https://kumparan.com/lexdepraxis/cinta-itu-proses-biologis-1rlLqtmPFSq/full
Coto de Caza Engagement Session | Dan and Tyler Photography in 2020 | Nature elopement, Engagement session, Photography. (n.d.). Pinterest. Retrieved December 31, 2020, from https://pin.it/5Uw8aiw
Esch, Tobias & Stefano, George. (2005). The Neurobiology of Love. Neuro endocrinology letters. 26. 175-92. https://www.researchgate.net/publication/7752806_The_Neurobiology_of_Love
Fisher, H. E., Xu, X., Aron, A., & Brown, L. L. (2016). Intense, Passionate, Romantic Love: A Natural Addiction? How the Fields That Investigate Romance and Substance Abuse Can Inform Each Other. Frontiers in psychology, 7, 687. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00687
ADVERTISEMENT
Kamelia, i>Lina, & Adnyana</i>, O. (2012). CINTA DALAM PERSPEKTIF NEUROBIOLOGI. Neurona (Majalah Kedokteran Neuro Sains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia), 30(1). http://www.neurona.web.id/paper-detail.do?id=893
Kenapa Kita Bisa Kecanduan? - YouTube. (2018, January 10). Www.Youtube.com. https://www.youtube.com/watch?v=RaypJ1DGpgA
Mau Goodmood? Kenali Happy Hormone Berikut. (n.d.). HIMASKA “Helium.” http://hmjkimia.uin-malang.ac.id/?p=1641
Reynaud, M., Karila, L., Blecha, L., & Benyamina, A. (2010). Is Love Passion an Addictive Disorder? The American Journal of Drug and Alcohol Abuse, 36(5), 261–267. https://doi.org/10.3109/00952990.2010.495183