Konten dari Pengguna

Kehilangan Sosok Kakak

Alya Ramadhanti
Mahasiswa Jurnalistik, PNJ
12 Mei 2020 11:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Ramadhanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Lindsay Beros
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Lindsay Beros
ADVERTISEMENT
Hari dimana kehilangan orang yang kita sayangi untuk selama-lamanya, menjadi momentum yang akan terus kita ingat. Tak ada lagi sapa, canda, tawa, yang ada hanya kerinduan yang tak dapat tersampaikan.
ADVERTISEMENT
Statusku sebagai anak perempuan sulung, sangat mendambakan kehadiran sosok kakak laki-laki yang bisa menemani dan menjagaku. Beruntung aku dikaruniai kakak sepupu laki-laki yang sangat menyayangiku. Mungkin bagi sebagian orang ikatan saudara sepupu hanya sebatas anak dari kakak atau adik dari ibu atau ayah. Tapi tidak denganku, aku sangat menyayanginya selayaknya saudara serahim.
Mas Aip, begitu sapaanku kepadanya. Berkulit sawo matang dengan mata sendu dan gigi kelinci menghiasi wajah tembamnya. Motor vespa tua berwarna merah, sweater gombrong, dan inhaler (alat bantu napas) selalu menjadi andalannya, mas aip mengidap penyakit asma sejak usianya masih belia. Ramah dan santun menggambarkan sosok kepribadiannya. Senyum dan sapaan hangatnya selalu terlontar setiap kali ia berpapasan dengan orang.
ADVERTISEMENT
Terpaut usia 11 tahun tak membuat kami menjadi canggung antar satu sama lain. Ia adalah seorang anak SMA tingkat akhir dan aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Makan adalah hal yang sangat kami sukai. Pernah suatu hari kami bertengkar hanya karena memperebutkan sepotong daging rendang.
Aku ingat, selepas pulang sekolah, ia selalu menyambangi rumahku untuk mengajakku membeli bakso di salah satu kedai dekat rumahnya, atau hanya sekedar membawakanku es krim.
Ia pernah menjemputku dengan vespa merahnya, di tengah perjalanan ia mengajakku ke supermarket membeli bahan-bahan untuk membuat burger, salah satu makanan kegemaran kami berdua. Sesampainya di rumah, kami langsung berbagi tugas. “Kamu nanti yang susun bahan-bahannya ya, biar mas aip yang bakar roti dan dagingnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kepergiannya
Siang hari di bulan Juni 2006, ia menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit asma yang diidapnya. Bendera kuning berkibar seiring terpaan angin, bersautan dengan isak tangis orang-orang yang menyayanginya. Aku berada di sampingnya, hanya bisa memandang wajah pucat pasi dengan kain putih melilit di sekujur tubuhnya. Dingin, saat ku cium lembut dahinya. Bibirnya menyunggingkan senyuman indah untuk terakhir kalinya, seolah-olah ia berpesan, jangan bersedih mas pergi dulu nanti kita bertemu lagi.
Tangisanku tak dapat ku bendung lagi, bertanya-tanya mengapa ia tertidur pulas dan wajahnya ditutup kain. Saat tubuhnya dimasukkan ke dalam keranda, aku hanya bisa termenung diam dan mengikuti langkah orang-orang menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Lantunan doa-doa mengiringinya masuk ke tempat peristirahatan abadinya, ku taburkan bunga tanda melepas kepergiannya.
ADVERTISEMENT
Mungkin kenangan itu yang terpatri dan tak pernah hilang dari ingatanku. Berbahagialah di sana, aku ikhlas melepasnya kembali ke pelukan sang Maha Kuasa, doaku untuknya selalu terucap disetiap ku mengadahkan tangan, walau kesedihanku setiap mengingatnya tak akan pernah mereda.
Terimakasih sudah mengajarkanku untuk selalu menebar kebaikan dimanapun dan kepada siapapun. Bersiap-siap, ya hanya itu yang bisa dilakukan, karena tidak akan pernah tau kapan, dimana, saat sedang apa, yang Maha Kuasa bisa dengan leluasa mengambil nyawa hambanya. (AR)