Mi Instan, Kemalasan, dan Persekutuan Semesta

Alvein Damar
Fotografer, Konsultan Branding dan Fasilitator Gapura Digital Palembang
Konten dari Pengguna
19 November 2018 9:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvein Damar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jakarta pagi ini. (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta pagi ini. (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Pagi yang dingin.
Musim penghujan seperti saat ini memang membuat pagi hari menjadi lebih sejuk daripada biasanya. Tentu saja hal ini menyenangkan. Setelah sebelumnya menjalani musim kemarau yang berdebu, kering, dan membuat was-was air sumur akan kering.
ADVERTISEMENT
Pagi hari menjadi lebih dingin dan angin dinginnya cukup menusuk tulang. Belum lagi kalau hujan mengguyur sejak subuh. Tak jarang, pagi hari dibuka dengan gerimis.
Ketika suhu udara menjadi lebih dingin, pertanyaan harian yang sederhana "mau makan apa?" makin lama makin tak sederhana lagi. Terutama ketika pertanyaan tersebut diajukan istri di pagi hari. Pilihan-pilihan sarapan yang tersedia bukan memudahkan, melainkan menjadi pemicu kebingungan.
Keputusan untuk menentukan pilihan sarapan menjadi mandek. Lambat.
Ini bukan persoalan terbatasnya pilihan atau sulitnya mendapat makanan di pagi hari. Kalau lagi pengin masak sebetulnya bisa menyajikan nasi goreng dengan telur ceplok. Bisa juga nasi putih biasa dengan telur dadar. Membeli jadi pun tersedia dan gampang mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Di daerah tempat gue tinggal saat ini, tersedia cukup banyak pilihan untuk sarapan. Dari yang umum hampir di semua daerah juga ada, seperti nasi uduk dan lontong sayur. Yang khas daerah pun ada, seperti nasi samin, lakso, dan burgo. Makanan khas ini ada di pasar basah atau pasar tradisional, dan memang hanya ada di pagi hari.
Kalau pengin yang ringan juga bisa beli roti tawar, oats, dan sereal yang disajikan dengan susu. Intinya, pilihan banyak dan tersedia. Lantas, apa yang menyebabkan pilihan yang banyak ini justru membuat ribet?
Dalam kondisi normal, biasanya, dialog menentukan pilihan menu makan diambil setelah mempertimbangkan kecepatan dan waktu yang tersedia, dana yang tersedia, dan variasi makanan dengan mengingat makanan kemarinnya. Kalau kemarin sudah nasi goreng, maka pagi ini ya jangan nasi goreng lagi.
ADVERTISEMENT
Nasi uduk sudah kemarin, berarti hari ini sarapannya yang lain. Intinya variasi. Tujuannya tentu saja agar anak-anak tidak bosan dan memberikan energi positif pagi hari agar mereka ke sekolah dengan suasana hati yang positif juga.
Tetapi faktanya, kondisi normal itu kadang tak didapat dan menjadi ribet tadi.
Pilihan yang tersedia ini menjadi ribet ketika diajukan pagi hari di saat anak-anak bersiap-siap berangkat sekolah. Ada faktor internal dan eksternal yang memicu kebingungan atau keraguan. Cukup membuat stagnan sesaat dalam mengambil keputusan. Istilah kekiniannya 'nge-blank'. Sesaat tetapi cukup mengganggu.
Faktor eksternal tadi yaitu cuaca dingin atau hujan membuat pergi keluar pagi hari menjadi berat. Faktor waktu menghadirkan sensasi tergesa-gesa di pagi hari saat anak-anak menunggu makan dan diantar ke sekolahnya.
ADVERTISEMENT
Ini terjadi biasanya anak-anak terlambat bangun dan kami, orang tuanya, juga terlambat membangunkan mereka. Kondisi ini menjadikan opsi membeli makanan berarti membuat anak-anak menunggu.
Faktor internal? Sudah pasti disebabkan rasa malas untuk keluar rumah hanya untuk beli makan pagi, lalu balik lagi ke rumah dan berangkat lagi mengantar anak-anak sekolah. Biasanya kemalasan inilah juaranya.
Di saat rasa malas ini menguasai, pilihan yang tersedia justru menjadi bumerang. Pilihan yang banyak tak tampak menyenangkan ketika kemalasan menguasai. Maka saat kemalasan bersekutu dengan alam, pilihan yang diambil adalah yang paling cepat dan seakan-akan yang paling terbaik.
Apalagi kalau bukan yang cepat saji dan enak. Sudah bisa menebak, kan, pilihannya jatuh pada mi instan.
ADVERTISEMENT
Kalau dalam keadaan jernih, proses pengambilan keputusan adalah sebuah proses mental yang mengarah kepada pemilihan satu atau lebih tindakan berdasarkan alternatif-alternatif yang ada. Hasil dari proses pengambilan keputusan adalah pilihan akhir.
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai usaha pemecahan masalah, yang berhenti apabila penyelesaian yang memuaskan telah ditemukan. Oleh karenanya, pengambilan keputusan adalah sebuah proses logis dan emosional yang dapat bersifat rasional maupun irasional
Menurut Myers, proses pengambilan keputusan bergantung kepada tingkat signifikansi dan gaya kognitif yang dimiliki. Myers mengembangkat empat dimensi dua kutub yang disebut 'Myers-Briggs Type Indicator' (MBTI), yakni pikiran dan perasaan, ekstroversi dan introversi, penilaian dan persepsi, serta sensing dan intuisi.
Proses pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh perbedaan budaya. Telah banyak metode dan perangkat diciptakan untuk membantu dalam mengambil keputusan, bahkan kemajuan teknologi informasi melahirkan decision support system.
ADVERTISEMENT
Menurut LeBon dan Amaud, filsafat dapat membantu memberikan pemahaman yang mendalam dan metode yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang tepat melalui empat cara, yakni kebijaksanaan, emosi, pemikiran kreatif dan kritis, serta etika.
Metode pengambilan keputusan adalah alat bantu agar kita dapat menjaga independensi, mencapai kebenaran tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bias dan subjektif. Saat independensi dalam genggaman, maka proses pengambil keputusan menjadi proses yang kreatif, kritis, serta beretika.
Saat pilihan ditentukan, persekutuan semesta menjadi 'sahabat perjalanan' menuju jalan kebijaksanaan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, aktivitas harian yang sederhana seperti menyediakan sarapan untuk anak menjadi cermin betapa pilihan dan pengambilan keputusan adalah pertarungan tiada akhir. Pertarungan menghadapi kemalasan personal yang selalu terjadi. Sebuah upaya terus menerus untuk menjaga kewasaran dan merupakan bagian dari jalan menuju kebijaksanaan.
Terkadang, menyerah pada yang instan adalah sebuah pilihan yang harus diambil. Menyerah pada kemalasan membawa konsekuensi. Yang penting adalah pilihan tersebut diambil dengan kesadaran. Sadar setelah menikmatinya ada konsekuensi dan kompensasi. Konsekuensi untuk detoks. Kompensasi untuk lebih disiplin, terutama orang tua dan juga untuk anak-anak.
Pertanyaan sederhana "Mau sarapan pagi apa?" adalah suluk; sebuah jalan menuju kebijaksanaan.
Mi Instan, Kemalasan, dan Persekutuan Semesta (1)
zoom-in-whitePerbesar