Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bapak yang Masih Takut Pulang ke Indonesia
8 Juli 2023 11:09 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Muchamad Aly Reza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Untuk kali kesekian, bapak mengabarkan masih belum bisa pulang dalam waktu dekat—setelah sebelumnya mengabarkan hal yang sama di awal tahun 2023 dan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1444 H pada 22 April 2023 lalu.
ADVERTISEMENT
Ini menjadi ketidakpulangan bapak terlama setelah bertahun-tahun bekerja di Malaysia . Karena biasanya, dalam jangka dua tahun, bapak pasti akan menyempatkan pulang barang empat sampai enam bulan.
Saya dan ibu berulang kali meminta bapak untuk berhenti bekerja di Malaysia; pulang permanen dan mengais rezeki sedapat-dapatnya di negeri kelahiran. Asal tak berjauhan lagi dengan anak dan istri.
“Makan semakan-makannya, sedapat-dapatnya, asal kumpul dengan keluarga,” begitu kata ibu kepada bapak.
Tapi, dari jawaban yang bapak berikan berulang kali pula, bapak menyiratkan bahwa ia masih sangat takut dengan Indonesia. Ketakutan yang, saya tahu, bukan tanpa alasan. Ketakutan yang entah kapan bisa ia taklukkan.
"Jalur Gelap" Jadi Sumber Ketakutan Awal Bapak
Terakhir bapak pulang adalah Ramadhan di tahun 2018 silam. Saat itu, ada dua hal penting yang mengharuskannya tilik omah. Pertama, ibunya—atau berarti juga nenek saya—meninggal dunia. Kedua, adik saya minta dikhitan. Sebagai seorang anak sekaligus bapak, ia tentu tak akan absen untuk dua hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Bapak sendiri sebenarnya berencana pulang pada akhir 2020 lalu setelah ia balik lagi ke Malaysia pada akhir 2018. Namun, pandemi membuat rencananya buyar. Dunia lockdown. Bapak tak bisa berbuat banyak.
Beberapa kenalannya, pekerja asal Indonesia, ramai-ramai memutuskan menempuh “jalur gelap” demi bisa kembali ke pelukan keluarga masing-masing di tengah ketidakpastian wabah.
Sayangnya, bapak sudah lama mengharamkan “jalur gelap” bagi dirinya sendiri. Bapak menyimpan trauma terhadap jalur tersebut. Trauma yang lantas membuatnya mengambil salah satu keputusan besar dalam hidupnya. Tapi sebelum ke sana, izinkan saya ceritakan sedikit mundur ke belakang.
Awal 90-an Bapak Menjadi Pekerja Asing Tanpa Identitas
Jalur gelap memang menjadi solusi bagi mayoritas warga desa saya di Rembang, Jawa Tengah, untuk bisa bekerja di Malaysia. Tanpa paspor, tanpa dokumen-dokumen legal lain. Alias menjadi Pekerja Asing Tanpa Identitas (PATI).
ADVERTISEMENT
Sejak awal 1990-an, saat memasuki usia awal 22-an, bapak termasuk satu di antara PATI tersebut.
Ketika masih di usia belasan tahun, bapak memang sudah melanglang buana ke berbagai kota di Indonesia. Surabaya, Banten, Jakarta, Manado, Medan, Pekanbaru, hingga Batam pernah menjadi tempatnya mengundi nasib sebagai buruh bangunan. Setidaknya itu yang pernah saya dengar dari ibu.
Lahir tanpa seorang bapak (karena meninggal) dan ibu yang dari keluarga miskin membuatnya terpaksa dewasa lebih cepat, harus menghadapi pahit getir kehidupan lebih dini, berpindah dari satu kota ke kota lain.
Hingga akhirnya, seorang kenalan mengajaknya untuk bekerja di Malaysia dengan status PATI. Soal risiko, saat itu bapak tak berpikir panjang.
Iming-iming uang lebih besar dari yang selama ini ia dapat di berbagai kota di Indonesia membuatnya tergiur. Lagi pula, dari cerita kenalan-kenalannya itu, mereka toh aman-aman saja. Bapak pun akhirnya keluar-masuk Malaysia melalui jalur gelap sebagai seorang PATI.
