Konten dari Pengguna

Diplomasi dan Kekuasaan: Mengapa Hubungan International Selalu Tentang Strategi?

Alvinnur Salsabilah
Mahasiswa Universitas Sriwijaya
6 November 2024 15:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvinnur Salsabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
paxcels.com
zoom-in-whitePerbesar
paxcels.com
ADVERTISEMENT
Alvinnur Salsabilah, Universitas Sriwijaya
Mengapa Hubungan International Selalu Tentang Strategi?
ADVERTISEMENT
Artikel ini menjelaskan hubungan erat antara diplomasi dan kekuasaan dalam hubungan internasional dan mengapa strategi selalu menjadi pusat interaksi antar negara. Dalam lingkungan global yang semakin kompleks, negara-negara menggunakan diplomasi untuk mencapai tujuan nasional, termasuk permainan kekuasaan dan pengaruh. Penulis meyakini bahwa kekuasaan dan diplomasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu strategi selalu diperlukan untuk memperkuat posisi seseorang di kancah internasional. Oleh karena itu, artikel ini akan fokus pada tiga poin utama: (1) diplomasi sebagai sarana utama mempertahankan kekuasaan, (2) peran soft power dalam memperluas pengaruh tanpa konfrontasi langsung, dan (3) tantangan diplomasi dalam urusan dunia.
Dalam dunia yang berlandaskan kepentingan nasional, diplomasi sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Realisme sebagai teori hubungan internasional menekankan bahwa negara adalah aktor utama yang selalu mencari cara untuk meningkatkan kekuasaan mereka. Misalnya, Amerika Serikat menggunakan diplomasi ekonomi dan politik untuk mempertahankan dominasinya, seperti dalam sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang dianggap mengancam kepentingannya, termasuk Rusia dan Iran.
ADVERTISEMENT
Selain Amerika Serikat, Tiongkok juga telah memanfaatkan diplomasi ekonomi melalui Belt and Road Initiative (BRI). Program ini menunjukkan bagaimana Tiongkok menggunakan pengaruh ekonominya untuk memperkuat posisi politiknya di berbagai kawasan, termasuk Asia dan Afrika. BRI tidak hanya berperan sebagai investasi infrastruktur, tetapi juga sebagai strategi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi yang memperkuat posisi Tiongkok di panggung internasional.
Diplomasi yang berorientasi pada kekuasaan juga tampak dalam strategi Rusia di Timur Tengah, terutama melalui keterlibatannya dalam konflik Suriah. Dengan mendukung pemerintah Suriah, Rusia mempertahankan pengaruh militernya di kawasan tersebut sekaligus menantang dominasi Amerika Serikat. Ini adalah contoh konkret bagaimana diplomasi berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan dan menegaskan posisi internasional.
Selain diplomasi langsung, soft power menjadi strategi penting dalam memperluas pengaruh tanpa menggunakan kekerasan. Melalui budaya, pendidikan, dan bantuan pembangunan, soft power memungkinkan negara untuk membangun citra positif dan memperkuat hubungan dengan negara lain. Tiongkok, misalnya, telah mengembangkan soft power melalui institusi seperti Konfusius Institute, yang mempromosikan bahasa dan budaya Tiongkok di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Banyak negara juga memanfaatkan platform media internasional sebagai alat soft power untuk menyampaikan narasi nasional mereka. Al Jazeera dari Qatar dan CGTN dari Tiongkok adalah contoh media yang digunakan untuk menyebarluaskan pandangan dan kebijakan mereka, serta mempengaruhi opini publik internasional. Soft power memungkinkan negara-negara ini untuk memperluas pengaruhnya di luar batas kekuasaan militer atau ekonomi.
Contoh lain dari soft power adalah penggunaan bantuan kemanusiaan oleh negara-negara maju untuk membangun goodwill dan kemitraan. Amerika Serikat, misalnya, telah lama menggunakan bantuan luar negeri sebagai bagian dari strategi soft power untuk memengaruhi kebijakan dan meningkatkan citra positifnya di negara-negara penerima bantuan.
Era multipolar menghadirkan dinamika baru dalam diplomasi, di mana kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi pada satu atau dua negara besar. Munculnya India dan Brazil sebagai kekuatan regional, serta kebangkitan negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia, menciptakan kebutuhan bagi negara-negara untuk merancang strategi diplomatik yang lebih fleksibel dan beragam.
ADVERTISEMENT
Misalnya, aliansi QUAD yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia adalah respons strategis terhadap meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik. Dalam kerangka multipolar, aliansi ini mencerminkan dinamika baru yang lebih kompleks, di mana negara-negara bekerja sama untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan tanpa memicu konflik langsung.
Selain itu, isu-isu global seperti perubahan iklim dan keamanan siber menambah tantangan baru dalam hubungan internasional. Negara-negara tidak hanya perlu merumuskan strategi nasional, tetapi juga mencari jalan untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah yang bersifat lintas batas dan tidak dapat diselesaikan secara individual.
Ketiga argumen di atas—diplomasi sebagai alat kekuasaan, soft power sebagai strategi pengaruh, dan tantangan di era multipolar—menunjukkan bahwa diplomasi dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam hubungan internasional. Di era globalisasi, strategi menjadi sangat penting bagi negara untuk tetap relevan dan mempertahankan posisinya di panggung internasional. Diplomasi, pada akhirnya, tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sarana strategis dalam persaingan dan kerja sama global yang kompleks.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Shintaloka Pradita Sicca. (2021, November 30). 8 Tipe Diplomasi dalam Hubungan Internasional. KOMPAS.com; Kompas.com. https://internasional.kompas.com/read/2021/11/30/221120670/8-tipe-diplomasi-dalam-hubungan-internasional?page=all#google_vignette
PhD, C. D. (2023, October 7). Soft Power: Examples and Definition. Helpful Professor. https://helpfulprofessor.com/soft-power-examples/
Peran Nasional Rusia Terhadap Konflik Suriah (2015-2020) | Hasanuddin Journal of International Affairs. (2015). Unhas.ac.id. https://journal.unhas.ac.id/index.php/hujia/article/view/25262