Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cengkeraman Konglomerasi Serakah Sampai ke Pelosok Desa
16 November 2021 10:32 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Alven Stony tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Alven Stony
Mereka terlihat seperti orang-orang baik. Di depan publik laiknya seorang pahlawan. Kerap berderma, dari uang hingga kitab suci, dari sekolah sampai Rumah Ibadah, Seolah olah mereka adalah juru selamat bagi rakyat miskin dan papa. Tapi, lihatlah fakta di lapangan. Seolah olah tidak kejam, tapi banyak usaha yang mati bergelimpangan. Mereka itu mengeksploitasi bidang apa pun sampe ke pelosok Desa. Mereka seperti predator, menghisap segala penjuru mata angin sumber daya sebanyak-banyaknya. Bahkan sampai tega mematikan usaha kecil sampe penjual kue di desa-desa. Praktik keserakahan konglomerat inilah yang menjadi inti tulisan Buya Syafi’I Maarif, seorang negarawan yang dikenal dengan kesederhanaannya.
ADVERTISEMENT
Tulisan yang berjudul “Mentereng di Luar, Remuk di Dalam” ini bisa anda baca di kolom opini harian Kompas terbitan Rabu 10 November 2021. Di awal tulisannya, Buya menyinggung bagaimana jejaring konglomerasi menikmati keberlimpahan laba dari kebijakan pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah itu justru dimanfaatkan untuk menghancurkan petani-petani dan usaha kecil di kampung-kampung. Petani dan UMKM meringis dalam kesengsaraan. Sementara nan jauh di sana para konglomerasi tertawa terbahak-bahak menikmati kekayaan. Mereka mengeksploitasi banyak orang melalui sistem remote kontrol dari pusat singgasana bisnisnya.
Kebetulan, tulisan Buya muncul di saat Indonesia sedang euforia memperingati hari pahlawan. Tulisan buya ini semacam paradoksial sekaligus tamparan keras bagi kita semua. Buya sepertinya hendak menyindir bahwa sebetulnya bangsa kita sedang kehilangan jiwa-jiwa kepahlawanan. Para pengambil kebijakan katanya tidak sedang melakukan pembiaran, tapi yang terjadi pembiaran atas ketidakadilan terjadi di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Saya bukan hendak me-review kritik bernas Buya Syafi’i itu. Tapi, saya hanya ingin berbagi pengalaman dan pengamatan, yang ini merupakan fakta yang dapat dijumpai di Indonesia. Sedihnya, potret buram itu tidak kita jumpai di negara tetangga kita. Atau negara lain yang GDP nya hampir sama dengan kita.
Ini pengalaman sebagai pengusaha kecil -- lebih spesifik lagi produsen Roti-- yang memasok dagangan ke swalayan tradisional atau perorangan UMKM. Mereka sudah merintis usahanya sejak puluhan tahun silam. Mulanya bisnis berjalan lancar. Mereka memproduksi roti, lalu memasarkannya sendiri ke toko-toko. Ataupun swalayan-swalayan tradisional.
Awalnya mereka memasukkan produk rotinya dari 1 toko perlahan ke toko-toko swalayan berikutnya, dan setelah bertahun tahun berjuang memasukkan ke lebih 40 titik toko swalayan lokal. Seiring waktu, usaha itu terus berkembang hingga sukses merekrut banyak tenaga kerja lokal.
ADVERTISEMENT
Meski usaha ini tidak membuat mereka kaya raya, tapi, setidaknya usaha ini cukup untuk menghidupi kebutuhan pokok keluarga. Paling tidak, mereka mulai optimis dan bisa memilik puluhan karyawan lokal
Tapi….
Kebahagiaan itu datangnya cuma sesaat. Bangunan usaha yang telah dirintis puluhan tahun itu mendadak sirna seiring munculnya jaringan waralaba toko modern yang datang membawa segala macam produk kebutuhan sehari-hari. Hampir semua produk ada, termasuk roti. Bayangkan, 95% usaha itu tersentralisir dari pusat kekuasaan bisnisnya.
Data menunjukkan bahwa jaringan toko modern di Indonesia sudah 50 ribu gerai (tempo.co 07 Oktober 2019), bayangkan jika 1 gerai omzet rata-rata 10juta rupiah saja, maka ada perputaran uang 500 miliar per hari dan 180 triliun per tahun. Jika laba yang mereka ambil 10% saja, maka laba tahunan dari jaringan toko modern adalah 18 triliun untuk dibagi hanya 2 kelompok besar saja. Pantas, mereka menjadi konglomerat papan atas karena sudah menguasai uang rakyat sampe ke pelosok desa. Namun jika gerai 50 ribu dibatasi dimiliki maksimal 1 orang 10 gerai, maka ada 5000 orang yang dapat hidup di tanah air dan kampung halamannya sendiri.
