Konten dari Pengguna

Ke Tempat Baru (1)

Alvino Kusumabrata
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
27 November 2021 15:31 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvino Kusumabrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
https://pixabay.com/illustrations/winter-illustration-the-hills-4738853/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/illustrations/winter-illustration-the-hills-4738853/
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aku seorang psikiater, juga aku adalah seseorang yang memiliki suku super, orang menyebutnya suku Patria. Suku ini, tentu, lebih unggul daripada yang lain. Tentu saja aku sendiri pun bangga mengetahui bahwasanya aku dilahirkan dari rahim ibu yang unggul. Mungkin 1 banding sekian juta untuk bisa lahir dalam kondisi bersuku unggul sepertiku ini.
ADVERTISEMENT
Betapa menyedihkannya manusia yang lahir tanpa memiliki tanda suku Patria ini! Oh, sia-sia mereka hidup; hidup dengan suku rendah di bawahku, tidak memiliki kesempatan untuk menjadi manusia unggul sekalipun.
Aku berguling-guling, menyambar benda di sekeliling, dan dalam lamunan angan-angan kebanggaan terhadap sukuku itu, aku terenyak oleh suara keras ketokan pintu dari kamarku sendiri. Pikirku mungkin ada orang yang hendak berkunjung menemuiku, lalu aku segera bangun, meregangkan badan, dan segera membukanya.
Setelah membukanya, seorang pria dengan tubuh bulat, topi yang besar, beserta pakaian militer yang compang-camping berada di depanku, aku memanggilnya si pria bertopi. Tubuhnya yang besar seakan-akan ingin memakanku jika disandingkan dengan tubuh mungilku. Dia tanpa basa-basi langsung berucap:
"Hendaknya Anda berkemas-kemas, karena akan kami kirim bersama satuan tugas ke tempat baru besok," ucap pria bertopi itu dengan nada setengah tinggi, "Bersiaplah untuk menuju pada pangkalan militer A01."
ADVERTISEMENT
"Ke tempat baru?"
"Ya, tempat baru. Kita sebagai suku unggul, wajib mengeksplorasi tempat manusia-manusia hina lain," kata si pria bertopi. "Apakah kau sedia berkenan?"
Gerak-gerik tangannya seperti hendak mengambil sesuatu yang mengganjal di kantongnya, namun seketika itu pula ia melarang tangan nakalnya mengambil sesuatu ketika aku mengatakan:
"Wah, suatu kehormatan sebagai suku unggul!" Kataku padanya sambil menodong jari.
Angin menderu kencang sedetik, ia segera pergi begitu saja tanpa membalas ucapanku atau memberi salam.
Sesuatu sedang terjadi dalam gerak tubuhku, terasa hawa panas yang menggelora ketika mendengar penjelasannya, bagaimana tidak? Aku, sebagai manusia unggul, akan memimpin manusia budak belian dalam arahanku sendiri!
Tubuhku tiba-tiba berkeringat saking semangatnya, seperti ada yang membakar diriku dan membasahi kumis lebatku ini. Dengan cepat, tentu saja, aku segera berkemas-kemas untuk persiapan hari esok.
ADVERTISEMENT
***
Entah akan berapa lama aku berada ke tempat baru itu, tak ada yang tahu, bahkan si pria bertopi kemarin. Aku menyiapkan segalanya seperti tak akan pernah kembali di kamarku ini. Kebutuhan dasar hingga yang tak ada manfaatnya aku bawa. Segala telah kupersiapkan dan aku segera menuju pangkalan A01.
Pangkalan A01 sangat kumuh, pos-pos satuan mereka seperti kandang ayam, tak ada yang menarik disini, seperti gereja di Italia beratus-ratus tahun yang tak pernah dibersihkan. Aku menyadari ternyata tidak hanya aku saja yang dipanggil untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai suku unggul, melainkan ribuan orang hadir disini.
