Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Penggusuran di Lokasi Kampus UIII Sebagai Fenomena Gentrifikasi di Kota Depok
29 Juni 2023 16:21 WIB
Tulisan dari Alvin Surya Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampus yang dicanangkan sebagai pusat peradaban Islam Indonesia itu menyisakan masalah penggusuran massal warga serta menyebabkan perubahan penggunaan lahan di lokasi terkait. (sumber terkait )
ADVERTISEMENT
Penggusuran dan urbanisasi cenderung terkonsentrasi pada kota-kota besar. Pertumbuhan kota besar akan membentuk kota metropolitan (Harahap, 2019 ). Salah satu provinsi yang memiliki keunggulan pada berbagai bidang investasi ialah Provinsi Jawa Barat (Rachmat, 2013). Peri-urban merupakan kawasan yang mengalami fluktuasi harga lahan akibat pertumbuhan penduduk yang pesat sehingga terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti pemukiman atau perumahan (Rahayu, 2009 dalam Sari & Yuliani, 2021 ). Menurut Allen (2003), kawasan peri-urban kehilangan karakteristik pedesaannya dan tidak cukup memiliki karakteristik perkotaan. Pada akhirnya perkembangan desa dan kota saling bertindihan sehingga membentuk lingkungan yang tidak teratur (Danielaini, et.al, 2018). Kondisi tersebut berkaitan dengan konsep gentrifikasi dalam pembangunan kawasan perkotaan. Menurut Streetar (2013) dalam jurnal Vitriana (2020), pinggiran kota telah menjadi tempat akumulasi modal yang bergerak keluar dari wilayah perkotaan. Dalam hal ini kawasan peri-urban atau kawasan pinggiran kota rentan terhadap fenomena gentrifikasi.
ADVERTISEMENT
Gentrifikasi yakni proses perubahan tata guna lahan yang mengakibatkan terjadi transformasi permukiman masyarakat menengah ke bawah menjadi pemukiman masyarakat menengah ke atas (Medha, 2017). Gentrifikasi juga dapat dikatakan sebagai kegiatan meningkatkan citra kawasan dengan perbaikan kualitas kawasan tanpa mengakibatkan perbedaan fisik kawasan (Prasetya, 2006). Salah satu bentuk fenomena gentrifikasi adalah pembangunan sarana dan prasarana pendidikan , seperti pembangunan gedung kampus dan gedung perkuliahan, terlebih lagi apabila pembangunan tersebut ditujukan sebagai bentuk untuk mendapatkan keuntungan atau disebut sebagai komersialisasi, sebagai contoh adalah pembangunan Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sudah memulai kuliah perdana pada 27 September 2021. Kampus ini didirikan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Juni 2016 dengan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). UIII merupakan Perguruan tinggi berskala internasional yang dirancang sebagai kampus masa depan bagi kajian dan penelitian peradaban Islam di Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. UIII dibangun di atas lahan seluas 142,5 ha. Lahan tersebut semula merupakan milik LPP RRI dan berada di Komplek Pemancar RRI Cimanggis. Sejak resminya pembangunan UIII pada tahun 2017, terjadi perubahan signifikan dalam hal penggunaan lahan. Perubahan ini sesuai dengan konsep gentrifikasi yang dikemukakan oleh Keating (2003), dimana terjadi transformasi tata guna lahan yang berdampak pada perubahan pada wilayah pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam konteks gentrifikasi, perubahan penggunaan lahan di sekitar UIII berpotensi mengakibatkan kenaikan harga properti dan sewa di sekitarnya. Kedatangan mahasiswa, pengajar, dan staf universitas yang memiliki daya beli tinggi juga dapat mempengaruhi