ADVERTISEMENT
APA YANG TERJADI HARI INI?
Jejaring konglomerasi dengan toko-toko modern itu telah mematikan pengusaha-pengusaha lokal. Tidak sedikit swalayan/ warung tradisional tutup. Kalaupun masih bertahan, mereka seperti hidup segan mati tak mau. Menyedihkan sekali. Omzetnya anjlok. Bahkan sampai di bawah 50 persen. Saya mendengar langsung rintihan getir mereka. Sebagai sesama pengusaha kecil, saya hanya bisa menghela napas.
Imbasnya bukan saja menyasar pengusaha kecil. Para karyawan yang menggantungkan hidup di sana, maaf, terpaksa harus dirumahkan. Ini dilakukan untuk mengurangi budget pengeluaran. Sebab, pengusaha harus menutupi investasi dan membayar pokok dan Bunga utang yang harus dibayar ke bank.
Pengusaha Kecil yang sehari-hari memasok produknya juga terkena imbas. Ketika swalayannya sepi atau bahkan tutup, otomatis kehilangan pasar. Makanya, mau tidak mau, suka tidak suka, juga terpaksa harus memasok ke swalayan modern milik jejaring konglomerasi itu. Jika tidak, nasib usaha yang telah dirintis bisa tamat. Imbasnya, tentu akan banyak tenaga karyawan yang harus dirumahkan. Tentunya tak mampu melihat kesedihan mereka. Jika ada opsi until tidak memilih kerja sama dengan mereka, jujur lebih baik tidak dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya memasok produk ke swalayan milik jejaring konglomerasi itu tidak mudah. Selain urusannya yang sedikit rumit, tetap harus bersaing dengan produk serupa yang diproduksi jejaring mereka. Coba bayangkan, mereka punya jejaring swalayan yang banyak, juga memproduksi roti dalam jumlah jumbo dan industrialisasi. Tentu saja dengan modal yang tak terhingga. Mereka telah menguasai mulai dari import gandum, memproduksi menjadi tepung gandum, menunjuk distributor dari kelompok jaringan mereka sendiri, dijual ke toko toko bahan kue dan mereka juga memproduksi dan menjual juga roti di toko modern yang mereka miliki sendiri atau kelompoknya, bayangkan seluruh rantai bisnis digembok dan dikunci rapat yang dikontrol 24 jam bak CCTV
KEBIJAKAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK SIAPA?
Untuk bersaing pada swalayan konglomerasi itu, tentunya terpaksa harus memutar otak. Opsi mengurangi karyawan hingga 70 persen atau keputusan maha berat, yaitu memasok secuil produk dengan terpaksa harus dilakukan. Ini karena harus menanggung modal yang tak sedikit. Untuk memasok produk ke swalayan milik konglomerasi ini, harus menanggung modal berlipat, karena dibayar paling cepat 14 hari lebih setelah barang kita laku, yang menjadi ketentuan wajib dari mereka. Jika tak setuju, jangan harap produk kita bisa masuk ke jaringan swalayan mereka. Menyedihkan bukan?
ADVERTISEMENT
Jangan tanya soal keuntungan, pandangan mata semakin besar jaringan mereka, maka semakin besar omzet buat pemasok, namun yang terjadi malah 360 derajat kebalikannya, yaitu kehilangan omzet hingga 60 persen. Bayangkan saja, omzet ketika melayani 40 swalayan tradisional sama dengan omzet ketika melayani 150 swalayan waralaba milik jejaring konglomerasi itu. Mereka juga mengambil keuntungan yang terlalu besar. Rata-rata margin mereka 2x lipat dari margin yang diperoleh pemasok, padahal, mereka tidak mengeluarkan modal sesen pun!
Juga tidak punya risiko. Karena, model kerja sama yang mereka bangun dengan pemasok adalah sistem konsinyasi. Kita menitip barang, mereka hanya membayar produk yang terjual. Itu saja!
Adakah Regulator mau tau praktik yang terjadi antara toko retail modern dengan Pemasok UMKM? Begitukah prinsip keadilan berusaha?
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini, tentu juga dialami oleh banyak pengusaha kecil lainnya. Jejaring konglomerasi ini, mengutip kata-kata buya Syafi’i, telah menghisap darah rakyat hingga ke sum-sum tulang. Tengok saja nama para konglomerasi pemilik jejaring swalayan itu, bertengger terus di urutan 10 orang terkaya di Indonesia.
