Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Benturan Budaya Timur dan Barat dalam Penokohan pada Novel Student Hidjo
9 April 2025 9:35 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Novel Student Hidjo diterbitkan oleh Mas Marco Kartodikromo dan terbit pada masa prakemerdekaan. Pada tahun 1919, Student Hidjo pertama kali diterbitkan dalam bentuk novel oleh Masman dan Stroin di Semarang. Sebelumnya, Student Hidjo pertama kali diterbitkan di harian Sinar Hindia pada tahun 1918. Pemerintah kolonial Belanda menganggap bahwa novel Student Hidjo sebagai “bacaan liar”, sehingga peredaran novel ini dilarang. Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo mengambil tema kebudayaan dalam kehidupan, seperti budaya Timur dan Barat melalui tokoh yang digambarkan dalam cerita.
ADVERTISEMENT
Novel ini menceritakan tentang tokoh utama bernama Hidjo yang mendapatkan dorongan melalui kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda dan mendapatkan gelar ingenieur atau insinyur. Keluarga Hidjo hanya sebagai saudagar yang dipandang rendah oleh pemerintah kolonial dan masyarakat pribumi yang tergabung dalam pemerintah kolonial. Pada masa itu, sistem pendidikan kolonial hanya diperbolehkan untuk lapisan masyarakat kelas atas, seperti bangsawan pribumi dan bangsawan Eropa. Oleh karena itu, ayah Hidjo ingin menyekolahkan anaknya ke Belanda untuk mengangkat derajat keluarganya serta para kaum tani. Selain itu, novel Student Hidjo juga menceritakan mengenai perkawinan dengan menegaskan bahwa Barat tetap menjadi Barat dan Timur tetap menjadi Timur, hal ini dapat dikaitkan dengan tema yang diangkat dalam novel ini.
ADVERTISEMENT
Dalam buku “Teori Pengkajian Fiksi” karya Burhan Nurgiyantoro, terdapat salah satu unsur intrinsik berupa tokoh yang terbagi menjadi unsur penokohan dalam fiksi, pembedaan tokoh, dan teknik pelukisan tokoh. Dalam unsur penokohan dalam fiksi, salah satunya terdapat penokohan dan unsur cerita yang lain, maka tulisan ini akan mengkaji novel Student Hidjo berdasarkan penokohan dan tema. Unsur tema penokohan memiliki hubungan yang erat dan menjadi unsur pembangun yang penting dalam cerita fiksi untuk dikaji dan dianalisis. Dalam buku Burhan Nurgiyantoro dijelaskan bahwa pengarang memilih tokoh-tokoh tertentu yang dipertimbangkan paling sesuai untuk mendukung tema.
Tulisan ini akan membahas mengenai penokohan dan tema dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Penokohan yang dibahas hanya meliputi tokoh Hidjo, Raden Mas Wardojo, Raden Ajeng Biroe, Raden Ajeng Woengoe, dan Betje. Tokoh-tokoh tersebut menarik untuk dibahas karena sesuai dengan tema. Menurut Shipley dalam buku Burhan Nurgiyantoro, jika dilihat dari tingkatan tema, novel Student Hidjo termasuk pada golongan tingkatan ketiga dengan tema “tingkat sosial.” Manusia merupakan makhluk sosial dan kehidupan bermasyarakat menjadi tempat manusia dalam melakukan kegiatan, seperti beraksi-berinteraksi dengan sesama dan lingkungan alam yang mengandung dan memunculkan konflik yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial tersebut dapat berupa masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih antar sesama, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang muncul dalam karya sastra. Tulisan ini akan menyajikan beberapa masalah-masalah sosial tersebut dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Selamat membaca!
ADVERTISEMENT
Penokohan
1. Hidjo
Hidjo digambarkan sebagai seorang pelajar pribumi yang maju, berpikir kritis, cerdas, suka membaca buku, pendiam, memiliki sikap yang santun, penurut, tidak nakal, sopan, menghormati orang-orang di sekitarnya termasuk kedua orang tuanya, mudah dalam bergaul bahkan mudah terpengaruh oleh hal-hal baru. Gambaran tersebut dapat dilihat melalui beberapa kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Hidjo merupakan anak yang sangat cerdas dan berpikir kritis. Ayah Hidjo berpendapat bahwa ia dapat menyekolahkan anaknya hingga memiliki kecerdasan yang setara bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan pangeran atau regent, walaupun ia bukan dari kalangan bangsawan atau kalangan masyarakat yang tergabung dalam pemerintah kolonial. Kutipan ini akan membuktikan bahwa anggapan pemerintahan kolonial terhadap pribumi kalangan saudagar tidak serendah bayangan mereka. Kecerdasan yang dimiliki Hidjo meyakinkan ayahnya agar Hidjo pergi ke Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan dan mengangkat derajat keluarganya.
