Konten dari Pengguna

Membedah Strukturalisme Genetik dalam Cerpen Robohnya Surau Kami

Alya Nuraini
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12 Mei 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 22 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buku Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Robohnya Surau Kami merupakan kumpulan cerpen karya A.A. Navis dan pertama kali diterbitkan dalam majalah Kisah yang terbit di Jakarta pada tahun 1955. Kemudian, cerpen ini juga diterbitkan dalam buku antologi kumpulan cerpen A.A. Navis pada tahun 1956 oleh Penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Cerpen ini menceritakan tentang sebuah surau tua yang kini telah ditinggalkan dan nyaris roboh. Dahulu, surau itu dijaga oleh seorang kakek tua yang taat beribadah dan hidup sederhana. Ia menjadi garin tanpa imbalan tetap, ia juga dikenal sebagai pengasah pisau yang tidak pernah meminta bayaran atas jasanya. Suatu hari, “aku” sebagai narator datang ke surau untuk mengasah pisau, namun menemukan kakek dalam keadaan murung dan diam. Kakek tak menyambut sapaan seperti biasanya. Setelah didesak, barulah terungkap bahwa kakek sedang sedih dan kecewa karena perkataan Ajo Sidi, seorang warga kampung yang terkenal sebagai pembual.
ADVERTISEMENT
Cerita Ajo Sidi menggambarkan seorang tokoh bernama Haji Saleh yang ketika meninggal dan dihisab di akhirat, merasa yakin akan masuk surga karena hidupnya dihabiskan untuk beribadah. Tuhan mempertanyakan kontribusinya terhadap penderitaan sesama manusia di dunia. Ternyata, Haji Saleh selama hidupnya tidak pernah peduli dengan keadaan sekitarnya yang penuh ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Ia hanya fokus pada ibadah pribadi tanpa membela nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya, Tuhan memutuskan Haji Saleh masuk neraka karena kelalaiannya terhadap tanggung jawab sosial.
Kakek merasa cerita itu secara tidak langsung menyindir dirinya. Ia merasa selama hidup telah menjalankan ibadah dengan sepenuh hati, meninggalkan dunia dan kesenangan demi akhirat. Namun, kini ia mulai meragukan apakah semua itu benar-benar cukup di hadapan Tuhan. Ia merasa dihantui oleh kemungkinan bahwa hidupnya selama ini sia-sia karena tak peduli pada penderitaan orang lain. Akhir cerita sangat tragis. Kakek ditemukan meninggal karena bunuh diri, diduga karena pergulatan batin setelah mendengar cerita Ajo Sidi. Kematian kakek dan robohnya surau menjadi simbol kemerosotan nilai-nilai agama yang hanya ritualitas tanpa diiringi kepedulian sosial.
ADVERTISEMENT
Cerpen ini akan membahas Strukturalisme genetik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori strukturalisme genetik tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: A Study of Tragic Vision in the Penses of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis yang terbit pertama kali tahun 1956. Teori strukturalisme genetik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann menjadi sebuah teori yang melengkapi kekurangan dari strukturalisme murni. Sebab, strukturalisme murni hanya memandang karya sastra melalui unsur intrinsik semata tanpa melihat bahwa sebuah karya sastra tidak bisa terlepas dari latar belakang pengarang yang menciptakan karya sastra tersebut, sehingga strukturalisme genetik menjadi respon yang positif dengan melibatkan unsur ekstrinsik pada karya sastra dan melihat latar belakang pengarang yang melahirkannya.
ADVERTISEMENT
Goldmann membagi teori Strukturalisme Genetik ke dalam 4 konsep dasar, yaitu:

1. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan menjadi bagian pertama dalam strukturalisme genetik, Fakta kemanusiaan menggambarkan aktivitas manusia seperti segala kegiatan dan juga aktivitas dalam keseharian seseorang yang kemudian dibagi atas fakta individual dan fakta sosial yang berkaitan dengan peranan sejarah, ekonomi, politik antar-masyarakat. Dalam cerpen ini, fakta kemanusiaan digambarkan melalui fakta geografis, sosiologis, psikologis, historis, dan ideologis.

