Konten dari Pengguna

Ilusi Kesejahteraan: Apakah Indonesia Akan Kehilangan Cita-cita Mulianya

Alwan
Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
29 Januari 2025 14:56 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tujuan Masa Depan Indonesia, Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tujuan Masa Depan Indonesia, Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan yang memiliki banyak instrumen untuk dapat melakukan sesuatu terhadap wilayah dan masyarakat. Meminjam pendapat dari Thomas Hobbes dalam teori mengenai awal mula negara terbentuk yang menyatakan “homo homini lupus”, artinya manusia merupakan serigala bagi manusia lain. sifat manusia yang dapat saling menyakiti itu yang menyebabkan perlunya suatu perlindungan dengan cara menyerahkan urusan perlindungan kepada orang atau kelompok yang di anggap lebih kuat untuk dapat menjaga suatu kelompok atau individu yang lebih lemah.
ADVERTISEMENT
Pendapat lain dalam teori kontrak sosial yang diungkapkan oleh Rousseou mengenai awal mula terbentuknya sebuah negara mengatakan bahwa negara terbentuk ketika ada sebuah kesepakatan diantara individu atau masyarakat untuk mendirikan sebuah negara sekaligus memberikan mandat kepada seseorang untuk menjadi pemimpin.
Dari kedua pendapat diatas di atas memiliki tujuan yang sama, yakni untuk perlindungan serta kesejahteraan. Tapi dalam pendapat yang pertama, kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang absolut dalam arti penguassa memiliki kekuasaan yang sangat besar dan bebas melakukan apapun. Sedangkan pendapat kedua, penguasa dapat bertindak selama tindakan itu diberikan dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang diberikan oleh masyarakat. Penguasa seketika dapat diturunkan oleh masyarakat ketika penguasa melakukan tindakan yang membuat masyarakat tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, semua instrumen yang dimiliki negara idealnya digunakan untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat. Negara dipercaya oleh masyarakat bukan untuk sebaliknya, yakni sebagai perampas hak-hak masyarakat sehingga membuat masyarakat tidak nyaman dan merasa terancam oleh tindakan yang dilakukan negara.
Ketika berbicara mengenai Negara Indonesia yang begitu kompleks dengan berbagai macam latar belakang, kebiasaan, pemikiran, agama, suku dan budaya. Masyarakat yang plural menjadi sebuah keunikan tersendiri sekaligus sebuah prestasi bagi Founding Fathers karena berhasil menyatukan pandangan dari berbagai macam perbedaan. Founding Fathers berhasil menyatukan pandangan melalui persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah serta berhasil menyatukan pandangan tentang cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pada alinea ke-4, yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
ADVERTISEMENT
Dapat terlihat dalam tujuan negara di atas telah merangkul seluruh kepentingan dari masyarakat yang plural. Tidak lepas dari peran Pancasila yang juga ditemukan oleh Founding Fathers dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai pedoman serta pandangan hidup bangsa dalam berbangsa dan bernegara. Dapat terlihat alangkah indah dan sucinya awal mula terbentuknya negara Indonesia.
Perkembangan konsep negara telah sampai pada Walfare State atau negara kesejahateraan yang mengidealkan negara turut serta bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara Indonesia tertulis dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila kelima pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian, negara harus memastikan kesejahteraan dapat dirasakan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya sebagian masyarakat tertentu. Jika negara mengabaikan hal tersebut, maka kedzaliman negara terhadap rakyat secara nyata terjadi.
ADVERTISEMENT
Lalu pertanyaannya, siapakah yang akan menjadi pemeran utama yang mampu membawa kesejahteraan di negara Indonesia? Tentu jawabannya setiap masyarakat yang ada di negara Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemeran utama terebut. Hanya saja pertanyaan selanjutnya, kapan pemeran utama tersebut mulai memainkan perannya? Tidak ada yang tahu.
Menyinggung sebuah cerita lama yang diucapkan oleh Jayabaya yang merupakan seorang Raja dari Kerajaan Kediri atau Panjalu yang memerintah pada tahun 1135-1157. Dalam ucapannya yang termasuk dalam ilusi kesejahteraan berbentuk sebuah ramalan dan bukan sebuah janji politik yang menjadi hal biasa pada zaman modern ini. Raja Jayabaya dalam ramalannya mengatakan akan ada seseorang yang akan membawa perubahan besar pada masyarakat. Pada masa itu keadilan, kesejahteraan, kemakmuran bukan lagi hanya sebagai angan-angan yang melanglang buana, ialah sosok yang mampu mewujudkan harapan rakyat serta ialah ujung tombak peradaban bangsa Indonesia yang disebutnya dengan Ratu Adil.