Walaupun berjumlah ribuan orang dari berbagai kalangan, dengan cepat aku dapat mengenalinya semua dengan karakter sifat yang tak pernah aku tahu karakternya, suatu karakter yang tak pernah terjawab.
ADVERTISEMENT
Si pria bertopi ternyata melihatku, ia segera menghampiriku.
"Halo, saya pribadi mengapresiasi betul tindakan yang Anda lakukan. Suatu sikap yang berani sebagai suku unggul." kata si pria bertopi sambil tersenyum tipis.
Aku hanya mengangguk-angguk dan dengan tangannya penuh bekas luka, ia menepuk pundakku.
"Di mana satuan tugasku?" tanyaku keheranan.
"Ada di Pos 4 seberang sana, total satuan tugasmu berjumlah 1.000 orang dan akan dikirim ke Marries, tempat baru itu."
Marries? Seumur-umur baru pertama kali mendengar wilayah itu, gumamku. Tak lama aku kemudian bertanya,
"Sedangkan engkau, berposisi sebagai apa untuk satuan tugas ini?"
"Aku? Aku mengawasi satuan tugasmu. Memantau jika ada salah satu dari kalian memberontak." Ucapnya serius, badannya hendak bergetar samar-samar.
ADVERTISEMENT
Memberontak? Kenapa? Bukankah ini panggilan tugas suci bagi kami? Aku tak mengerti sama sekali, hanya orang bodoh yang memberontak.
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku segera menuju posku. Hasrat suku unggulku sudah mendidih dan akan tumpah untuk menuntun si hina di daerah Marries.
Setibanya di Pos 4, yang tak terlalu jauh dari tempatku semula, seluruh kumpulan manusia berkumpul berbarisan pada muka halaman pos tersebut. Tiba-seorang pria memanggilku dari belakang.
"He, tempatmu di sini. Segala hal untuk keperluan tambahan akan disiapkan untukmu." Ucapnya.
"Oh, baik." Kataku singkat untuk mencerna hal padat.
Muka putih orang itu penuh dengan luka bakar yang besar, sedangkan baju militernya pun penuh sobekan sehingga tampak kulit putihnya dari luar. Si putih seperti memandang remeh atau mungkin hina terhadapku, entah kenapa, ekspresi itu adalah hal baru bagiku.
ADVERTISEMENT
Aku memandang salah seorang dari 1.000 orang dalam Pos 4 ini, tatapannya sangat kosong walaupun ia menyunggingkan senyum. Dalam senyum tipisnya seolah-olah menyiratkan kepedihan yang mendalam. Matanya yang kosong, seperti telah lama mati dalam kesunyian yang melingkupinya. Entah mengapa dan apa yang ia lihat.
Aku berusaha melirik orang-orang lain, yang aku temui pun memiliki kemiripan yang sama; tidak bahagia, kelabu walaupun hari ini cerah, bahkan ada yang menangis di pojokkan bangku dekat pintu keamanan Pos 4.
Aku tak tahu, sekali lagi orang-orang ini terasa aneh bagiku, mereka mempertunjukkan sikap tak senonoh, bukankah mereka dan diriku adalah suku unggul? Suku Patria yang gagah perwira itu? Tugas mulia akan mereka hadapi, namun mereka menunjukkan sikap seperti suku hina lain!
ADVERTISEMENT
Aku hanya duduk mengikuti barisan sambil menggeleng-geleng kepala, melihat mereka bertingkah tak berbudi sebagai suku Patria. Namun sementara itu, diriku juga terus mengumpat terhadap perilaku mereka.
Dalam suasana marah tersebut, tanpa sadar aku dan satuan tugas mulai berangkat.
https://pixabay.com/illustrations/rooster-symbol-caricature-5786339/
Akhirnya aku tiba ke tempat baru ini, Marries. Tempat ini sangat kotor, mata hanya mengenal debu di sini dan kaki melangkah hanya pasir yang mengikuti. Bahkan tak ada tanaman hijau yang segar tumbuh di sini, tak satu pun! Uh, tempat yang pantas bagi si suku hina. Malamnya, satuan tugas kami menempati hotel mewah di tengah-tengah perkotaan kecil.
