Konten dari Pengguna

Mudahnya Orang Tua Termakan Hoaks di Internet, Terkadang Kita Juga Sama

Alvie Putri Gustiningrum
Fresh Graduate Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran
18 Agustus 2023 10:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvie Putri Gustiningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Salah satu fenomena universal yang dialami oleh gen Z atau milenial di usia anak-anak hingga remaja adalah menyaksikan orang tua mereka yang sering kali termakan isu hoaks yang tersebar melalui broadcast WhatsApp atau Facebook.
ADVERTISEMENT
Hal ini terbilang cukup menjengkelkan. Sebab, tak jarang dari isu-isu yang beredar cukup tidak masuk akal, namun tak jarang berhasil dalam menarik kepercayaan dari para orang tua.
Pesan berantai mengenai korban kecelakaan yang meminta agar pesan mereka disebarkan adalah salah satu dari banyaknya contoh hoaks yang mungkin masih segar di pikiran anak muda.
Pesan-pesan mengenai kandungan produk merek tertentu juga seringkali muncul, dengan tujuan menjatuhkan nama merek tersebut menggunakan hoaks bahwa produk mereka menggunakan bahan yang membahayakan atau tidak mendapat izin untuk diedarkan.
Maraknya hoaks yang tersebar di kalangan orang tua turut berdampak pada anak-anaknya. Misalnya, larangan bagi anak-anak untuk mengkonsumsi produk tertentu karena diyakini mengandung bahan yang membahayakan.
Remaja sebagai demografi pengguna internet yang besar di dunia. (Sumber: Shutterstock)
Hoaks juga umumnya banyak tersebar pada masa-masa menjelang pesta politik alias pemilu. Bahkan, tak jarang itu menimbulkan konflik antara orang tua dengan sanak saudara atau orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Selama masa remaja hingga menjelang dewasa—mungkin tak jarang juga dari kita, kalangan anak muda—yang berjanji kepada diri sendiri untuk tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah percaya oleh informasi-informasi yang tersebar di internet, terutama ketika sumbernya kurang jelas.
Janji-janji tentang memeriksa kebenaran sumber sebuah berita juga mungkin dilontarkan oleh kita, dengan harapan menjadi masyarakat yang lebih kritis terhadap informasi di dunia maya.
Tapi, apakah hal tersebut sudah berhasil diwujudkan? Dewasa ini, berapa banyak dari kita yang bergantung pada media sosial untuk mendapatkan update seputar berita atau informasi terbaru dari berbagai bidang?
Studi yang dilakukan oleh BBC Education menunjukkan bahwa anak muda dari rentang usia 11-16 tahun cenderung untuk mempercayai informasi yang mereka temukan di internet, terlepas dari kredibilitas sumbernya.
Pengecekan kembali informasi yang beredar di dunia maya melalui beberapa sumber terpercaya. (Sumber: Shutterstock)
Di samping itu, pada sebuah survei oleh Gallup tahun 2021, ditemukan bahwa anak muda semakin bergantung pada media sosial sebagai sumber berita mereka, dan meskipun banyak dari kaum muda yang mempertanyakan kredibilitasnya, banyak yang menerima informasi-informasi tersebut sebagai fakta.
ADVERTISEMENT
Berita simpang siur tanpa kredibilitas sumber tak hanya berpotensi menggiring opini dari publik, tetapi juga memecah belah masyarakat. Sebagai generasi muda, sifat kritis diperlukan untuk menyaring informasi apa saja yang dapat dipercaya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai upaya menyaring informasi dari internet. Pertama, jangan langsung mempercayai hal-hal yang disebarkan di internet. Penting bagi pengguna untuk tetap berkepala dingin dalam menyikapi informasi yang beredar. Dengan demikian, kita bisa berpikir lebih jernih untuk mempertanyakan kebenaran informasi tersebut.
Kedua, lakukan pengecekan kembali melalui beberapa sumber. Hal ini penting, terutama jika informasi yang kita dapatkan bersumber dari media sosial seperti Instagram, Twitter—yang kini sudah berubah nama menjadi X—hingga Facebook.
Ketika berita disebarkan oleh individu tanpa dibarengi oleh media atau sumber berkredibilitas, terdapat potensi berita tersebut disebarkan secara subjektif. Maka dari itu, perlu dilakukan pengecekan kembali melalui beberapa sumber terpercaya, seperti jurnal ilmiah, buku, atau media dengan kredibilitas tinggi.
Riset yang cukup untuk membandingkan informasi dan membentuk opini. (Sumber: Shutterstock)
Ketiga, bandingkan informasi yang didapatkan melalui media sosial dan sumber lainnya. Pada tahap ini, kita sebagai pembaca berita bisa menarik kesimpulan sendiri mengenai benar atau tidaknya informasi yang beredar di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Tahap ini juga menjadi penting ketika kita, sebagai pihak yang terpapar berita, hendak menyuarakan opini terhadap informasi atau isu yang beredar. Dengan melakukan riset dan pengecekan informasi, bekal untuk membentuk opini yang lebih kuat dan mendalam terhadap isu yang ada.
Ketiga langkah di atas merupakan langkah-langkah awal dalam menciptakan generasi yang kritis terhadap informasi yang beredar secara bebas dan cepat di internet. Selain menghindari penyebaran informasi palsu atau misinformasi, bersikap skeptis terhadap media yang kita konsumsi sehari-hari juga mendorong kita untuk belajar, secara sedikit atau mendalam, mengenai hal-hal yang beredar di internet.
Mari putus rantai kebiasaan mudah percaya akan hal-hal simpang siur di dunia maya. Budayakan sikap tidak reaktif dan lestarikan keinginan untuk belajar mencari kebenaran, sehingga generasi muda tidak terperangkap dalam jebakan yang sama seperti generasi pendahulunya.
ADVERTISEMENT