Paradoks SDM Lulusan Sarjana Indonesia

Alwi Hilir
Pemerhati pendidikan, dan Ph,D Student Jakarta Islamic University
Konten dari Pengguna
6 Desember 2023 11:43 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alwi Hilir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi seorang sarjana Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi seorang sarjana Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Banyak sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan. Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2022 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2018.
Setelah India dan Brasil, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan universitas tertinggi. Namun perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi. Artinya, ada yang salah. Jika setiap tahun saja muncul 398.000 perusahaan anyar, sementara di pasar kerja tersedia 250.000 fresh graduate, seharusnya perusahaan tak perlu kekurangan tenaga kerja dong? Nyatanya enggak begitu.
Usut punya usut, setiap perusahaan memiliki standar perekrutan karyawan, sementara tidak setiap lulusan memiliki kualitas yang dibutuhkan dunia kerja. Merujuk angka pengangguran saat ini, jumlahnya di atas 600.000 orang berdasar data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Lantas di mana pangkal masalah sebenarnya?
ADVERTISEMENT
Pangkal masalahnya adalah kualitas pendidikan. Kalau sudah bicara soal kualitas, mau tak mau perguruan tinggi yang kena imbas. Lulusan Sarjana yang rendah keterampilan dan pengetahuan terjun ke dunia kerja.Dunia kerja kekinian menghendaki kompetensi yang diharapkan dari seorang lulusan perguruan tinggi. Yang tak kalah penting keahlian dan kepribadian.
Pakar pendidikan dan mantan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan kualitas perguruan tinggi selama dua puluh tahun terakhir tidak kunjung membaik. Desain kurikulum pendidikan berbagai jurusan selalu tertinggal dari kebutuhan riil industri dan bisnis. Sistem pendidikan tinggi kita dirancang untuk tidak menghargai proses belajar dan hanya mementingkan status akhir sebagai sarjana.
Akhirnya banyak mahasiswa hanya mengejar status. Bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui. Paradoks Pendidikan dan Dunia Kerja Revolusi industri dan teknologi telah mendorong seleksi ilmiah yang mengarah pada “yang terkuat yang bertahan”.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan akan didapatkan oleh mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan saat ini. Kondisi seperti ini tentunya juga berimbas terhadap permintaan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pun ikut berubah.
Lulusan sarjana yang merupakan lumbung tenaga kerja harus menyiapkan kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan, jika tidak siap-siap saja gigit jari (menganggur) karena keterampilannya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini. Lulusan mahasiswa harus menjawab tuntutan tenaga kerja yang diharapkan industri masa kini, ini merupakan suatu tantangan bagi lulusan mahasiswa yang harus dapat dicapai.
Mahasiswa lah yang harus menyesuaikan dengan perubahan. Revolusi industri pada era modern membutuhkan tenaga kerja yang punya skill atau kemampuan 5Cs. Lima kemampuan tersebut adalah communication (komunikasi), collaboration (bekerja sama), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreativitas), dan computational learning (penggunaan teknologi).
ADVERTISEMENT
Mahir berkomunikasi, cakap dalam berkolaborasi dengan rekan kerja, berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah, kreatif menghasilkan ide dan solusi, serta mampu menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh pekerja masa kini.
Kualitas sumber daya manusia di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan kualitas sdm dari negara lainnya. Hal ini tidak terlepas dari kualitas pendidikan di negara kita yang secara umum berkualitas rendah sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak siap berkompetisi dan lebih berorientasi menjadi pegawai dibandingkan dengan membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Lulusan dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan keterampilan masih sangat sedikit. Jadi di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang.
Pada level menengah dan atas terjadi labor shortage atau kekurangan keterampilan dan keahlian tingkat menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan keterampilan menengah dan tinggi banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi pasokannya kurang. Sementara itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya.
Ilustrasi kuliah di luar negeri. Foto: Shutter Stock
Perhatikan jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan tenaga kerja tidak terampil sangat besar jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa terjadi labor shortage di level atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga kerja yang berketerampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan laboratorium yang rumit.
Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan dan keterampilannya. Dan yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya.
Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat pembangunan secara umum (mismatch). Dunia industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Kondisi inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China, kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi. Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.
Inilah tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan keterampilan kurang memadai (labor surplus).
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana permintaan tenaga berketerampilan di level atas kurang pasokannya. Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di bidangnya.
Selama berada di bangku kuliah para mahasiswa terlalu banyak diajarkan teori tanpa banyak praktik kerja sehingga kemampuan yang lebih terasah selama mengenyam pendidikan formal yaitu seperti kemampuan menjawab soal, kemampuan menghafal, kemampuan mencari nilai tinggi, kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan buku teori, kemampuan bergaul dengan teman-teman, kemampuan pamer kekayaan di depan orang-orang, kemampuan pacaran, dan lain sebagainya.
Padatnya materi pelajaran menyebabkan para mahasiswa lebih banyak sibuk belajar teori daripada praktik sesuai dengan yang dibutuhkan di dunia kerja nyata. Kenyataan yang menyedihkan ini memang terlihat dari kualitas sarjana jebolan kampus berikut ini:
ADVERTISEMENT
1. Tidak Siap Bekerja Sesuai Kebutuhan Pasar Bekerja di perusahan-perusahan pada level dasar ternyata tidak terlalu banyak membutuhkan teori-teori yang rumit seperti yang diajarkan di bangku kuliah. Hanya butuh kemampuan spesifik tertentu untuk menjalankan perannya di tempat kerja.
Kenyataannya biasanya para karyawan atau pegawai akan diberikan pendidikan dan pelatihan tambahan hanya agar tahu pekerjaan apa akan dikerjakannya nanti dan cara beradaptasi yang baik di tempat kerjanya. Walhasil para karyawan baru pun harus mengubur ilmu yang telah didapatnya dan mulai belajar sesuatu yang baru lagi agar bisa bertahan di pekerjaan yang baru didapatnya. Tidak Punya Pengalaman Kerja Yang Cukup
2. Perusahaan mencari pegawai baru yang sudah memiliki pengalaman jam terbang tertentu pada suatu pekerjaan karena sudah tahu bahwa para lulusan baru jebolah kampus adalah orang-orang yang tidak mengerti kondisi di lapangan langsung. Orang-orang yang sudah pernah bekerja dan berpengalaman umumnya sudah mengetahui seluk beluk pekerjaannya di lapangan, sedangkan para fresh graduate butuh waktu dan butuh bimbingan untuk mencapai kemampuan yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Kenyataan seperti ini seharusnya menggugah perguruan tinggi untuk mulai bangun tersadar dan mulai mengubah sistem dan metode pendidikan dan pembelajaran agar lulusannya bisa memiliki kemampuan yang benar-benar siap kerja tanpa harus kaget dan syok ketika baru mulai bekerja.
Hal ini bisa diminimalisasi apabila teori dan praktik dipadukan secara apik. Dengan sistem pendidikan yang memadukan teori dengan praktik diharapkan mahasiswa memiliki pengalaman yang cukup ketika lulus nanti.
Baru-baru ini pendidikan vokasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan pendidikan tinggi. Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat lulusannya dengan keterampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja, khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.
Tetapi kebijakan pendidikan vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik. Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut Pendidikan kewirausahaan pun harus dikedepankan untuk menyesuaikan kondisi di negara kita yang memiliki jumlah pengangguran terdidik yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Perguruan tinggi perlu mempersiapkan diri dan bersungguh-sungguh membekali peserta didiknya dengan kompetensi/keahlian agar mampu menjawab tuntutan tenaga kerja yang dibutuhkan saat ini. Dengan kompetensi/keterampilan yang dimiliki lulusan sarjana bukan tidak mungkin ditumbuhkan perubahan mindset berpikir dari mencari kerja menjadi lulusan mahasiswa bisa membuka lapangan kerja baru di masa yang akan datang.