Aku menempati kamar bersama seseorang yang sekitar berumur 40 tahun. Ketika aku pertama kali melihatnya, aku langsung bisa menebak bahwa ia seorang gelandangan. Dengan pakaian sipilnya yang kumal, badannya kurus kering, matanya yang besar dan lesu, aku menyebutnya si kurus. Walau ia tampak kacau, ia tetap satu suku unggul sepertiku.
ADVERTISEMENT
"Engkau sudah makan?" Si kurus memulai percakapan.
"Baru saja aku makan," ucapku memandang matanya. "Bagaimana denganmu?"
"Tentu sudah, berjaga-jaga jika para pengawas kita tak memberi makan."
"Maksudmu? Mereka kawan kita sendiri, satu suku, tak patut kau mencurigainya." Kataku tajam dengan alisku terangkat.
Sebentar ia menatapku serius dengan mata besarnya,
"Kau belum mengerti? Satuan tugas sebelum kita, sudah hampir seluruhnya mati disiksa oleh pengawas kita sendiri, kawan sukumu itu."
Bulu romaku berdiri, seluruhnya mati? Seluruhnya, nyawa-nyawa itu? Namun aku tak memercayainya begitu saja.
"Mengapa aku tak tahu soal itu dan dari mana kau tahu?"
"Mereka selalu menutupi seluruh berita yang dianggap melemahkan mereka dan aku selalu mencari berita itu diluar jangkauan tangan-tangan biadab mereka," ucapnya sambil menatap barang-barangnya. "Dengar, orang-orang sepertimu, berdarah muda dan besar hasratnya, yang mampu ditipu soal suku unggul dan sukarela ikut satuan tugas ini."
ADVERTISEMENT
Aku sementara berpikir, melihat apa yang ia tatap lalu bertanya,
"Lalu, mengapa kau ikut satuan tugas ini jika kau tak senang?"
"Ketika aku memulung barang-barang sampah di jalanan, pria bertopi bersama 1 orang lainnya datang menghampiriku dengan menodongkan senjata serta mengancamku," ia merebahkan badannya pada kursi lalu melanjutkan, "Mereka dengan bangganya menyebutnya sebagai satuan sukarelawan. Padahal dalam sifat aslinya bertentangan! Orang-orang 'sukarelawan' ini menangis sesampainya di Pos 4, berwajah muram durja, mematung di depan Pos 4 menerawang kebebasan, kau tentu lihat mereka, 'kan?"
"Iya, aku melihatnya."
Ya! Tentu saja aku melihatnya, ia menjawab persoalan dengan jitu seperti panah, pikirku ia mengarang dan berbohong, namun raut wajahnya yang penuh garis tajam tak bisa membuktikan itu. Aku hanyut sekali dalam lamunan memikirkan perkataan si kurus, betapa bertentangannya dengan pemahamanku sekarang? Aku terus berpikir hingga aku pun terlelap di lantai.
ADVERTISEMENT
Tembusan sinar matahari membuatku terbangun, segera aku bergegas mencuci mukaku, membasuh dengan perlahan seraya berusaha menghentikan pusingku. Mataku langsung tertuju pada si kurus yang sedang menulis pada secarik kertas, ia menaruh perhatian penuh pada kertas itu, terlihat sedikit marah dan sedih secara bersamaan, entah apa yang ia tulis.
Pagi ini si kurus sama sekali tak berbicara padaku, entah mungkin karena peristiwa malam itu penyebabnya. Ia hanya menulis dan setelahnya bergegas keluar kamar, hanya itu, tak menghiraukanku.
