Konten dari Pengguna

Ke Tempat Baru (2)

Alvino Kusumabrata
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
28 November 2021 16:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvino Kusumabrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
https://pixabay.com/illustrations/art-impressionism-painting-4765171/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/illustrations/art-impressionism-painting-4765171/
Dalam lingkup keheningan tiada taranya di antara kami berdua, si kurus tampil di muka pintu. Si kurus sama sekali tak menampik pada kehadiranku di sana. Ia mulai mendekati si kecil, lalu bertanya kepadaku tanpa menoleh:
ADVERTISEMENT
"Mengapa kau di sini, ingin mencabut urat saraf anak ini?" Cecar si kurus padaku.
"Aku tidak melakukan tugas seperti yang lain, aku muak pada penindasan. Aku hanya ingin melihat kehidupan yang baru."
Si kecil memeluk tubuh si kurus, seolah-olah tak pernah bertemu dalam waktu yang lama.
"Kalau akhirnya kau tahu jalan Tuhan, terima kasih." Ucap si kurus sambil mengelus rambut si kecil.
"Terima kasih untuk apa? Aku tak melakukan sesuatu untukmu."
"Kau lain, aku tahu. Kau mulai menapaki jalan-Nya, untuk itu aku berterima kasih. Tak semua orang ingin untuk mulai menapaki jalan Tuhan yang terjal."
ia beranjak berdiri lalu melepaskan topi yang sudah bersarang di kepalanya dalam waktu lama. Setelahnya duduk kembali pada bangku reyot bersama si kecil.
ADVERTISEMENT
"Aku memulung hingga ke daerah ini. Suatu waktu, 1 bulan yang lalu, aku menemui anak ini sedang menangis di depan pintu. Hatiku tergerak untuk mendekatinya dan ia menceritakan penderitaan yang ia alami. Karena itu, aku membantunya dalam hidup," ucap si kurus sambil mengelus-elus kepala si pendek. "Bukankah manusia harus berbuat demikian, bukan?"
"Tentu, kau benar."
Aku memerhatikan si kurus yang mengayomi si kecil layaknya seorang ayah pada anaknya. Hatiku menjadi iba dan pedih yang mendalam. Aku tak pernah melihat peristiwa indah ini dalam mimpi bahkan hidup!
***
Seperti meledaknya bom di tengah laut yang tenang, kami bertiga mendengar teriakan seseorang di rumah seberang diikuti suara tembakan pistol yang memaksanya berhenti berteriak.
ADVERTISEMENT
"Kawan, kau dengar itu? Jika para harimau buas itu sampai di rumah ini, maka si kecil akan terancam hidupnya." Bisik si kurus padaku, yang suaranya hampir tak terdengar.
Saat itu juga, si kurus dan si kecil pergi dari rumah untuk menyelamatkan diri, aku mengikuti mereka. Untuk pertama kalinya bagiku, merasakan penderitaan ketakutan hebat dari bayang-bayang pistol suku Patria.
Kami berlari secepat mungkin, mendadak kami mencium bau menyengat nan memabukkan, bau darah. Si kurus memandangku, ia membisikkan lewat angin padaku. Di tengah perjalanan, kami akhirnya menemukan sumber bau darah itu. Pemandangan baru tampak di mata kami yakni 4 orang mati tergeletak di pinggir rumah dengan kondisi sudah tertembak, 4 orang itu adalah keluarga.
ADVERTISEMENT
2 anak laki-laki mati dengan tertembak pada bagian dada dengan mulut telah robek. 2 pasangan suami istri mati dengan saling berpegangan untuk terakhir kali, memberikan bingkai sempurna manusia. Di sisi tembok kanan terpampang poster seorang suku unggul tengah memeluk suku hina. Memeluk! Apakah ini arti memeluk bagi mereka?
Sekali lagi, kami mendengar suara pistol di tengah kehampaan. Dan sumber dari suara itu berada di sawah. Seorang suku Patria telah menembak petani kecil pada bagian tangannya. Petani itu memegang lumuran darah dari tangannya dengan merintih tegang, ia hendak memukul mundur penembaknya dengan tendangan kakinya. Tapi, apalah daya seorang petani kecil itu! Ia tidak memiliki kuasa besar sehingga suku Patria itu memukul wajah petani malang hingga ia tergelepar di tanah.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, suku Patria itu menginjak-injak wajah dan dadanya. Dengan kondisi setengah telanjang dan darah bercucuran, ia akhirnya ditembak mati tepat di dahi. Dengan napas tersengal-sengal, penembak itu mengulurkan tangannya lalu merogoh tas petani untuk mengambil beberapa keping koin emas.