harga properti dan sewa di sekitar kampus. Hal ini dapat menyulitkan masyarakat lokal dengan pendapatan rendah atau kelas menengah bawah untuk tetap tinggal di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan oleh Komisi I DPR RI pada 29 Maret 2017, dijelaskan bahwa pembangunan UIII dibangun diatas tanah milik RRI (Radio Republik Indonesia). Tanah seluas 187,736 ha tersebut sebelumnya dipergunakan untuk perkantoran penyiaran radio ke seluruh wilayah NKRI dan ke seluruh wilayah NKRI dan mancanegara (siaran internasional). Awalnya, seluruh lahan tersebut mengatasnamakan Departemen Penerangan (Depan) RI Cq. RRI sertifikat hak pakai No 0001/Cisalak tahun 1981. Selanjutnya penggunaan lahan tersebut dialihkan kepada Kementerian Agama RI untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan UIII dengan sertifikat hak pakai No 0002/Cisalak atas nama Kementerian Agama RI. Sekitar 143 ha dari total lahan tersebut digunakan untuk pembangunan UIII, sehingga perlu penggusuran dibagian-bagian tertentu. Pihak RRI pun meminta disediakan lahan pengganti untuk dilakukan pemindahan pemancar dan perkantoran karena beberapa fungsi lahan untuk penyiaran tidak dapat digunakan kembali sehingga interaksi antara RRI dan Pemerintah tidak menimbulkan konflik serius.
ADVERTISEMENT
Kontroversi terkait pembangunan ini muncul ketika sekitar 91,44 hektar lahan, yang sebagian besar ditempati oleh penduduk, harus digusur. Penggusuran atau Pembebasan lahan dilakukan secara bertahap dengan luas 30 hektar setiap tahunnya. Tahap pertama pembebasan lahan dengan luas 30,7 hektar telah selesai pada November 2019, menyebabkan penggusuran 65 rumah. Tahap kedua pembebasan lahan seluas 30 hektar selesai pada Desember 2020, dan pembebasan terakhir dengan luas yang sama dilakukan pada akhir 2021. Total luas lahan yang berhasil dibebaskan dan diubah menjadi lahan terbuka adalah 90,7 hektar (UIII, 2021).
Dinamika spasio-temporal yang terkait dengan pembebasan lahan untuk pembangunan UIII dapat ditemukan dalam peta tersebut menggunakan data pada pertengahan tahun, khususnya bulan Juli setiap tahunnya. Melalui analisis Indeks Lahan Terbangun yang dinormalisasi (NDBI), dapat diinterpretasikan perubahan luas lahan yang terbangun dari tahun ke tahun. Rentang waktu antara tahun 2017 hingga 2019 mencerminkan kondisi sebelum pelaksanaan proyek pembangunan UIII dimulai, sedangkan tahun 2020 hingga 2022 mewakili periode setelah terjadi penggusuran atau pembebasan lahan untuk proyek tersebut. Pada periode tahun 2017 hingga 2019, Gambar 1 menunjukkan bahwa wilayah selatan Kelurahan Cisalak masih didominasi oleh lahan yang terbangun, dengan tingkat kepadatan yang bervariasi. Hal ini diasumsikan sebagai kondisi awal sebelum terjadinya pembebasan lahan yang masih dihuni oleh bangunan pemukiman warga.
ADVERTISEMENT
Peta Indeks Terbangun pada tahun 2019 mencerminkan kondisi terakhir sebelum dimulainya pembebasan lahan pada tahun berikutnya, yaitu 2020. Perubahan signifikan dalam penggunaan lahan sangat terlihat antara kedua tahun tersebut. Dengan mempertimbangkan informasi sebelumnya, pembebasan lahan dilakukan dalam tiga tahap setiap tahunnya, dengan luas pembebasan sekitar 30 hektar. Jelas terlihat bahwa dari tahun 2020 hingga 2021 dan 2022, terjadi pembebasan lahan secara bertahap di bagian selatan Kelurahan Cisalak, yang ditandai dengan luas wilayah yang berwarna hijau pada kelas NDBI yang semakin meluas.