ADVERTISEMENT
Hanya menunggu dan berharap ramalan Raja Jayabaya terjadi tidaklah cukup, setiap masyarakat yang memiliki potensi menjadi Ratu Adil harus memiliki semangat juang dan berlomba-lomba untuk menjadi sosok yang diharapkan membawa perubahan besar dalam masyarakat. Tentunya dalam persaingan yang positif tidak seperti yang terjadi pada zaman modern ini yang melegalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Melihat cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa akan sangat sulit untuk mewujudkannya, karena tidak semua orang sepakat dengan ide kesejahteraan bagi seluruhnya, sebagian dari masyarakat hanya berbicara bagimana aku mendapatkan kesejahteraan dan bukan bagaimana kita semua dapat sejahtera. Sebuah kalimat “kita akan sejahtera” hanya akan digunakan dalam setiap pergantian periode kekuasaan yakni sekali dalam 5 tahun sebagai bentuk ilusi yang diberikan para calon pejabat negara kepada masyarakat yang mengharapkan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Bentuk ilusi yang diberikan banyak sekali macamnya, seperti memberikan sembako berupa beras, kopi, gula, teh, mie instan, sejumlah uang atau janji-janji manis yang terbukti masih cukup ampuh untuk memberikan harapan kepada masyarakat sehingga masyarakat terhipnotis dengan pikiran kolot “belum menjabat saja sudah rela memberi kami bantuan, lalu bagaimana jika ketika sudah menjabat, pasti akan lebih banyak memberikan bantuan”.
Sangat sulit membedakan calon pejabat negara yang memiliki hati yang tulus mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara, karena dalam perebutan kekuasaan tidak lepas dari politik sehingga menjadi sinyal kuat bahwa rambut sama hitam, artinya setiap orang memiliki cara berpikir dan kemauannya masing-masing dan terkadang tampak sangat peduli terhadap orang lain, padahal sedang memanfaatkannya untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam politik tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh sejati, kawan suatu saat dapat menjadi lawan dan lawan suatu saat dapat menjadi kawan tergantung situasinya.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan bahwa calon pejabat negara yang memberikan ilusi kesejahteraan pada masyarakat dalam bentuk tertentu justru mengkhianati harapan masyarakat yang telah memilihnya dan pada saat yang sama juga masyarakat tertipu oleh ilusi yang diberikan calon pejabat negara tersebut sekaligus pembodohan telah terjadi.
Lalu kemana aktor politik yang tulus dan bersih? Tentunya mereka disingkirkan oleh aktor politik yang kotor, mudah saja mereka melakukannya karena memiliki kendali penuh terhadap semua instrumen yang dimiliki negara seperti media, hukum, uang, bahkan lembaga-lembaga negara. Jika dibiarkan, maka aktor politik yang bersih itu akan terus menghantui aktor politik yang buruk sehingga merasa terancam bahwa dirinya tidak akan bertahan lama dalam kekuasaan. Tapi, jika aktor politik yang bersih berhasil menyadarkan masyarakat yang ditipu oleh aktor politik yang kotor untuk melawan segala bentuk penindasan dan mendapat simpatinya, mudah saja bagi aktor politik yang buruk itu turun dari kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia memberanikan dirinya mengadopsi sistem Demokrasi sebagai alat penunjang meraih cita-cita dan tujuan negara. Demokrasi yang mengidealkan kekuasaan dipegang oleh rakyat sehingga setiap individu memiliki hak untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara yang mengutamakan pengambilan keputusan dengan cara musyawarah bersama terlebih dahulu untuk menyatukan pandangan mengenai suatu persoalan untuk mendapatkan solusi terbaik bagi semua kepentingan. Oleh sebab itu, dalam konsep demokrasi setiap individu mendapat perlindungan bagi hak-hak dasar yang telah melekat pada setiap manusia sejak dalam kandungan yang tidak boleh direnggut oleh siapapun bahkan oleh negara sekalipun. Seperti hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk hidup, hak untuk hidup sejahtera, dan hak-hak lainnya.
Tapi tampaknya sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia tidak semulus yang di bayangkan, karena masih melekatnya beberapa sikap dari masa-masa Indonesia ketika masih di dominasi oleh sistem kerajaan, yakni sikap Feodal yang masih melekat pada sebagian masyarakat terutama bagi mereka yang menduduki kekuasaan sehingga mereka merasa paling berkuasa dan tidak perlu mendengar siapapun. Hal tersebut menjadi sebuah persoalan bagi konsep Demokrasi yang menentang kekuasaan absolut yang memberikan peluang besar bagi kesewenang-wenangan untuk tampil.
ADVERTISEMENT
Tampak begitu jelas ketika masyarakat melakukan protes dengan melakukan aksi unjuk rasa tapi mereka justru di kriminalisasi, dipukuli, ditendang sampai ditarik secara paksa, bahkan harus merenggut nyawa rakyatnya sendiri seperti kasus Marsinah, Munir, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II. Adanya Komnas HAM juga rasanya tidak berguna karena tidak mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi. Tidak ada rasa kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan menjadi hal yang wajar ketika kebodohan menjadi pemimpin.
Seperti kata bung Karno yang mengatakan bahwa perjuangan yang dilakukannya bersama kawan-kawannya pada saat melawan lebih mudah karena melawan penjajah, sedangkan setelah merdeka bangsa Indonesia akan melawan bangsanya sendiri yang akan lebih sulit. Dari pernyataan Bung Karno itu memberikan sinyal kuat bahwa akan ada masanya manusia seperti serigala berbulu domba yakni orang yang bermain peran seolah-olah baik namun sebenarnya jahat dan itu sudah tampak jelas untuk disaksikan oleh mata, di mana korupsi, suap, gratifikasi, kebijakan untuk menguntungkan kelompok tertentu sekaligus menindas kelompok lain, jual beli hukum, penegakan hukum yang kacau sudah terjadi seraya berkata “ini semua untuk rakyat”.
ADVERTISEMENT
Untuk memperbaiki segala macam bentuk kekacauan yang terjadi pada bangsa Indonesia, penulis berpendapat ada suatu hal yang sangat perlu dibenahi, jika tidak dibenahi segera mungkin bisa saja membuat bangsa ini semakin terpuruk, yakni penegakan hukum menjadi hal yang paling harus diperbaiki jika bangsa Indonesia ingin bersaing secara ketat dengan negara-negara maju.
Penegakan hukum yang bersih dari segala kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu menjadi bukti bahwa hukum masih sejalan dengan tujuannya untuk mencapai keadilan. Dalam alasan lain, hukum dibuat sebagai alat kontrol terhadap kesewenang-wenangan. Menjadi sebuah masalah ketika aparat penegak hukum justru dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki niat buruk. Mereka dengan sukarela memberikan hukuman ringan kepada koruptor asalkan ada 2 buah koper penuh dengan selembaran uang diletakkan di atas meja, mereka rela tidak menindak lanjuti kasus pelanggaran HAM karena mereka jugalah aktor dibalik pelanggaran HAM, mereka memukul, menedang, membunuh, bahkan masyarakat adat menjadi korban penggusuran demi sebuah proyek dari perusahaan yang membayar mahal untuk penjagaan terhadapnya, polisi bunuh polisi, itulah kenyataannya sekarang.
ADVERTISEMENT
Sekarang hukum bukan lagi sebagai alat kontrol terhadap kesewenang-wenangan, tapi sebagai produk industri yang bisa diperjual belikan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan diaktori juga oleh aparat penegak hukum yang bermata duit. Bahkan wakil rakyat yang juga sebagai pembuat hukum tidak jauh berbeda dengan oknum aparat penegak hukum yang kotor, membuat aturan main sesuai dengan keinginan mereka demi melancarkan kepentingan golongan bahkan pribadi, sehingga bukan lagi keberpihakan terhadap masyarakat keseluruhan. Maka jangan berharap terlalu tinggi jika berasal dari masyarakat sederhana atau kurang mampu untuk dapat menduduki kursi pemerintahan karena bagaimanapun aturannya yang menjadi calon pemangku jabatan lebih tertarik pada pemilik modal, keturunan pejabat sebelumnya, atau mereka yang memiliki banyak followers di media sosial.
ADVERTISEMENT
Makanya diperlukan suatu revolusi untuk memperbaiki seluruh institusi yang berhubungan dengan hukum. Mereka yang tumbuh dan hidup dengan moral yang kuat yang harus menduduki kursi jabatan sebagai pimpinan atau anggota sebagai perjuangan membenahi dari dalam sekaligus di dampingi oleh perjuangan dari luar institusi untuk mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap oknum aparat yang buruk agar tidak mudah percaya kepada mereka sekaligus menumbuhkan api semangat perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan, dan ketimpangan. Dengan begitu, penguasa yang bersih akan melahirkan masyarakat yang berkemajuan dari segi apapun, karena mereka sebagai patokan keteladanan sehingga menjadi contoh bagimana masyarakat harus berperilaku.