ADVERTISEMENT
Langkah yang kemudian diikuti oleh banyak pemuda di desa saya saat itu. Mereka terpancing dengan pencapaian bapak di tiga tahun pertamanya bekerja di Malaysia—pulang bisa membangun rumah sendiri. Bapak menjadi “inspirasi” bagi anak-anak muda desa untuk merantau keluar dari Indonesia.
Penjara Benar-Benar Membuat Bapak Jera
Namun, keberuntungan bapak keluar-masuk di jalur gelap ternyata mencapai limitnya di awal tahun 2000. Risiko dari menjadi PATI yang tak pernah ia pikirkan secara serius akhirnya pun terjadi.
Awal tahun 2000, bapak berniat pulang setelah mendengar kabar dari ibu bahwa tinggal menunggu hari saya akan lahir. Ia benar-benar ingin menyaksikan dan hadir saat anak pertamanya lahir, hasil pernikahannya dengan ibu sejak 1998.
Sialnya, bapak dan beberapa teman kerjanya sesama PATI tertangkap dalam sebuah razia. Bapak harus ditahan selama empat bulan sebelum dipulangkan ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Empat bulan yang sangat berat, baik bagi bapak maupun ibu. Bapak hanya dapat satu kesempatan menghubungi ibu di hari kedua ia ditangkap.
Untuk menyampaikan kabar buruk itu, bahwa ia harus mendekam di penjara, tak bisa pulang untuk waktu yang, saat itu, bapak sendiri tak tahu sampai kapan. Sementara di rumah, ibu harus melewati masa lahirannya tanpa kehadiran suami dan empat bulan tanpa kiriman uang sepeser pun.
“Empat bulan itu akhirnya makan dari uang utangan,” begitu pengakuan ibu.
Bapak Memutuskan Mengurus Izin Tinggal Tetap di Malaysia
Di dalam penjara, dan setelah akhirnya dipulangkan, bapak pun menimbang-nimbang tawaran yang pernah diberikan oleh seorang tauke kenalannya; mengurus izin tinggal tetap di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Karena tak ingin mengulangi kesalahan yang sama (membuat anak dan istri telantar atas aktivitas berisikonya di negara orang), singkat cerita, bapak lewat bantuan seorang tauke tersebut akhirnya mendapat izin tinggal tetap di Malaysia. Agar ia bisa bekerja lebih leluasa.
Kenapa sampai harus tinggal tetap di Malaysia? Padahal seandainya mengurus paspor, permit, dan dokumen-dokumen legal lain yang diperlukan semestinya sudah cukup untuk membuat bapak bekerja dengan tenang tanpa bayang-bayang tertangkap lagi.
Kira-kira, itu lah yang dipertanyakan segenap keluarga dan teman-teman perantauan bapak. Pertanyaan yang, setelah beranjak dewasa, akhirnya saya tahu jawabannya.
Bapak Takut Tak Mampu Menghidupi Keluarga dari Uang Indonesia
Sebelum memutuskan mengurus izin tinggal tetap di Malaysia, bapak mencoba melihat agak jauh ke depan. Bapak sadar bahwa tak banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh lulusan SD seperti dirinya. Di mana di antara tidak banyak pilihan itu, salah satu yang bisa diambil bapak adalah sebagai buruh bangunan.
ADVERTISEMENT
Bapak sudah merasakan bertahun-tahun menjadi buruh bangunan dari kota ke kota di Indonesia. Tapi, soal upah, bapak merasa upah di Malaysia lebih memungkinkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Atas pertimbangan itu, bapak sudah memiliki prediksi bahwa ia pasti akan sangat bergantung dengan pekerjaan di Malaysia, entah sampai kapan. Yang pasti, bapak sudah membaca kemungkinan bahwa ia tak mungkin menetap secara permanen di Indonesia.
Bapak Takut Tak Bisa Bekerja di Indonesia
Kalau soal kecilnya gaji buruh bangunan di Indonesia, mungkin bapak masih bisa mengatasi jenis ketakutan yang ini. Apalagi ibu sudah menyatakan tak banyak menuntut.