Kami berada di dekat sawah untuk bersembunyi sebentar, sambil berdoa untuk arwah petani yang malang. Si kecil menundukkan kepalanya dan begitu pula kami. Peristiwa-peristiwa yang mencoreng manusia telah terjadi hanya dalam kurun waktu 20 menit, 20 menit!
https://pixabay.com/illustrations/city-old-city-building-historical-3540975/
Rupanya iblis ingin kami mati, dalam perjalanan kami menemui 2 orang suku Patria tengah berjaga-jaga di pos, ia melihat nyata ke arahku yang sedang menggandeng tangan si kecil, ia meneriaki kami karena bagi mereka gandengan tangan dengan suku hina adalah buruk.
ADVERTISEMENT
Dan kami meloncat menghempaskan diri menuju sisi rumah yang sudah tak berpenghuni untuk bersembunyi.
Penjaga itu terus mengejar kami. Dari arah barat, aku mendengar derapan khas sepatu lars penjaga itu, dengan cepat aku dan si kecil menenggelamkan diri pada tempat sampah yang cukup besar untuk menampung kami, sedangkan si kurus menyelinap di balik pintu tak terpakai.
Sementara itu, langkah-langkah sepatu yang berat semakin mendekat, aku menutup mulut si kecil agar tak bersuara ketakutan, rambat kegelapan yang menyertaiku di tong sampah menambah suasana hitam dalam diriku dan si kecil.
Kali ini raja iblis, Beelzebub, mulai bekerja agar kami tertangkap. Pintu itu terdorong sedikit oleh si kurus, sehingga menimbulkan suara perhatian. Penjaga itu segera mendekat dan tiba-tiba berteriak kegirangan seraya mendapatkan si kurus dari balik pintu, lalu orang itu berucap:
ADVERTISEMENT
"Kau, kau orang itu! Kau segera kami tangkap dan akan kami bawa ke pengawas!"
Dari dalam tong, kami terdiam. Orang itu? Ditangkap? Karena apa si kurus ditangkap?
"Apa tuduhan saya atas penangkapan ini? Saya satu suku denganmu!" Ucap si kurus.
"Surat yang kamu tulis pagi ini," kata penjaga itu, memukul si kurus, "adalah suatu tanda pemberontakan yang nyata bagi kami!"
Si kurus terlihat tak berdaya dalam kuasa penjaga itu, ia sesekali memberontak.
"Mengapa kalian takut pada kebenaran?" Teriak si kurus.
Perlawanan si kurus tak membuahkan hasil, ia tetap dibawa si penjaga.
Aku dan si kecil mengikuti mereka dari belakang sekali, kami takut ketahuan. Sambil tertawa, si penjaga memukul perut si kurus, menampar mukanya yang kering berkali-kali. Si kecil sangat tertekan melihat peristiwa itu, ekspresinya berubah menjadi kegeraman yang hebat. Aku terus menjaga emosi membara si kecil sambil berpikir bahwa si kurus akan dibawa ke hotel.
ADVERTISEMENT
Ternyata, arah kami menuju hotel, hotel mewah yang berantakan dari kejauhan. Dekat menuju hotel, aku menyadari kondisi lapangan hotel itu cukup ramai, aku dan si kecil harus memantaunya cukup jauh dari sempalan orang-orang itu, para suku Patria. Ternyata, di tengah lapangan terdapat si pria bertopi dengan 3 orang lainnya, si pria bertopi melihat si kurus lalu menghampirinya, ia berkata:
"Pecundang hina ini! Berani-beraninya kau ingin memberontak!"
"Siapa yang memberontak?" Kata si kurus menyambar.
Tak sempat membela diri, ia memukul wajah si kurus hingga berbunyi.
"Kau buta? kau menulis apa pada secarik kertas pagi ini? Apa arti dari tulisan itu, hei buta?" Hujam cecaran dari si pria bertopi.