Indonesia yang tercipta melalui beragam pemikiran tajam dari para tokoh-tokoh nasional tentanng masa depan bangsa Indonesia, rasanya sangat pantas untuk mengetahui bagaimana mereka memiliki pemikiran yang sangat revolusioner, apakah bangsa kita harus dijajah dulu baru memiliki pemikiran seperti para Founding Fathers kita atau justru semakin kesini malah bermalas-malasan dalam berpikir sehingga bisanya hanya meniru negara-negara lain. Bagimana mereka menginginkan seluruh rakyat dapat hidup sejahtera, bagaimana caranya agar rakyat mendapatkan haknya sampai rela di asingkan untuk mendapatkan kemerdekaan, mereka juga rela mengorbankan nyawa demi bangsa dan negara. Kita lihat saja salah satu perjuangan dari seorang Jendral Soedirman, ia sempat-sempatnya masih berjuang demi kemerdekaan Indonesia walau dengan kondisi separuh dari paru-parunya hilang akibat penyakit yang di deritanya, kemudian Soekarno yang diasingkan di bengkulu, Tan Malaka yang dianggap pengkhianat, dan banyak lagi para pemikir sekaligus pejuang dengan kemurnian hati membela bangsa dan negara agar anak-cucunya mendapatkan hidup yang lebih layak. Artinya, berpikir harus ditemani dengan semangat untuk mengubah keadaan sebagai pendorong untuk mengimplementasikan apa yang telah dipikirkan dengan penuh pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pada masa kini dengan masa perjuangan kemerdekaan terletak pada bagaimana kita dalam berperasaan, terutama terhadap tengganga rasa antar individu, bagaimana kepedulian terhadap nasib sesama manusia. Pada massa perjuangan kemerdekaan muncul sebuah ungkapan “ketidakadilan disana merupakan ketidakadilan disini” sekarang berubah menjadi “ketidakadilan disana bukan urusan yang ada disini”. Pendidikan seharusnya menjadi pemegang peran utama dalam mengajarkan hal dasar seperti rasa kepedulian, tapi justru pendidikan yang diajarkan disekolah hanya sebatas pelajaran formal biasa yang tidak mengembangkan kepribadian siswa-siswi.
Buah dari hasil pendidikan yang seperti itu sudah banyak contohnya, kita lihat berapa banyak pejabat negara yang memiliki gelar sarjana dan doktor justru terjerat kasus korupsi, suap, pemerasan, pelecehan, pembunuhan, menghina, menindas, membuat kebijakan yang meresahkan rakyat, berpesta di saat rakyat masih mengemis di pinggir lampu merah. Kita lihat lagi bagaimana pergaulan kaula muda di masyarakat sekarang, seks bebas, narkoba, alkohol, judi sudah menjadi hidangan favorit kalangan kaula muda saat ini, kemana kebiasaan anak muda yang berdiskusi mengenai permasalahan negara dengan mencari solusinya dan kemana kebiasaan berdebat akademis yang sering dilakukan anak muda sebelum kemerdekaan sampai beberapa periode pasca merdeka.
ADVERTISEMENT
Jika pendidikan menghasilkan manusia semacam itu, lebih baik pendidikan tidak perlu diberikan. Begitu juga kata Aristoteles yang mengatakan “mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali”. Pendidikan seharusnya menjadikan manusia menjadi lebih baik, jika pendidikan memberikan yang sebaliknya maka ada yang salah pada sistem pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, pendidikan selain bertujuan pematangan intelektual juga harus dibarengi dengan pematangan moral sebagai kontrol terhadap perilaku buruk. Dengan begitu, pengetahuan tidak digunakan sebagai alat penindas tapi sebagai alat pembebas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan terakhir dalam tulisan ini adalah, akankan Indonesia kehilangan cita-citanya? Sederhana saja jawabannya, jika pemangku jabatan terus melakukan yang sudah dijelskan sebelumnya tanpa ada evaluasi dan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, Indonesia bisa saja kehilangan cita-citanya dan UUD 1945 yang menjadi dasar dan sumber hukum tertinggi yang di dalamnya juga tertulis tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 hanya sebatas tulisan di atas kertas yang kemudian menjadi sebuah negara yang mati secara karakter dan pada saatnya kehancuran negara menjadi sebuah fakta. Tapi jika mulai berbenah dari sekarang sampai ke akar-akarnya secara konsisten, Indonesia tidak akan pernah hancur dan menjadi sebuah negara yang berhasil mencapai tujuannya yang ditulis dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
ADVERTISEMENT