ADVERTISEMENT
Narasi dan kutipan di atas menunjukkan bahwa Hidjo adalah seseorang yang memiliki kecintaan terhadap buku dan kegiatan membaca, walaupun sudah tamat sekolah dari HBS. Membaca buku tidak hanya sekadar aktivitas, melainkan bagian dari kebiasaan dan gaya hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Hidjo adalah seseorang yang pendiam dan bijak dalam berbicara. Hidjo menunjukkan pribadi yang santun dan tidak suka membicarakan hal yang tidak perlu. Sikap ini mencerminkan budaya Timur yang menjunjung tinggi sikap menghormati orang lain dan berbicara dengan hati-hati.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Hidjo memiliki sikap santun yang menunjukkan kepedulian dan kasih sayang terhadap ibunya yang sedang bersedih karena perpisahan. Sikap santun tersebut mencerminkan tutur kata yang lembut dan keputusan yang menunjukkan rasa hormat dan cinta kepada ibunya.
ADVERTISEMENT
Kutipan dialog tersebut menggambarkan bahwa Hidjo adalah anak yang penurut dan tidak nakal yang juga menunjukkan konflik batin seorang anak muda yang hendak menempuh pendidikan ke Negeri Belanda untuk tetap menjaga nilai-nilai moral dan budaya yang ditanamkan oleh keluarganya. Sikap Hidjo menjawab pertanyaan ibunya dengan singkat menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya mendengarkan, tetapi juga bersungguh-sungguh untuk berjanji dalam menjaga sikap di negeri orang. Hidjo merupakan gambaran pemuda terpelajar pribumi yang modern dan tetap berpijak pada nilai-nilai etika dengan menunjukkan keberanian menjaga diri di tengah budaya kolonial.
ADVERTISEMENT
Kutipan dialog tersebut menggambarkan bahwa Hidjo sebagai seseorang yang mudah bergaul dan memiliki sikap sopan. Demi kesopanan tersebut, Hidjo menuruti permintaan tiga perempuan Belanda. Menurut adat Eropa, semua laki-laki harus menghormati semua perempuan. Sikap Hidjo menunjukkan pertemuan budaya antara Timur dan Barat yang mencerminkan pemuda pribumi terdidik di tengah percampuran budaya kolonial.
Kutipan tersebut menggambarkan Hidjo yang mudah terpengaruh. Di Negeri Belanda, Hidjo bermain dengan perempuan Belanda di belakang tunangannya, yaitu Raden Ajeng Biroe yang tinggal jauh di tanah air. Akan tetapi, dalam kutipan ini Hidjo telah menyadari bahwa hubungan kedekatannya dengan Betje dapat menimbulkan penyesalan bagi dirinya sendiri bahkan bagi kehormatan keluarganya di tanah air, sebab Hidjo berasal dari keluarga pribumi yang menjunjung nilai-nilai kebudayaan. Oleh karena itu, Hidjo mempertanyakan langkah berikutnya dan ia menyadari bahwa hubungan tersebut tidak baik untuk dilanjutkan. Hidjo merasa terjebak dalam dilema cinta dan norma sosial yang berlaku di masyarakat kolonial.
ADVERTISEMENT
2. Raden Mas Wardojo
Raden Mas Wardojo merupakan saudara kandung Raden Ajeng Woengoe yang digambarkan menaruh rasa secara diam-diam kepada Raden Ajeng Biroe, Wardojo memiliki sikap yang sopan dan berbudi baik. Hal tersebut dibuktikan melalui beberapa kutipan berikut.