Negara semestinya hadir. Jangan berdiam diri, atau malah membela para konglomerasi ini. Ketidakadilan yang dialami rakyat kecil harus segera dibereskan. Supaya ketimpangan ekonomi tidak terjadi. Saya sangat berharap pemerintah Jokowi peduli dengan kondisi ini. Segera benahi model bisnis yang dilakukan jejaring konglomerat itu, jika Kebijakan dibuat bagi Kepentingan banyak orang
Tinjau kembali penetrasi jaringan waralaba yang masuk ke pelosok desa. Bukankah pak Jokowi ketika menjadi wali kota solo adalah salah satu wali kota di Indonesia yang menolak keras keberadaan waralaba atau mal modern milik jejaring konglomerasi ini? Karena kehadiran mereka akan mematikan pengusaha-pengusaha lokal. Mengapa saat ini setelah menjadi presiden yang powerful kok tidak melakukan hal yang sama? Walaupun ada segelintir kepala daerah yang perlu kita acung jempol seperti Sumatera Barat, Kulonprogo dan sedikit yang lainnya misalnya yang menolak gerai Toko modern, namun keberadaan mereka masih mencengkram di banyak daerah lainnya
ADVERTISEMENT
ATURAN SEMU SEKADAR LEMPAR HANDUK KEBIJAKAN
Walaupun pemerintah telah membatasi monopoli dan penetrasi swalayan milik konglomerasi itu. Batasan itu muncul sekadar lewat seperangkat aturan, seperti Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 23 tahun 2021 tentang pengembangan, penataan dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko swalayan. Pada pasal 3 dan 4 misalnya, pemerintah menetapkan sistem zonasi lokasi pendirian toko waralaba. Pendirian swalayan mesti mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi rakyat dan UMKM setempat. Kemudian, aturan juga membatasi soal jarak pendirian swalayan. Tidak boleh menumpuk di satu titik, di pusat keramaian misalnya.
Masalahnya..aturan hanya tinggal aturan di atas kertas. Implementasinya di lapangan, maaf, meleset dari yang telah digariskan. Tengok saja, betapa banyak swalayan milik jejaring konglomerasi ini, yang dibangun tanpa jarak atau radius tertentu. Bahkan, banyak sekali swalayan yang didirikan berdempetan. Adakah Kontrol Negara atas aturan kebablasan praktik usaha yang gak berkeadilan terjadi sampe ke desa-desa, apakah hanya sekadar melayangkan Peraturan Presiden dan Permendag yaitu sikap lempar handuk sebagai Kewenangan Kepala Daerah? adakah Yang mengontrol Kepala Daerah dalam memberi perizinan? adakah sanksinya jika Kepala Daerah mengeluarkan izin? Fakta berkata lain bukan?? Peraturan dibuat sekadar pertanda ada regulator bekerja memproteksi usaha Kecil, gak penting berjalan atau tidak di lapangan.
ADVERTISEMENT
Di akhir periodisasi ini, Pak Jokowi harus meninggalkan citra baik yang pencitraannya sejak awal adalah pembela Wong Cilik, Supaya dikenang sebagai seorang pahlawan Wong Cilik. Praktik konglomerasi melalui jejaring waralaba di desa-desa ini harus diatur. Mesti dikontrol, Jangan dibiarkan begitu saja. Mereka telah memonopoli pasar. Bahkan, mereka juga memonopoli penjualan produk kebutuhan pokok, mulai dari gula, minyak goreng dan lain sebagainya. Monopoli perdagangan itu telah berlangsung dari hulu hingga ke hilir. Mengerikan sekali!
Bangsa kita pernah mengalami trauma sejarah, bagaimana perdagangan dimonopoli oleh kelompok dagang bernama VOC. kelompok dagang itu telah menguasai pemerintahan daerah dan juga pusat. Mereka berhasil membangun kerajaannya di bumi nusantara. Sehingga, kita menjadi negara terjajah selama berabad-abad. Monopoli kini juga sudah terang benderang terjadi ketika kita bilang tidak sedang dijajah, tapi penjajahan kekinian lebih Dahsyat dari zaman Penjajahan Kolonial jika tidak segera dibenahi, masih ada jalan jika masih ada kemauan membela kepentingan masyarakat banyak yaitu mengeluarkan kebijakan keberpihakan untuk Kita semua bukan melempar handuk kebijakan Kepada Kepala Daerah, yang mereka juga belum tentu mau memikirkan Rakyatnya sendiri. Sebagai penutup, pasti ada jalan kemauan untuk berbuat yang terbaik. Aamiin
ADVERTISEMENT
Penulis adalah pengusaha UMKM dan Sosisopreneur yang tinggal di Jakarta
Live Update