Tepat pukul 8 pagi, satuan tugas kami dikumpulkan pada tengah lapangan samping parkir hotel, lalu tak berselang lama tampil pria bertopi dengan 4 orang di belakangnya. 4 orang tersebut membawa 2 kotak peti besar. Si pria bertopi pun memulai pembicaraan:
ADVERTISEMENT
"Sebagai pengawas jalannya tugas ini, saya berkewajiban penuh sebagai suku unggul atas segalanya yang terjadi pada kalian," ucapnya sembari mengelus-elus jenggotnya, "Kalian adalah pemanggul tugas suci dan kebanggaan suku Patria. Memimpinlah dan kuasai orang-orang hina diluar sana!"
Ia menengok pada 4 orang di belakangnya, seperti memberi kode pikirku. Ya ternyata benar, memberi kode untuk meletakkan 2 peti besar itu untuk diletakan di depan para relawan. Aku sama sekali tak tahu apa isi dalam kotak tersebut, aku mencari kepala isi jawaban diantara relawan-relawan namun hasilnya nihil, mereka juga kebingungan. Ketika aku melihat si kurus, tampak ia terlihat kaku tak bergerak dan tak ada raut kebingungan sama sekali.
Si pria bertopi hendak membuka peti besar itu, tampak pula ia kesusahan. Untung dibantu 1 orang lainnya dengan cakap. Tak berselang lama sedetik pun terbuka, maka berserakanlah pistol dan pisau secara telanjang tampil di mata kami.
ADVERTISEMENT
Badanku sempoyongan dan merasa ngeri melihatnya, untuk pertama kalinya aku melihat pistol! Orang-orang di sampingku berteriak ramai, pikiran mereka kalut, dan seperti terbakar di neraka. Sekelebat mata dalam kekacauan itu, aku melirik si kurus yang lagi-lagi bersikap tenang seakan-akan sudah menebak kejadian itu. Lalu si pria bertopi dengan marah berteriak:
"Diam! Kalian seperti tak pernah melihat pistol saja. Seperti ini cara suku Patria kita bekerja, kita harus menguasai orang hina luar sana dengan menodong pistol di mulut mereka. Peras kekayaan mereka sampai kering, jarah segala hal yang berharga untuk suku Patria dan diri kalian sendiri," ucap pria bertopi, sebentar ia merapikan dasinya. "Barang siapa yang tak membawa hasil jarahan sepeser koin pun, kami tak segan-segan untuk menembaknya dengan rudal kami."
ADVERTISEMENT
Pikiranku pusing, hampir-hampir tak kuasa berdiri menahan apa yang aku dengar, aku sungguh tak meyakininya. Selama aku hidup sebagai suku Patria, aku diajarkan untuk bertindak patriotik memimpin suku hina lain dikemudian hari.
Ya, memimpin, pikirku memberi penerangan dan petunjuk baik ke jalan yang sama sekali baru bagi mereka. Begitu pula bertahun-tahun lampau guru-guru yang mengajariku, kami semua diajarkan untuk berpendirian agar kami mempunyai alat berguna untuk berpengaruh, bagi kesejahteraan suku hina lain.
Apa yang diucapkan si pria bertopi, membuat seluruh fondasi bayangan keindahan memimpin suku lain yang telah aku bangun selama ini diruntuhkan seketika.
Ketika seluruh relawan mendapatkan pistol secara bergilir, tibalah saatnya diriku menerima dari genggaman si putih. Ia memperhatikan menyeluruh wajahku, menebak-nebak pikiran dan perasaan dalam diriku. Kemudian ia berucap:
ADVERTISEMENT
"Kau beserta 20 orang lainnya akan menuju pos penduduk Marries Selatan." Ucapnya sambil menyerahkan pistol padaku.
Aku meraihnya dengan keras, tanganku tak mampu membawa benda pembunuh itu, aku menatap keras pada si putih, peduli setan dengan tugas itu, gumamku.
https://pixabay.com/illustrations/albania-theth-mountain-catholic-4007161/
Aku ditempati bersama 20 orang lainnya, termasuk si kurus, di daerah Marries Selatan. Pos penduduk, seperti yang aku lihat, kosong-melompong tak ada aktivitas. Bukan pos penduduk jika tanpa aktivitas, pikirku. Apakah mereka ketakutan bertemu kami sebagai suku Patria?
