Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Tantangan Bangsa: Memulihkan Demokrasi yang Tergadai & Pendidikan yang Tertindas
25 April 2025 11:25 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alvian Rizki P tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hampir delapan dekade sejak kemerdekaan diproklamasikan, Indonesia masih dihadapkan pada pertanyaan mendasar: ke mana arah bangsa ini sebenarnya? Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan percepatan teknologi, terdapat kegelisahan yang tak bisa diabaikan, arah demokrasi dan kualitas pendidikan kita tampak semakin menjauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Indonesia tengah berada dalam pusaran kontradiksi. Secara lahiriah, pesta demokrasi tampak semarak lewat pemilu yang digelar rutin, tetapi kualitas demokrasi secara substansial terus tergerus. Ruang publik, yang semestinya menjadi medan perdebatan sehat dan pertukaran gagasan, semakin dibatasi oleh narasi tunggal dan polarisasi yang sengaja direkayasa.
Rakyat makin sering diposisikan sebagai penonton dalam panggung elite yang mempermainkan demokrasi sebagai panggung sandiwara. Suara kritis dibungkam, oposisi dilemahkan, dan partisipasi publik dikebiri lewat regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi. Akibatnya, demokrasi hanya menjadi ritual prosedural tanpa substansi. Ia kehilangan jiwanya sebagai mekanisme pengontrol kekuasaan dan malah direkayasa untuk memperpanjang dominasi segelintir elit.
Kondisi pendidikan pun tak kalah memprihatinkan. Fungsi strategis pendidikan sebagai alat perubahan sosial dan pemberdayaan justru terkubur dalam sistem yang stagnan dan kian menjauh dari semangat emansipasi. Pendidikan masih terjebak dalam pola lama, mengutamakan hafalan, kepatuhan, dan keseragaman, alih-alih membentuk individu yang kritis, mandiri, dan beretika.
ADVERTISEMENT
Alih-alih membebaskan, sistem pendidikan cenderung memproduksi lulusan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar semata. Orientasi pragmatis ini mengerdilkan visi pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh. Kalimat tersebut kini lebih mirip slogan kosong dalam naskah kebijakan daripada tujuan nyata yang dijalankan dengan serius.
Kurikulum yang sering berganti tanpa arah yang jelas tak kunjung membawa perubahan berarti. Guru dibebani tumpukan administrasi, sementara pemerataan akses pendidikan masih menjadi tantangan serius. Nilai-nilai dasar seperti Pancasila dan kebinekaan pun sering diajarkan secara dogmatis, bukan sebagai pengalaman hidup sehari-hari yang membentuk karakter.
Apakah bangsa ini benar-benar telah menyimpang jauh dari semangat konstitusi? Amanat untuk melindungi segenap warga dan mencerdaskan kehidupan bangsa tampaknya lebih banyak tergelincir dalam retorika daripada tindakan nyata. Kita terlalu sering terjebak dalam kepentingan sesaat dan pragmatisme yang melemahkan daya juang kolektif bangsa. Padahal kekuatan suatu bangsa bukan hanya diukur dari tinggi menara beton atau panjang jalan tol, tetapi dari kokohnya moral dan daya pikir masyarakatnya yang dibentuk oleh sistem pendidikan yang membebaskan.
ADVERTISEMENT
Layak untuk kita renungkan kembali: apa arti demokrasi jika kepercayaan rakyat terkikis dan suara publik tidak lagi dihargai? Apa gunanya pendidikan jika hanya melahirkan manusia-manusia cerdas secara kognitif tapi mati rasa secara sosial? Perubahan struktural menjadi keniscayaan, bukan sekadar tambalan kosmetik. Demokrasi harus kembali menjadi sarana penyaluran kedaulatan rakyat, bukan alat memperpanjang dominasi kekuasaan. Pendidikan pun harus direformasi menjadi ruang pembentukan karakter bangsa, bukan sekadar ladang angka dan statistik.
Dalam arena politik, sudah saatnya kita membangun kembali tradisi demokrasi yang deliberatif dan beradab. Partai politik mesti kembali pada fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat, bukan sekadar kendaraan pragmatis untuk berkuasa. Pemilu harus menjadi ruang pertempuran gagasan dan visi kebangsaan, bukan ajang adu logistik. Lembaga-lembaga negara pun harus dijauhkan dari infiltrasi oligarki yang menggerogoti marwah demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pendidikan, di sisi lain, tidak boleh lagi diperlakukan sebagai proyek sektoral jangka pendek. Ia harus dilihat sebagai investasi jangka panjang bangsa. Perubahan sistemik dibutuhkan, dengan menempatkan guru sebagai aktor utama transformasi, bukan sekadar petugas administratif. Kurikulum harus dirancang untuk mendorong refleksi kritis dan pemikiran analitis, bukan hanya menjawab soal ujian.
Namun harapan belum pupus. Arah bangsa ini bisa dikoreksi kembali menuju rel yang benar jika dipandu oleh kepemimpinan yang transformatif, visioner, dan berpihak pada rakyat. Ketika sebuah bangsa kehilangan arah dan terjebak dalam disorientasi kolektif, maka ia tengah berjalan menuju kehancuran sejarah. Maka kini, saatnya bagi kita semua untuk merebut kembali demokrasi dan memerdekakan kembali pendidikan.