Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menengok Kondisi Pers Setelah 21 Tahun UU Pers
25 September 2020 12:47 WIB
Tulisan dari Alwin Jalliyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam rangka memperingati 21 tahun UU Pers, Dewan Pers mengadakan webinar bertemakan prospek dan tantangan pers. Dihadiri oleh Mohammad Nuh selaku ketua Dewan Pers, serta empat pembicara yaitu Atal S. Depari, Meutya Hafid, Uni Lubis, dan Ade Wahyudi. Acara ini disiarkan langsung di Youtube Dewan Pers pada 23 September 2020 pukul 13:00 WIB.
ADVERTISEMENT
Mohammad Nuh dalam pembukaannya mengajak pemirsa mengingat jasa BJ Habibie yang mengesahkan UU Pers pada 23 September 1999. Selanjutnya ia menyinggung kondisi pandemi yang angkanya semakin tinggi. Keadaan yang paling ditakuti adalah pertumbuhan kasus melebihi batas maksimal layanan kesehatan. Peran pers membantu menurunkan kurva dengan memberikan informasi yang akurat.
Ancaman Pers
Informasi hoax menjadi ancaman utama pers saat ini. Hingga 20 Agustus 2020, Kementerian Kominfo menemukan 1.029 isu hoax dengan berita hoax mencapai 1.921. Hal ini disampaikan oleh Meutya Hafid, ketua komisi I DPR RI. Berita hoax merupakan musuh utama pers, jika masyarakat lebih mempercayai berita hoax akan berbahaya.
Atal S. Depari, ketua umum PWI, menambahkan bahwa ancaman pers berasal dari jurnalis itu sendiri. Beberapa kali ditemukan salah tafsir terhadap kebijakan pemerintah. Seperi kasus pemberitaan PSBB, ada yang menulis PSBB total yang dikeluarkan Anies Baswedan. Kejadian ini bisa mengurangi kredibilitas pers.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini mulai tumbuh Buzzer yang bahkan dibayar pemerintah. Tidak jarang buzzer ini menyerang balik pers. Selain ancaman buzzer, Doxing juga dinilai sebagai ancaman yang bisa menelanjangi jurnalis. Hal ini secara langsung bisa mengancam kebebasan pers.
Peluang Pers
Pada akhir pidatonya, Mohammad Nuh menyinggung tiga modal utama pers. Kolaborasi antara potensi manusia, potensi teknologi, dan nilai ke-Indonesiaan. Jika kolaborasi ketiga komponen ini bisa dioptimalkan, ia yakin 2045 pers bisa mengantarkan Indonesia ke masa keemasan.
Uni Lubis, pemimpin redaksi IDN Times, mengungkapkan terjadi akselerasi digital yang sangat cepat. Semakin banyak program dan seminar yang dilakukan secara virtual memanfaatkan teknologi. Peluang ini menjadi solusi menggantikan pendapatan dari iklan yang berkurang dan berhentinya kegiatan offline.
ADVERTISEMENT
Pola liputan juga bergeser dengan meminimalisir liputan langsung ke lapangan. Alternatifnya wawancara dilakukan secara virtual supaya melindungi jurnalis dari Covid-19. Terjadi efisiensi pola kerja dalam lingkungan pers.
Tantangan Pers
Mohammad Nuh menyampaikan bahwa tantang pers adalah semakin tingginya automasi pekerjaan. Tempat bekerja juga bergeser dari fisik ke digital, adaptasi dilakukan dengan menerapkan Hybrid Space, campuran antara fisik dan digital. Tantangan bagi kita yaitu mengoptimalkan pergeseran ini agar tidak hanya sebagai penonton perubahan.
Uni Lubis menyampaikan bahwa selama pandemi tantangan jurnalis berlipat ganda, tantangan melawan virus Covid-19 dan misinformasi. Tantangan ini harus bisa dijadikan momentum pers untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Perkembangan informasi yang cepat menjadi tantangan tersendiri. Jurnalis dituntut memverifikasi data kesehatan lebih teliti untuk menghindari disinformasi. Tidak jarang terjadi informasi yang disampaikan politisi bertentangan dengan pernyataan ilmuan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kebebasan Pers
Meutya Hafid menyampaikan bahwa angka kebebasan pers di Indonesia masih tergolong rendah. Indek Kebebasan Pers kita menempati posisi 124 dari 180 negara. Sedangkan jika diukur menggunakan Indeks Kebebasan Pers Nasional yang dirilis Dewan Pers, ada perbaikan indeks kebebasan pers setiap tahunnya.
Ada empat ancaman kebebasan pers menurut Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers. Pertama, kekerasan fisik dan non-fisik saat melakukan liputan. Kedua, kriminalisasi dan gugatan atas berita yang ditulis. Ketiga, peraturan dan rancangan peraturan yang mengancam wartawan. Keempat, pelanggaran ketenagakerjaan, dalam konteks ini ditujukan kepada wartawan lepas seperti kontributor atau mitra.
UU Pers dinilai perlu direvisi setelah 21 tahun oleh Atal S. Depari. Seperti salah satu peraturan yang tidak mewajibkan jurnalis bergabung dengan organisasi pers. Hal ini berbahaya karena tidak ada kode etik yang mengatur jurnalis seperti di organisasi. Tujuan utamanya yaitu menciptakan profesionalisme pers.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Pers juga diperlukan untuk menghindari kriminalisasi jurnalis dengan pasal karet UU ITE. Diperlukan mekanisme teknis yang mengatur lebih lanjut mengenai persoalan tersebut. Masyarakat akan mudah lapor ke polisi jika ada hal yang tidak menyenangkan tanpa wartawan menggunakan hak jawabnya.
Hal berlawanan disampaikan Uni Lubis yang menilai UU Pers tidak perlu direvisi. Ia menilai revisi satu pasal berpotensi melebar ke revisi pasal lainnya yang mengancam prinsip kebebasan pers. Peluang revisi pers sesuai keinginan pelaku pers dinilai kecil terwujud.