Aku terus melangkah menjelajahi bagian barat daya sendirian, sedang yang lain berada di timur. Aku mulai masuk ke rumah seseorang, rumah itu tampak menyedihkan, segalanya berantakan, bahkan bisa diprediksi 1 jam dari sekarang akan hancur. Sesudah membuka gagang pintu kayu, sesosok pria bertubuh kecil hadir dalam mataku, tampak sekali ia ketakutan padaku, si kecil ini menyembunyikan mukanya yang malang pada bantal.
ADVERTISEMENT
"Disini aku tidak hendak membunuhmu," kataku pelan padanya, "Aku ingin memahami dan membantumu."
"Bagaimana aku bisa memercayaimu? Sedang kawan-kawanmu sudah membantai keluargaku." Ucap si kecil itu, mengatakannya dengan getaran hebat.
Aku seperti tersambar petir, kata-kata itu tak pernah kuharapkan datang padaku sebelumnya, oh Tuhan!
Lalu aku segera mendekatinya perlahan dan ia berkata,
"Peristiwa itu terjadi malam hari, 1 bulan yang lalu. Aku dan keluargaku hendak tidur malam, tiba-tiba suasana sunyi berubah menjadi kekalutan yang dahsyat. 4 orang dengan senapan lengkap masuk membombardir keluargaku." Ucapnya sesekali menyeka air matanya.
".....aku sempat berlindung di bawah kolong tempat tidur dan mereka dengan buasnya menjarah segalanya apa yang ia lihat. Sementara itu, mataku tertuju pada ayah dan ibuku yang menganga tergolek lemas."
ADVERTISEMENT
Aku hanya menatap sorot matanya yang kabur, sorot mata kepedihan tampak jelas sekali dalam pikiranku. Lalu si kecil melanjutkan,
"4 orang itu tentu melihatku bersembunyi, salah seorang diantaranya membentakku untuk berdiri di hadapan mereka. Ketika aku berdiri, mereka tertawa dan meludahiku. Seolah-olah menganggap diriku hanya kecoak Gregor Samsa, hina, dan menjijikkan yang pantas diinjak!"
Aku tak bisa berucap sepatah kata pun untuk merespons rentetan ucapan yang baru saja aku dengar. Batinku terasa bergejolak dalam sunyi.
Lalu ia menatap diriku yang tengah menatapnya. Ia melanjutkan kembali dengan tatapan marah:
"Kau dan aku beserta kawan-kawan sukumu, bukankah sama-sama seorang manusia dengan kesamaan derajat?"
Ia sekali lagi memandangku, mencari jawaban dari bahasa tubuhku yang tak berdaya. Tak membutuhkan waktu lama, diriku dan si kecil saling berdiam diri untuk waktu lama.
ADVERTISEMENT
Aku teringat suatu peristiwa di masa kecil, kira-kira saat SD. Aku diajarkan begitu banyaknya prinsip-prinsip dasar suku unggul yang mengobar-kobarkan bahwa kami lebih unggul dari siapa pun.
Namun naluri manusia bersih dan manusia suci kebanggaan Tuhan seperti anak kecil selalu benar. Aku berpikir jika orang luar sana tak memiliki suku sepertiku, apakah ia langsung dicap rendahan? Aku tak menanyakan lebih lanjut pada guruku.
Sepulang sekolah, aku hendak bermain dengan temanku yang lain. Kami saling riang bermain bersama sepanjang sore, hingga guruku melintas tepat di depan kami dengan sinis, bentuk awan gelap.
"Ingatlah, kau dilahirkan dengan keunggulan. Tak patut jika kau bermain dengannya, suatu tanda hina pada dirimu mulai muncul." Katanya sambil lewat pergi begitu saja.
ADVERTISEMENT
Aku yang berpaham untuk selalu membebek pada guru, menaatinya. Muka temanku tiba-tiba murung, lalu ia tanpa berucap pergi meninggalkanku. Aku teringat posisinya saat ia meninggalkanku selamanya.