Tapi, bagi bapak, ini bukan sekadar soal kerja dengan upah kecil. Sebab, kenyataannya, mencari kerja di Indonesia tak semudah itu. Setidaknya itu lah yang dirasakan bapak jika mencoba tinggal di rumah sedikit lebih lama.
ADVERTISEMENT
Jika jadi TKI di Malaysia bapak sudah pasti dapat proyek baru setelah proyek lama rampung, tidak demikian dengan di Indonesia. Butuh jeda satu bulan, dua bulan, bahkan bisa tiga bulan untuk menunggu adanya proyek baru lagi.
Sementara upah dari proyek lama tentunya sudah habis untuk kebutuhan di satu bulan setelah upah tersebut bapak terima. Lantas, utang menjadi satu-satunya solusi untuk menyambung hidup. Dan itu menjadi ketakutan bapak yang lain: menumpuk utang. Bapak, sebagaimana bapak-bapak lain di luar sana, tak ingin membuat keluarganya merasakan kesulitan serius.
Sesuatu yang Menahan Bapak di Malaysia Saat Ini
Dalam dua tahun terakhir, dalam beberapa momen tersambung lewat telepon dengan bapak, saya mencoba memberi pengertian agar bapak lekas pulang, lantas mengurus kepindahan permanen ke Indonesia. Akan tetapi, jawaban bapak selalu sama.
ADVERTISEMENT
“Bapak takut tak bisa berbuat banyak di Indonesia,” katanya.
Setelah mengantarkan saya sampai kuliah lewat tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah, bapak masih enggan pulang karena ingin menuntaskan hal yang sama kepada adik saya.
Saya mencoba memberi pengertian bahwa sedikit-sedikit saya pasti akan membantu mengurus adik yang saat ini masih menginjak kelas tiga SMP.
Ya meski gaji saya dari bekerja tak lebih besar dari upah bapak di Malaysia, tapi, untuk adik, saya sudah berjanji akan mengupayakan banyak hal. Bapak pun tampaknya bisa menerima upaya saya tersebut. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang membuat bapak seolah tertahan di Malaysia.
“Bapak masih harus nikahkan kamu,” ujar bapak dalam satu kesempatan.
Saya, lagi-lagi, mencoba memberi pengertian bahwa saya akan mencoba mengusahakan pernikahan saya sendiri. Tapi bapak bergeming.
ADVERTISEMENT
“Itu tanggung jawab bapak,” ucapnya selalu.
Saya pun mencoba mengerti maksud bapak. Sebab, kata ibu, semandiri-mandirinya anak, orang tua pasti ingin selalu terlibat dalam menyukseskan hajat sang anak, meskipun dalam peran yang teramat kecil.
Bukan Soal Syukur Tak Syukur
Sering kali beberapa saudara mengatakan pada saya bahwa bapak kurang bersyukur. Menurut mereka, jika bapak bersyukur, maka sesedikit-sedikitnya uang yang ia dapat dari kerja di Indonesia pasti rasanya sudah cukup.
Ketika seorang saudara menasihati bapak tentang hal tersebut, dengan tegas bapak mengatakan bahwa ia terima setiap yang diberi Tuhan pada dirinya. Ia terima ketidakberuntungan hidup yang membuatnya harus terlempar jauh dari kampung halaman, bahkan sejak usianya masih belasan.
Tapi yang sedang dihadapi bapak bukan perkara terima/tidak terima atas takdir Tuhan, melainkan ketakutannya jika tak bisa membuat anak dan istrinya dalam situasi aman, tak kekurangan sebagaimana yang pernah ia lalui sejak masih bocah.
ADVERTISEMENT
“Gak bisa kumpul anak-istri sama sekali gak enak. Tapi hanya ini yang bisa bapak lakukan agar kalian hidup agak layak,” tutur bapak pada satu momen.
Live Update
Mantan Menteri Perdagangan RI Tom Lembong menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/11). Gugatan praperadilan ini merupakan bentuk perlawanan Tom Lembong usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Updated 26 November 2024, 10:01 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini