Konten dari Pengguna

Tanggapan untuk Ulil Abshar-Abdalla

Alvino Kusumabrata
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
18 Februari 2024 16:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvino Kusumabrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kantong surat suara. Foto: ANTARA/Umarul Faruq.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kantong surat suara. Foto: ANTARA/Umarul Faruq.
ADVERTISEMENT
KEMENANGAN pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menimbulkan anomali tersendiri. Kendati paslon tersebut memenangkan 50% lebih suara dalam hasil quick count, nyatanya banyak, representasi terbesar dalam percakapan media sosial X (Twitter dulu) menunjukkan kekecewaan mendalam atas hasil itu.
ADVERTISEMENT
Tulisan cendekiawan NU Ulil Abshar-Abdalla yang bertajuk "Memahami Kemenangan Prabowo" di Harian Kompas, 15 Februari lalu, memberikan tinjauan segar atas kemenangan Prabowo dalam pilpres 2024 ini. Dari berbagai uraiannya, analisis paling krusial terletak pada poin kedua: isu kemunduran demokrasi dan konstitusi yang digaungkan kaum intelektual tampaknya bukan sesuatu isu penting bagi rakyat kebanyakan dengan ditandai kemenangan paslon 02 tersebut.
Hal ini disebabkan, menurut Ulil, kemenangan paslon 02 mewakili keinginan rakyat luas agar warisan pembangunan Jokowi masih dilanjutkan dengan menomorduakan masalah demokrasi.
Ada beberapa celah yang bisa ditanggapi dari tulisan Ulil
Pertama, betul bahwa ini menjadi wake up call bagi kalangan terdidik mengenai realitas minimnya pendidikan politik bagi rakyat luas. Selama ini politik menjadi suatu barang eksklusif yang digunakan oleh kalangan atas. Isu-isu politik tidak sampai ke akar rumput (grass roots).
ADVERTISEMENT
Hal itu semua tak terlepas dari riwayat Indonesia. Selama Orde Baru, masyarakat terperangkap dalam politik massa mengambang. Slogan "stabilitas dan masalah ekonomi sebagai panglima" didengungkan yang sebelumnya dipegang oleh politik. Kondisi demikian masih terus berlanjut hingga 25 tahun Reformasi.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh sejumlah akademisi antarkampus beberapa waktu lalu menjadi salah satu strategi baik memberikan pendidikan politik luas bagi masyarakat. Mengacu pada teori komunikasi dua arah (two steps flow communication), kalangan terdidik—bersamaan dengan pemuka agama, tokoh masyarakat—punya peran vital bagi masyarakat. Mereka dianggap menjadi penjembatan antara golongan atas dan bawah. Dan umumnya lapisan bawah lebih percaya atas pendapat para penjembatan itu.
Tentunya pendidikan politik juga tak bisa berhenti karena momentum tertentu seperti di atas. Perlu adanya kerangka agenda yang sistematis dan kontinuitas dari berbagai kalangan, seperti lembaga politik bahkan individu.
ADVERTISEMENT
Kedua, tinjauan Ulil dapat disimpulkan bahwa isu sosial-politik dengan ekonomi memiliki derajat yang berbeda. Padahal, antara sosial-politik dan ekonomi berkaitan erat satu sama lain. Contohnya tidak jauh, kemunduran demokrasi yang disuarakan kalangan terdidik nyatanya juga membawa pengaruh tertentu dalam ekonomi.
Dalam artikel "Ekonomi dan Krisis Demokrasi" di Kompas (21/11/2023), Agustinus Prasetyantoko menyebutkan bahwa mundurnya demokrasi dapat mengecilkan makna negara maju dan pembangunan ekonomi yang citranya telah dibangun—oleh berbagai capres—sedemikian rupa. Jadi, jatuh-bangun demokrasi berkelindan dengan ekonomi.
Terlepas dari itu semua, baik tulisan Ulil dan tanggapan ini, bisa memberikan diskursus yang menyehatkan pasca-Pemilu 2024.