Pilkada 2020: Pencegahan Pelanggaran Netralitas ASN dengan Sistem Whistleblowing

Alwin Kusuma Ramadhan
Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
26 Desember 2020 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alwin Kusuma Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Penulis
Sebagai negara demokratis, hak asasi setiap manusia nampak tidak bisa dilepaskan dengan prinsip kebebasan. Setiap manusia memiliki hak untuk memilih atau meyakini kepercayaan tertentu, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Selain itu, setiap manusia juga memiliki hak untuk mengeluarkan
ADVERTISEMENT
pendapat dan pikirannya melalui kebebasan untuk berserikat ataupun berkumpul. Namun, hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi para ASN yang harus mempertahankan netralitas dalam hal pelaksanaan kegiatan pemilihan kepala pemerintahan.
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia seperti tidak pernah terpisahkan dari masalah dan topik netralitas ASN (Aparatur Sipil Negara). Para ASN secara hukum diperbolehkan untuk terlibat dalam pesta demokrasi sebagaimana yang tecantum dalam UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun, setiap pelaksanaan pemilihan umum, hak ini mengakibatkan asas netralitas ASN diuji. Netralitas adalah sebuah keharusan bagi setiap ASN dalam kegiatan pemilihan dan merupakan hal yang harus selalu dijunjung tinggi oleh para aparatur. Sebagai esensi dasar dari keberadaan ASN, netralitas merupakan landasan dalam menjaga profesionalitas demi menjalankan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik. Rentannya ASN untuk ‘dimanfaatkan’ oleh para politisi untuk mempertahankan kekuasaan dan kewenangannya dalam roda pemerintahan, merupakan salah satu tantangan terbesar bagi para ASN untuk mempertahankan netralitasnya dan tidak menunjukkan preferensinya kepada salah satu pihak.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengeluarkan sejumlah peraturan menyangkut penegakkan netralitas ASN demi berjalannya roda pemerintahan yang bersih dan profesional. Telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pada pasal 4 PP 53 Tahun 2010, PNS dilarang untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah, dengan cara:
1. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
2. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
3. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
4. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada Pasal 11 huruf C PP Nomor 42 Tahun 2004 juga menegaskan PNS untuk menghindari kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Dalam Pasal 12 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014, ditegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara harus bebas dari intervensi politik, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta menjadi pelayan publik yang bersih serta profesional. Profesionalitas yang tinggi tidak hanya dikembangkan untuk kompetensi birokrasi dalam melayani masyarakat, tetapi juga untuk kemampuan birokrasi dalam menghadapi tekanan dan intervensi politik yang mungkin saja datang menghampiri. Asas netralitas sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan yang menunjukan bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak kepada siapapun dan dari segala bentuk pengaruh apapun.
Ada dua indikator utama dari netralitas politik, yaitu tidak terlibat dan tidak memihak. Menurut La Ode Muh. Yamin, tidak terlibat memiliki artian para ASN diharapkan tidak mengambil bagian sebagai tim sukses calon yang akan maju pemilihan selama masa kampanye Ketidakterlibatan ini dapat dilihat dari tidak menjadi peserta kampanye maupun tidak mengenakan atribut yang menunjukkan identitas partai politik tertentu. Selain itu, tidak memihak memiliki arti, ASN tidak melakukan tindakan yang dapat membantu atau menguntungkan salah satu pihak yang akan maju dalam pemilihan. Tindakan ini bisa mencakup jamuan, pertemuan, ajakan, himbauan, serta pemberian barang dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari upaya yang telah diambil pemerintah, masih banyak ASN yang melanggar peraturan peraturan tersebut. Menurut ketua Bawaslu, Abhan, kasus mayoritas pelanggaran pada tahapan pilkada adalah pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu telah melaporkan sekitar 1000 kasus pelanggaran kepada KASN. Kasus pelanggaran ini nantinya akan ditindaklanjuti oleh KASN dengan merekomendasikannya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Pada tanggal 13 Desember 2020, Abhan mengungkapkan terdapat sekitar 22 kasus pelanggaran yang sudah proses pidana dan divonis, sementera yang lainnya masih diproses (Humas Bawaslu, 2020).
Banyak faktor yang menyebabkan penegakkan netralitas ASN selama ini belum berjalan dengan maksimal. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kurangnya pemberian sanksi, ketidaknetralan ASN yang dianggap hal biasa, kurangnya integritas, desakan untuk mempertahankan jabatan dan pekerjaan, serta terjalinnya hubungan kekeluargaan dengan calon. Selain itu, ASN yang berjumlah banyak dapat menjadi salah satu tambang suara bagi para bakal calon yang akan maju dalam pesta perolehan suara. Faktor tersebut menjelaskan bahwa dalam praktiknya, tidak mudah untuk mewujudkan asas netralitas (Aminah, 2020).
