Konten dari Pengguna

NIGHT BUS, sebuah film yang melukai HATI

Alvein Damar
Fotografer, Konsultan Branding dan Fasilitator Gapura Digital Palembang
27 Maret 2018 8:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvein Damar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
NIGHT BUS, sebuah film yang melukai HATI
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Film FIKSI NIGHT BUS ini menyebalkan. Tema Konflik yang diangkatnya cukup membuat gw mual. Sedikit marah bercampur rasa takut. Mengingatkan pada kisah-kisah NYATA yang pernah gw dengar, gw ketahui. Terlebih, film ini mengambil latar belakang konflik di Nusantara. Terasa dekat. Bahkan, gw merasa, konflik dalam film ini terasa nyata.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan film-film yang bertema perang atau konflik yang pernah gw tonton sebelum-sebelumnya, NIGHT BUS terasa menusuk hati karena latar belakang konflik yang diangkatnya adalah konflik yang mirip dengan konflik yang benar-benar terjadi di Indonesia. Konflik horizontal di Ambon, Poso, Timor leste, dan tentunya konflik Aceh. Beberapa informasi tentang konflik yang pernah terjadi di Indonesia ini pernah gw pelajari dan mengetahuinya dari sumber yang benar-benar terlibat di dalamnya.
Konflik dalam film ini membuat gw sedikit "panas". Situasi Indonesia akhir-akhir ini terutama sejak pilpres 2014 cukup panas. Gw sadar saat ini, masyarakat masih terpolarisasi paska pilkada DKI 2017 dan terus berlanjut hingga tahun politik 2018 ini. Faktanya, beberapa aktor intelektual dengan sengaja menciptakan polarisasi ini. Menjadikan isu-isu sensitif sebagai bahan untuk menyebabkan munculnya polarisasi tersebut. Memecah belah masyarakat dengan isu primordial yang telah bertahun-tahun dilupakan. Dengan sengaja mengangkatnya kembali isu tersebut dan menggunakan segala cara menyebarkannya. Termasuk penyebaran fitnah (hoax) yang masif. Seakan konflik yang terjadi di masyarakat sekedar permainan.
ADVERTISEMENT
Film Night Bus yang diproduseri oleh aktor Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana ini menjadi pengingat bahwa ketika konflik terjadi maka siapa pun akan menjadi korban. CONFLICT DOESN'T CHOOSE ITS VICTIMS. Masyarakat biasa yang tidak terlibat hanya akan menjadi korban. Menjadi korban sia-sia.
Film berdurasi 135 menit ini memang tidak sekelam film Turtle can fly-nya Bahman Ghobadi (Iran) atau tidak menyebabkan frustrasi seperti The Boy in the Striped Pyjamas (Mark Herman). Juga tidak sampai membuat gw putus asa seperti film Welcome to Sarajevo (Michael Winterbottom). Tapi efek film Night Bus ini cukup membuat lelah. Penyebabnya tak lain karena konflik pada film ini begitu dekat.
Apalagi situasi saat ini, telah terjadi di tengah masyarakat, ujaran kebencian begitu mudah disampaikan hingga di mimbar-mimbar rumah ibadah. Ajakan untuk bertikai hadir hingga ke ruang privat melalui aplikasi media sosial yang ada di dalam smartphone. Pelaku yang menyebarkan kebencian, fitnah dan ajakan untuk bertikai ini ada dan kita kenal. Sebagian dari mereka kita hormati ketokohannya. Yang mempercepat penyebarannya juga bukanlah orang-orang yang asing dalam hidup kita. Mereka adalah orang-orang yang sehari-hari kita jumpai. Entah ditopang oleh rasa benci yang besar atau dikarenakan lemahnya literasi. Yang pasti, konflik horizontal yang pernah terjadi di Aceh, Ambon dan Poso tak pernah mereka pelajari. Konflik yang sedang terjadi di Yaman dan Suriah tak pernah mereka lihat sebagai rujukan. Kecanggihan teknologi tak mampu mencegah mereka menjadi pemakan hoax dan pecandu kebencian.
ADVERTISEMENT
Disela rasa lelah menonton film ini, hadir kesadaran bahwa gw harus terlibat secara aktif untuk menyumbangkan ide dan pemikiran serta bila perlu tenaga untuk mencegah konflik. Bagi gw, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mencegah polarisasi. Mencegah konflik. Sekuat tenaga. Demi Nusantara. Demi Indonesia