Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Taksonomi Hijau: Solusi Nyata dalam Transisi Energi Bersih?
25 Februari 2025 21:53 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari alvian zaenal ansori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Taksonomi Hijau menjadi salah satu instrumen kebijakan yang diharapkan dapat mempercepat transisi energi bersih di Indonesia. Dengan menetapkan standar investasi ramah lingkungan, regulasi ini bertujuan untuk mengarahkan pendanaan ke sektor yang lebih berkelanjutan. Namun, pertanyaannya, apakah kebijakan ini benar-benar bisa menjadi solusi nyata atau hanya sebatas pedoman administratif tanpa implementasi yang efektif?
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Taksonomi Hijau sebagai bagian dari komitmen menuju ekonomi rendah karbon. Melalui klasifikasi ini, sektor-sektor yang dianggap berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim dapat memperoleh insentif dan dukungan lebih besar. Beberapa sektor utama yang tercakup dalam taksonomi ini meliputi energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan industri berbasis ekonomi sirkular. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait kesiapan infrastruktur, regulasi yang tumpang tindih, serta kurangnya kejelasan insentif bagi para investor.
Salah satu kendala utama adalah masih tingginya ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa hingga 2023, lebih dari 60% pembangkit listrik di Indonesia masih berbasis batu bara. Transisi energi bersih membutuhkan investasi besar dalam pembangunan infrastruktur energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Namun, hingga saat ini, banyak investor masih menilai bahwa proyek energi hijau memiliki risiko finansial yang tinggi dibandingkan dengan energi konvensional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meskipun Taksonomi Hijau bertujuan untuk mencegah praktik greenwashing, masih ada celah dalam penerapannya. Beberapa perusahaan tetap mengklaim proyek mereka sebagai “hijau” meskipun dampaknya terhadap lingkungan masih dipertanyakan. Di beberapa negara, seperti Uni Eropa, regulasi terkait taksonomi hijau telah berkembang lebih jauh dengan sistem verifikasi ketat. Indonesia perlu menyesuaikan regulasi ini dengan standar global agar memiliki kredibilitas yang lebih tinggi di mata investor internasional.
Dari sisi kebijakan fiskal, perlu adanya insentif nyata untuk mendorong pelaku industri beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan. Pajak karbon, subsidi untuk energi terbarukan, serta kemudahan perizinan bagi proyek-proyek hijau harus menjadi prioritas. Tanpa langkah konkret, ada risiko bahwa Taksonomi Hijau hanya menjadi kebijakan normatif tanpa dampak signifikan terhadap percepatan transisi energi.
ADVERTISEMENT
Ke depan, keberhasilan Taksonomi Hijau dalam mendorong energi bersih sangat bergantung pada komitmen pemerintah dan partisipasi sektor swasta. Jika regulasi ini dapat dikembangkan dengan sistem insentif yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat, maka bukan tidak mungkin Taksonomi Hijau bisa menjadi pilar utama dalam transformasi energi Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.