Konten dari Pengguna

Tantangan dan Dilema Bergeraknya Kaum Intelektual

Alvino Kusumabrata
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
12 Februari 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alvino Kusumabrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah akademisi UGM merilis Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, 31 Januari 2024. Petisi dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Psikologi, Prof. Drs. Koentjoro, Ph.D., didampingi para guru besar sampai alumni dan aktivis BEM KM UGM. Foto: Humas UGM
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah akademisi UGM merilis Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, 31 Januari 2024. Petisi dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Psikologi, Prof. Drs. Koentjoro, Ph.D., didampingi para guru besar sampai alumni dan aktivis BEM KM UGM. Foto: Humas UGM
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
GEMURUH politik Indonesia menemui klimaks dewasa ini. Warna pemilihan umum (pemilu) 2024 bertambah gelap ketika Presiden Joko Widodo melontarkan pernyataan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu. Pernyataan tersebut tidak pernah ditarik kembali oleh Jokowi di tengah kontroversinya.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, di depan pers, Jokowi membentangkan kertas yang tertulis “Pasal 299 Ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum” kendati menampilkannya tidak lengkap. Apalagi isu permasalahan bantuan sosial (bansos) yang dianggap jadi alat politik untuk pemenangan salah satu pasangan calon presiden.
Dari titik kulminasi tersebut, asosiasi guru besar kampus-kampus mulai bergerak menyatakan sikapnya di tengah akrobat politik penguasa yang meninggalkan etika dan demokrasi. Petisi Bulaksumur dari UGM dilayangkan dan diikuti beberapa universitas, seperti UII, UMY, UI, Universitas Hasanuddin, IPB, dan lain-lain. Saya yakin, kuantitatif kampus akan bertambah banyak di hari-hari esok.
Namun, gerakan kaum intelektual tersebut menimbulkan dilema dan tantangannya tersendiri. Banyak tantangan yang harus dihadapi mereka baik secara internal maupun eksternal.
ADVERTISEMENT

Bukan di Menara Gading

Tentu banyak sekali respons mengemuka akibat geraknya kaum intelektual tersebut. Salah satu yang penulis soroti adalah tidak sedikit yang berkomentar di berbagai media sosial bahwa “intelektual harusnya berkutat dan mengajar di kampus saja, tak boleh urus-mengurus politik”. Komentar lain menyebut “sikap akademisi di berbagai universitas tersebut tidak etis”.
Inilah tantangan lain bahwa kaum intelektual menghadapi masyarakatnya sendiri. Mungkin pula sudah sekian lama komentar-komentar tersebut sudah mengakar sebagai kebenaran oleh sebagian masyarakat dan menjadi stereotip.
Anggapan demikian, menurut hemat penulis, kurang benar. Tanggung jawab internal kaum intelektual terletak pada moralitas untuk mengadvokasi keadilan dan kebenaran terhadap sesuatu yang dianggap salah dengan mengungkapkan satu pernyataan sederhana: keadaan saat ini salah dan harus kembali pada jalur sesungguhnya. Dengan dasar moralitas sederhana itulah kaum intelektual mampu bergerak dan tidak berdiam diri seperti pertapa.
ADVERTISEMENT
Noam Chomsky dalam esai “The Responsibility of Intellectuals” (1967) mengungkapkan, “Kaum intelektual berada dalam posisi untuk mengungkapkan kebohongan pemerintah, serta untuk menganalisis tindakan dan motifnya yang acapkali terdapat niat tersembunyi.” Dengan demikian, kaum intelektual tidak pernah berada di posisi menara gading yang terpisah dengan realitas sosial-politik.
Memang sudah menjadi peran purba kaum intelektual untuk menyentuh koridor politik dan berseberangan dengan pemerintah. Hal ini pernah diungkap sosiolog Amerika Immanuel Wallerstein dalam “Knowledge, Power, and Politics: The Role of an Intellectual in an Age of Transition” (2004) yang menyebut bahwa peran kaum intelektual “bisa menjadi musuh dan membuka kedok persepsi bagi mereka yang sedang berkuasa”.
Tercerainya kaum intelektual dengan realitas sosial-politik akan menimbulkan malapetaka bagi bangsa ini. Malapetaka tersebut tentu akan lebih parah andai kaum intelektual justru merapat pada kekuasaan yang menjustifikasi pelanggaran dan kerusakan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan yang melanggengkan pelanggaran—dan kemudian otoritarianisme—berpotensi memonopoli pengetahuan seperti yang diperingatkan oleh Harold Innis dalam buku The Bias of Communication (1951). Di sinilah titik strategis peran kaum intelektual. Keberanian mengambil risiko untuk memanfaatkan privilege dalam mengungkapkan kebenaran sekaligus membuka tirai demokrasi yang lebih luas—sesuatu yang tidak bisa dikerjakan sendiri oleh warga sipil. Privilege itu tercipta dari pengetahuan bebas nilai dan objektif yang dimiliki kaum intelektual.
Dalam sejarah Indonesia, kaum intelektual telah banyak beririsan dengan urusan sosial-politik sejak zaman kemerdekaan. Mereka turut berkontribusi perihal peletakan dasar berbangsa dan bernegara.
Pun, dalam riwayatnya, kaum intelektual acapkali berhadapan dengan pemerintah yang sudah tidak sesuai dengan rel demokrasi. Pikiran kita masih segar mengingat bagaimana Mohammad Hatta (1956) sebagai intelektual berani mengkritisi Sukarno dalam tulisan panjang Demokrasi Kita. Satu dekade kemudian, berbagai akademisi UI menggelar banyak seminar untuk menampar hasil kerja Demokrasi Terpimpin milik Sukarno.
ADVERTISEMENT
Tidak pernah ada yang salah dari gerakan kaum intelektual belakangan ini. Memang sudah menjadi tabiat dan peran internalnya bahwa kaum intelektual berbuat.

Politisasi Kampus

Belakangan ini, Mahfud Md. mendapat laporan dengan adanya sejumlah tekanan yang dihadapi rektor untuk membendung gerakan kaum intelektual dalam pembuatan petisi. Bahkan, sejumlah rektor tersebut diharapkan untuk membuat petisi tandingan ihwal kebaikan pemerintah Jokowi.
Beberapa waktu lalu, petisi tandingan bahwa “Indonesia baik-baik saja” pun sudah dibentuk oleh mereka yang menamai diri sebagai “Alumni dan Akademisi Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Indonesia”.
Tantangan seperti demikianlah yang sering ditemui oleh kaum intelektual ketika bergerak. Mereka menghadapi upaya politisasi kampus yang masif dan rentan disetir oleh kepentingan tertentu. Tulisan Soe Hok Gie (1966) yang bertajuk “Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai” menjadi pengingat penting agar kaum intelektual harus membebaskan diri dari belenggu politisasi. Pergerakan yang dilayangkan oleh kaum intelektual dalam kampus harus dijaga dari berbagai kepentingan kecuali kepentingan nilai moral.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, pemerintah harus sadar bahwa kaum intelektual adalah pilar penting dalam demokrasi. Pemerintah memiliki political will untuk memastikan marwah kampus agar steril dari kepentingan politik.
Kendati memiliki tantangan-dilema, momentum pergerakan kaum intelektual dari kampus-kampus tersebut tidak pernah terlambat. Penulis yakin tantangan akan mudah ditangani bersamaan dengan kuatnya seragamnya suara kaum intelektual antarkampus.
Memang sudah saatnya kaum intelektual kita mengemban tugas untuk menyingkap dan mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam bentuk apa pun, termasuk pembajakan demokrasi dan konstitusi, sekaligus menjaga kualitas demokrasi.*