"Lihat, berapa banyak ribu bahkan jutaan manusia tergeletak tak bernyawa karena kalian menginginkan 1 koin emas dari mereka? Apakah nyawa manusia sepadan dengannya?" ucap si kurus, "Mereka hidup di bawah sepatu hitam malaikat maut suku unggul. Dengan dalih suku unggul semata, kalian semua memonopoli kebenaran!"
ADVERTISEMENT
Para satuan tugas di sekelilingnya tertegun dengan pernyataan si kurus, diriku dan lain-lain begitu dalam memandang wajahnya. Si pria bertopi memerintahkan 2 orang di belakang untuk mengikat tangan si kurus. Si kecil khawatir dan segera menepuk-nepuk diriku untuk melakukan sesuatu. Aku tak bisa melakukan apa pun, setidaknya untuk sekarang.
Mereka membawa si kurus untuk naik ke podium di tengah lapangan, dan mengikat si kurus pada tiang besi karatan. Seperti gajah sirkus, si kurus dipertontonkan oleh banyak orang. Para satuan tugas hanya melongo seperti orang bodoh melihat si kurus disiksa oleh 2 pengawas. Aku tak dapat melakukan banyak hal, mata si kurus melihat diriku dari jarak jauh, tapi aku tak bisa menerawang pikirannya saat itu, terlihat sekali ia membutuhkan bantuanku, aku tak bisa.
ADVERTISEMENT
Si pria bertopi berdiri di samping si kurus, ia mengeluarkan kertas catatan si kurus dan mempertunjukkan pada umum.
"Inilah tanda pengkhianatan terhadap suku Patria!" kata si pria bertopi, "Suatu hal yang bodoh."
Kemudian ia membacakan dengan lantang isi pemberontakan itu untuk orang-orang, yang kemudian hari dapat aku baca seluruhnya kira-kira seperti ini isi tulisannya:
https://pixabay.com/vectors/flowers-pattern-lotus-lily-3340913/
Si pria bertopi telah selesai membacakannya dengan tertatih-tatih, lalu ia menarik napas panjang. Ia memandang si kurus dengan raut menindas kemudian ia memandang orang-orang, berharap untuk memberi rasa kecaman pada si kurus. Si kurus hanya memandang tegap si pria bertopi.
ADVERTISEMENT
Namun, harapan untaian kecaman tak datang jua. Para satuan tugas hanya menghargai diam, ada beberapa orang yang tertunduk dan menopang dagu. Kali ini aku mengerti jalan pikiran mereka.
Si pria bertopi geram dengan tingkah khalayak satuan tugas itu. Tiba-tiba, si pria bertopi mengeluarkan pistol dari sakunya, mengangkat benda itu dengan hati-hati.
Suasana sangat mencekam, orang-orang tampak bingung dan diam. Pistol itu ditempelkannya pada kepala si kurus.
"Akan aku tembak anak ini," kata si pria bertopi, meletakkan ujung pistol di kepalanya. "Kau tak pantas untuk hidup satu suku denganku!"
Dalam diriku timbul gejolak luar biasa, palung terdapat dalam diriku. Tiba-tiba tanpa sadar, si kecil telah lepas pada genggamanku, ia menghampiri si kurus dengan berteriak:
ADVERTISEMENT
"Jangan!"
Kekuatan yang entah dari mana mendorong aku bergerak untuk lari bersama si kecil menggagalkan penembakan. Saat aku berlari, sekelilingku terasa gelap dan cahaya muncul pada tubuh si kurus.
Aku terus berlari dan aku melihat si kecil menarik pria bertopi. Tapi, peluru itu berhasil ditembak dan melesat pada kepala si kurus. Si kurus tergantung dengan tatapan tajam, mata matinya tetap memandang pada si pria bertopi.
Si kecil menggigit kulit si pria bertopi, hampir-hampir kulitnya tercerai dari induknya. Setelah menggigit, ia menuju pelan pada si kurus, ia menangis sesenggukan dan berteriak. Aku lunglai dan merengkuh pada si kurus. Cahaya yang muncul dalam tubuh si kurus mulai redup dan seluruhnya gelap di mataku.
ADVERTISEMENT