ADVERTISEMENT
Grafik 1
Data Pengaduan Pelanggaran Netralitas ASN Per Tahun 2018
Sumber: Komisi Aparatur Sipil Negara, (data Per Desember 2018)
Sebagaimana yang terlihat dalam grafik 1, tingkat pengaduan atas pelanggaran netralitas masih tinggi. Indeks pengaduan yang kian meningkat mendorong pemerintah Indonesia untuk mulai melakukan berbagai upaya pencegahan dan penindaklanjutan. Mengingat ASN memiliki posisi yang penting di dalam pemerintahan perlu diberlakukannya sistem pengawasan yang mampu menjaga kesakralan tersebut. Pemerintah dewasa ini mulai mencoba mewujudkan nilai-nilai good governance ke dalam tata kelola organisasi. Salah satunya nilai efektivitas dan efisiensi melalui penerapan sistem whistleblowing (United Nations, 2000). Berdasarkan pada penelitian dari Association of Certified Fraud Examiner dan Global Economic Crime Survey menyatakan bahwa sistem whistleblowing efektif dalam mencegah praktik pelanggaran di dalam organisasi, baik dalam bentuk tindak pidana maupun penyimpangan kode etik. Efektivitasnya terlihat dari pendeteksian yang efektif serta didukung oleh penindakan yang sigap (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2008). Meskipun sejauh ini sistem whistleblowing hanya digunakan untuk mencegah kejahatan kerah putih, tetapi menilik kesuksesan penerapan sistem whistleblowing di negara lain, kinerja sistem ini patut dipertimbangkan sebagai instrumen pengawasan netralitas aparatur sipil negara.
ADVERTISEMENT
Adapun definisi whistleblowing Komite Nasional Kebijakan Governance adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral, atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2008).
Sistem whistleblowing akan hadir sebagai wadah yang aman bagi para whistleblower untuk mengungkapkan kejanggalan yang mungkin sedang atau telah terjadi didalam suatu organisasi. Berdasarkan survei oleh Institute of Business Ethics pada 2007 menemukan 1 diantara 4 pegawai mengetahui indikasi adanya pelanggaran namun kecenderungan pegawai untuk tidak melaporkan pelanggaran atau penyelewengan yang terjadi oleh rekan kerja sebesar 52%. Keengganan ini dapat diatasi dengan sistem whistleblowing yang efektif, efisien dan bertanggung jawab. Beberapa manfaat dari sistem whistleblowing di antara lain (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2008):
ADVERTISEMENT
a. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman;
b. Timbulnya kesadaran untuk menaati kode etik atau peraturan organisasi;
c. Tersedianya mekanisme pendeteksi dini;
d. Tersedianya kesempatan untuk menyelesaikan masalah secara internal terlebih dahulu yang dapat menghemat biaya dan reputasi dari organisasi yang bersangkutan;
e. Memberikan gambaran kepada jajaran atas organisasi mengenai area yang perlu dibenahi kedepannya.
Lazimnya, sistem whistleblowing terintegrasi dengan sistem informasi dalam membentuk jalur pelaporan yang aman. Jadi, seorang whistleblower dapat menyampaikan potensi pelanggaran melalui suatu laman atau aplikasi yang disediakan oleh lembaga yang terkait. Adapun hal yang perlu dilengkapi dalam proses pengaduan adalah informasi waktu dan tempat, lampiran dokumen/foto bukti, dan identitas pengirim. Dalam suatu sistem yang terintegrasi, maka laporan ini seharusnya masuk ke dalam database yang dikelola secara seksama supaya tidak terjadinya suatu kebocoran informasi atau penyelewengan lainnya. Lalu, pihak penerima biasanya lah yang melakukan tindak lanjut dengan bekerja sama dengan pihak berwenang jika memang kasus yang dilaporkan tersebut memiliki bukti yang kuat.