Narasi-narasi tersebut menunjukkan perasaan khusus Raden Mas Wardojo terhadap Raden Ajeng Biroe meskipun belum bisa mengungkapkan perasaan tersebut. Rasa gugup tersebut menggambarkan bahwa Wardojo menyimpan rasa suka yang tulus dalam menjaga perasaan yang baik dengan cara tidak menunjukkan rasa cinta secara terbuka. Dalam budaya Jawa, sikap Raden Mas Wardojo ini menjunjung tinggi tata krama. Narasi berikutnya menunjukkan bahwa antara Raden Mas Wardojo dan Raden Ajeng Biroe terdapat ketertarikan satu sama lain, namun keduanya belum mengungkapkan secara langsung perasaan tersebut. Mereka masih menyimpan rasa itu dalam diam, baik Raden Mas Wardojo maupun Raden Ajeng Biroe masih belum berani secara terbuka untuk menyatakan isi hati mereka.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan angan-angan Raden Mas Wardojo kepada Raden Ajeng Biroe tentang masa depan, khususnya mengenai perkawinan. Raden Mas Wardojo membayangkan bahwa pernikahan mereka adalah sebuah kehormatan, namun kehormatan itu akan hilang jika kelak pendamping hidupnya bukan Raden Ajeng Biroe. Kutipan ini menunjukkan bahwa cinta dalam kalangan priyayi tidak selalu diungkapkan kebebasan, melainkan dibatasi oleh etika, status sosial, dan budaya. Dalam keluarga bangsawan Jawa, perkawinan sering kali ditentukan oleh pertimbangan keluarga dan status, bukan semata-mata karena cinta, walaupun perkawinan itu membutuhkan dasar saling cinta mencintai.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan Raden Mas Wardojo memiliki sikap sopan dan berbudi baik yang menjunjung tinggi adat dan etika dalam kehidupan sehari-hari, walaupun dalam hal-hal kecil seperti posisi duduk. Sikap ini menunjukkan nilai-nilai budaya Jawa atas kehormatan dan kesopanan, terutama di kalangan bangsawan.
3. Raden Ajeng Biroe
Raden Ajeng Biroe merupakan tunangan Hidjo yang digambarkan sebagai salah seorang anak bangsawan yang memiliki sikap mudah percaya, penuh perasaan, lemah lembut, pasrah terhadap takdir. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Narasi tersebut menggambarkan Raden Ajeng Biroe sebagai salah seorang anak bangsawan dan lekat dengan kemewahan dan estetika. Pakaian yang dikenakan Raden Ajeng Biroe menjadi salah satu tanda status sosial sebagai kelas atas dalam struktur masyarakat kolonial saat itu. Dalam kebudayaan Jawa, warna kuning digambarkan sebagai kemuliaan dan kebangsawanan.
Kutipan tersebut adalah penegasan yang disampaikan oleh Hidjo bahwa Raden Ajeng Biroe merupakan tunangannya. Hidjo menegaskan bahwa status hubungan mereka dilandasi cinta atau kesetaraan pemikiran.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan Raden Ajeng Biroe sebagai perempuan bangsawan yang lemah lembut, namun menggantungkan kebahagiaan kepada tunangannya dengan menunjukkan bahwa Raden Ajeng Biroe begitu terikat akan kehadiran Hidjo sehingga merasa tidak dapat hidup tanpanya. Dalam struktur sosial kolonial dan budaya Jawa, gambaran perempuan seperti Raden Ajeng Biroe sebaiknya lebih dihargai karena kelembutan dan kesetiaannya, bukan karena keberanian dan kemandiriannya.
Kutipan tersebut menggambarkan Raden Ajeng Biroe sebagai perempuan bangsawan yang memiliki sifat pasrah kepada takdir. Penyebutan dua nama, yaitu Hidjo dan Raden Mas Wardojo menunjukkan bahwa ia menyerahkan keputusan akhir kepada keadaan, keluarga, atau kehendak sosial yang mengatur hidupnya.
ADVERTISEMENT
4. Raden Ajeng Woengoe
Raden Ajeng Woengoe digambarkan sebagai salah seorang anak bangsawan yang mencintai Hidjo, lemah lembut, dan mudah bergaul. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan Raden Ajeng Woengoe sebagai perempuan bangsawan yang cantik dan berperilaku halus penuh kesopanan. Hal ini membuka ruang terhadap pembaca yang kritis terhadap posisi perempuan bangsawan.
ADVERTISEMENT
Narasi tersebut menunjukkan bahwa Raden Ajeng Woengoe sebagai seorang bangsawan yang tampil mewah, elegan, dan sangat memperhatikan penampilan. Narasi ini tidak hanya menekankan kecantikan, tetapi juga kekayaan serta status sosial yang tinggi melalui pakaian sutra dan perhiasan mahal seperti kalung zamrud dan cincin berlian. Hal ini menggambarkan kelas bangsawan Hindia Belanda hidup dalam kemewahan.
5. Betje
Betje digambarkan sebagai salah seorang anak keturunan Belanda yang memiliki sifat agresif, genit, dan suka menggoda. Hal tersebut dibuktikan melalui beberapa kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan Betje sebagai seseorang yang berani, suka menggoda, dan tidak malu menunjukkan perasaannya, termasuk kepada laki-laki pribumi seperti Hidjo. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Betje kagum pada budaya Hindia dan tampak ingin lebih dekat dengan kehidupan masyarakat pribumi melalui Hidjo. Betje menjadi simbol bahwa budaya dapat saling memengaruhi dan ras tidak selalu menjadi penghalang dalam hubungan antar manusia. perkataan Betje membuat kaget kedua orang tuanya karena kata-kata tersebut menunjukkan bahwa Betje menaruh hati kepada Hidjo.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Betje berani dan terbuka dalam mengungkapkan perasaan. Ia tidak ragu mengajak Hidjo sebagai seorang pribumi untuk pergi hanya berdua tanpa ditemani orang lain. Pengaruh budaya Barat dapat memengaruhi kehidupan dan cara berpikir seseorang, bahkan Hidjo terjebak dalam hubungan hingga mengalihkan fokus pendidikan dan cita-citanya untuk menjadi seorang ingenieur.
ADVERTISEMENT
Kutipan dan narasi tersebut menggambarkan Betje yang genit, bahkan perbuatannya itu sempat ditegur oleh orang tuanya agar tidak selalu menggoda Hidjo. Betje sebagai perempuan Belanda tampak mendominasi hubungan dengan sikap agresif terhadap Hidjo, bahkan sikap tersebut mengganggu konsentrasi Hidjo dalam belajar. Kutipan ini menunjukkan perbedaan antara budaya Timur yang dikenal dengan sopan santun, batasan pergaulan, dan penghormatan terhadap adat. Berbeda dengan budaya Barat yang lebih bebas dan terbuka. Kehilangan adat dan hormat menandakan bahwa hubungan tersebut menyimpang dari adat yang berlaku, terutama bagi seorang pemuda pribumi seperti Hidjo yang seharusnya fokus pada tujuan pendidikan dan menjaga martabat. Hidjo sebagai pemuda pribumi telah kehilangan arah karena terlarut dalam gaya hidup budaya Barat.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Betje berani mengambil langkah. Ia mengajak Hidjo untuk pergi melancong meskipun waktu sudah cukup malam dan tidak pantas bagi seorang perempuan. Ajakan pergi ke hotel secara langsung menimbulkan pemikiran negatif karena tempat tersebut dapat dikaitkan dengan aktivitas pribadi yang lebih intim. Sikap Betje menggambarkan bahwa ia tidak peduli dengan aturan dan norma sopan santun yang berlaku bagi perempuan Hindia, hal ini juga menjadi bukti bahwa pengaruh budaya Barat terlalu bebas dan menjadi tantangan bagi Hidjo. Pada saat itu, Hidjo tekah terbawa arus pada hal negatif.
Tema
1. Tema Ekonomi dan Sosial
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi dan sosial pada masa kolonial. Ayah Hidjo adalah seorang saudagar yang dipandang rendah. Dalam konteks ekonomi, kutipan ini menjelaskan bahwa orang kaya belum tentu dihormati jika mempunyai jabatan. Jika dilihat dalam konteks sosial, masyarakat terbagi dalam kelas-kelas atau tingkatan sosial. Ayah Hidjo ingin menyampaikan bahwa semua orang itu sama dan tidak harus dibeda-bedakan, tidak peduli apa pekerjaan atau status sosialnya. Ayah Hidjo mengirim anaknya ke Belanda untuk sekolah sebagai bentuk perlawanan ketidakadilan sosial terhadap anggapan bahwa tidak hanya anak bangsawan atau pejabat yang pantas mendapatkan pendidikan, hal ini menunjukkan bahwa keluarga saudagar juga bisa maju dan berpendidikan.
ADVERTISEMENT
2. Tema Perkawinan
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan bahwa orang tua Hidjo sangat khawatir terhadap pengaruh budaya Barat saat menjalankan pendidikan di Belanda. Ibu Hidjo takut jika anaknya jatuh cinta dan menikah dengan perempuan Belanda, karena hal itu dianggap melupakan budaya Timur. Di sisi lain, ayah Hidjo menenangkan hati istrinya. Pertunangan antara Hidjo dan Raden Ajeng Biroe menjadi bentuk penjagaan terhadap nilai-nilai budaya Timur yang dijadikan sebagai pengikat moral agar Hidjo tidak melupakan asal-usulnya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan pertanyaan atau usulan yang menantang aturan sosial, namun bagi keluarga Raden Ajeng Woengoe dan Raden Mas Wardojo berpendapat bahwa pernikahan itu bukan tentang siapa yang pantas untuk siapa, melainkan semua manusia sama saja asal yang menjalaninya suka. Kutipan ini menjadi gambaran bahwa perkawinan Barat tetap menjadi Barat dan Timur tetap menjadi Timur.
3. Tema Kebudayaan
ADVERTISEMENT
Narasi-narasi tersebut menunjukkan kebiasaan yang mencerminkan kebudayaan Eropa yang lebih terbuka dalam pergaulan. Dalam budaya Timur, laki-laki dan perempuan sering kali tidak berjalan berdekatan. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa interaksi dengan budaya Barat membawa perubahan dalam cara berpikir dan bertindak salah satunya melalui cara berjalan sebagai bentuk tata krama budaya Eropa. Narasi berikutnya menunjukkan Hidjo yang sebelumnya menjunjung tinggi tata krama mulai terpengaruh oleh gaya hidup Eropa, hal tersebut menyampaikan bahwa perubahan tidak selalu membawa dampak positif jika tidak disaring dengan bijak. Di sisi lain, kutipan tersebut menggambarkan adat kesopanan Eropa yaitu laki-laki berada di tengah dan diapit oleh dua perempuan di bagian kiri dan kanan, hal ini menunjukkan sama halnya narasi pada bagian pertama.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh Hidjo yang dihadapkan oleh pergaulan dan cara hidup orang Eropa. Pendidikan Barat memang memberikan kemajuan, tetapi dapat menjadikan kaum terpelajar lupa dengan asal-usul dan tanggung jawab terhadap bangsanya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kenyataan dari hubungan antara Belanda dengan bumiputera sangat timpang, karena bangsa Eropa masih memandang pribumi sebagai budak. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kolonial seperti associatie hanya dijadikan alat kekuasaan Belanda dengan membujuk kaum terpelajar bumiputera agar merasa menjadi bagian dari sistem kolonial, padahal tetap dilakukan tidak setara.
Kutipan tersebut menggambarkan kolonialisme menghancurkan kepercayaan diri dan martabat budaya lokal. Orang Jawa dan lebih luas lagi orang Hindia digambarkan oleh kaum kolonial tidak beradab. Hidjo mengalami bahwa kebudayaan diremehkan secara tidak adil, dan budaya Eropa dianggap lebih unggul. Kutipan ini juga menunjukkan bahwa budaya dijadikan alat politik untuk menundukkan bangsa jajahan. Novel ini membangkitkan kesadaran budaya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
ADVERTISEMENT
4. Tema Percintaan
Kutipan tersebut menggambarkan konflik yang menjadikan Hidjo terjebak dalam dilema percintaan. Hidjo merasa senang karena dipanggil pulang oleh ayahnya ke Tanah Jawa untuk menikahi Raden Ajeng Woengoe, yaitu seorang gadis bangsawan yang telah lama ia kagumi dan ia cintai. Di sisi lain ia juga merasa bersalah terhadap Betje, gadis Belanda yang menjalin hubungan dengannya saat ia berada di negeri Belanda. Hubungan antara Hidjo dengan Betje menggambarkan perbedaan budaya Timur dan Barat, meskipun Hidjo memiliki perasaan terhadap Betje, namun ia kembali pada budaya Timur yang ada di hadapannya. Hal ini menimbulkan luka dan pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan bahwa perpisahan ini bukan akhir. Akan tetapi, hal ini tidak hanya tentang janji pertemuan di masa depan, tetapi sulit untuk dipersatukan sepenuhnya.
Daftar Pustaka
Kartodikromo, Mas Marco. (2023). Student Hidjo. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Nurgiyantoro, Burhan. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.