ADVERTISEMENT
Demi terselenggaranya sistem whistleblowing yang efektif maka terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Menurut Albrecht et.al, terdapat empat kriteria utama untuk administrator atau pihak yang membentuk sistem whistleblowing perhatikan yang meliputi anonimitas, independensi, aksesibilitas, dan tindak lanjut. Kriteria yang pertama sangatlah penting bagi keberlangsungan sistem whistleblowing mengingat terdapat stigma yang buruk melekat pada para whistleblower (Steve Albrecht et al., 2009). Meskipun demikian, menurut Peterson dalam Nurhidayat dan Kusumasari, tindakan whistleblower merupakan tindakan yang didasarkan oleh moralitas tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan pengaman yang jelas dan efektif guna mendorong tindakan pelaporan pelanggaran (Nurhidayat & Kusumasari, 2017). Kriteria kedua adalah independensi lembaga yang menyediakan pelayanan sistem whistleblowing. Para pelapor cenderung merasa lebih yakin dan percaya jika lembaga yang berwenang menampung laporan mereka tidak berafiliasi dengan organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini berlandaskan pada minimnya pengaruh yang dapat timbul dari keterikatan lembaga penerima laporan dengan organisasi yang dilaporkan. Jadi dapat meningkatkan profesionalisme dalam menindaklanjuti laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian, aksesibilitas menjadi fitur penting yang perlu diperhatikan dalam membentuk sistem whistleblowing tersebut. Para pelapor harus dengan mudah dan jelas mengetahui tata cara serta jalur pelaporan supaya melanggengkan sikap jujur tersebut. Selain jalur dan tata cara yang jelas, harus disediakan pula berbagai jalur alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh para calon pelapor guna mendorong perilaku pelaporan yang sesuai. Terakhir adalah kriteria tindak lanjut. Setelah dipastikannya kerahasiaan data pelapor, lembaga penerima laporan bersifat independen, dan tersedianya jalur laporan yang beragam dan jelas maka dipastikan pula adanya tindak lanjut. Lembaga yang menerima laporan tersebut dapat memiliki kewenangan untuk secara langsung melakukan penyelidikan lebih dalam dan kemudian memberikan punishment yang sesuai. Atau lembaga tersebut dapat memberikan semacam rekomendasi kepada pihak lain seperti kepolisian untuk bekerja sama menyelidiki kasus tersebut (Steve Albrecht et al., 2009).
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh lembaga yang sudah menerapkan sistem whistleblowing adalah Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN. Lapor KASN merupakan nama fitur pengaduan yang tersedia di laman KASN sebagai perwujudan dari penerapan sistem whistleblowing. Pada hakikatnya, sistem ini bertujuan untuk menampung laporan mengenai tiga hal utama yaitu norma dasar dan etika, sistem merit, dan netralitas ASN. Adapun cara kerja Lapor KASN pertama calon pelapor dapat mencari laman Lapor KASN itu sendiri yang tersedia di https://lapor.kasn.go.id/. Kemudian, terdapat form box yang harus diisi dengan baik dan benar. Setelah terisi semua, KASN sebagai lembaga penyedia jalur pengaduan berkewenangan untuk memberikan rekomendasi sanksi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk kemudian ditindaklanjuti (Administrator KASN, 2020).
ADVERTISEMENT
Jadi, netralitas ASN masih penyakit akut yang kambuh setiap pemilu. Penyebab dari sikap parsial yang mungkin timbul di kalangan ASN ketika masa kampanye tiba adalah keinginan untuk mempunyai karir yang baik atau dilema anggota keluarga yang terlibat dalam pencalonan. Oleh karena itu, sistem whistleblowing, seperti Lapor KASN hadir sebagai instrumen pendeteksi pelanggaran dalam upaya menegakkan netralitas ASN. Untuk meningkatkan efisensi dan efektivitasnya perlu diiringi oleh penanaman kode etik, penerapan sistem merit, dan penegakkan hukum yang tegas.
DAFTAR REFERENSI
Administrator KASN. (2020). Menindaklanjuti Rekomendasi KASN Sebagai Bagian dari Compliance terhadap Kebijakan Nasional dan Peraturan Perundang Tentang ASN. Komisi Aparatur Sipil Negara. https://www.kasn.go.id/details/item/606-menindaklanjuti-rekomendasi-kasn-sebagai-bagian-dari-compliance-terhadap-kebijakan-nasional-dan-peraturan-perundangan-tentang-asn
Aminah, A. N. (2020). Tjahjo Kumolo Ungkap Penyebab ASN Langgar Netralitas. Republika. https://republika.co.id/berita/qevhff384/tjahjo-kumolo-ungkap-penyebab-asn-langgar-netralitas
ADVERTISEMENT
Humas Bawaslu. (2020). Abhan: Pelanggaran Netralitas ASN Masih Mendominasi Pilkada 2020. Badan Pengawas Pemilu. bawaslu.go.id/id/berita/abhan-pelanggaran-netralitas-asn-masih-mendominasi-pilkada-2020
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2008). Pedoman 2008. 3. http://www.knkg-indonesia.org/dokumen/Pedoman-Pelaporan-Pelanggaran-Whistleblowing-System-WBS.pdf
Nurhidayat, I., & Kusumasari, B. (2017). Revisiting Understanding of The Whistleblowing Concept In The Context of Indonesia. Policy & Governance Review, 1(3), 165. https://doi.org/10.30589/pgr.v1i3.54
Steve Albrecht, W., Albrecht, C. O., Albrecht, C. C., & Zimbelman, M. F. (2009). Fraud Examination (Fourth Edi). Cengage Learning. http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf
United Nations. (2000). No. 30676. United Nations (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) and India. 69–70. https://doi.org/10.18356/d4072237-en-fr