1) Fakta Geografis

ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan fakta kemanusiaan geografis berupa lingkungan fisik dan sosial masyarakat Minangkabau. Melalui pendekatan strukturalisme genetik, kutipan ini mencerminkan keterikatan tokoh dengan kampung halamannya, ditunjukkan melalui deskripsi rinci arah dan lokasi. Keberadaan surau tua di ujung jalan menggambarkan pusat kehidupan religius dan budaya di Minangkabau yang menjadi simbol penting dalam cerita. Struktur sosial masyarakat yang terhubung erat dengan tempat tinggal dan identitas religius mereka. Kutipan ini tidak hanya menggambarkan lokasi secara geografis, tetapi juga menunjukkan struktur sosial dan pandangan tokoh yang terbentuk dari lingkungan religius dan adat Minangkabau.
Kutipan tersebut menggambarkan perubahan emosi dan kondisi psikologis Kakek yang dipengaruhi oleh konteks sosial-budaya di sekitarnya. Melalui pendekatan strukturalisme genetik, khususnya pada fakta kemanusiaan geografis, kutipan ini menunjukkan bahwa Kakek yang biasanya senang saat mendapat kunjungan dan bantuan, kini tidak lagi menunjukkan kegembiraan tersebut. Hal ini berkaitan dengan ucapan Ajo Sidi yang menyindir bahwa hidup Kakek hanya dihabiskan untuk beribadah tanpa kontribusi nyata bagi masyarakat, dan menyamakan Kakek dengan manusia terkutuk dalam kisah cerita yang disampaikannya. Secara geografis, cerita ini berlatar di Minangkabau, daerah yang menjunjung tinggi nilai adat dan agama. Dalam budaya Minangkabau, keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat sangat penting. Kakek yang hanya fokus beribadah di surau dianggap tidak menjalankan peran sosialnya sesuai nilai budaya setempat. Akibatnya, ia merasa terpukul dan kehilangan semangat hidup. Kutipan ini memperlihatkan ruang geografis dan nilai budaya yang melekat di dalamnya turut memengaruhi kondisi batin tokoh.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut merupakan bagian dari kisah di dalam cerita yang disampaikan Ajo Sidi kepada Kakek. Kutipan ini menggambarkan kondisi tanah Minangkabau yang dikenal subur dan kaya sumber daya alam. Negeri yang digambarkan dalam kisah di dalam cerita ini mencerminkan kenyataan geografis masyarakat Minang yang seharusnya bisa hidup makmur dan sejahtera jika bekerja keras memanfaatkan anugerah alam yang dimiliki. Akan tetapi, dalam konteks kisah di dalam cerita Ajo Sidi, kesuburan tanah tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik karena tokoh tersebut hanya fokus beribadah dan melupakan tanggung jawab sosial dan ekonomi. Cerita yang tersembunyi di balik kisah utama ini, secara tidak langsung menyindir Kakek yang hidupnya dihabiskan untuk beribadah di surau tanpa berkontribusi dalam kehidupan dunia. Maka, kutipan ini mencerminkan teguran terhadap pola pikir yang pasrah dan mengabaikan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, serta menunjukkan kondisi geografis yang kaya tidak berarti apa-apa jika tidak dimanfaatkan secara bijak oleh manusianya.
ADVERTISEMENT

2) Fakta Sosiologis

Kutipan ini menggambarkan kondisi sosial ekonomi Kakek sebagai penjaga surau sangat bergantung pada sedekah dan pemberian dari masyarakat sekitar. Fakta kemanusiaan sosiologis ini mengungkapkan ketimpangan sosial yang dialami oleh Kakek yang kehidupannya tergantung pada kemurahan hati orang lain. Kakek tidak memiliki penghasilan tetap dan hidup dalam keterbatasan ekonomi, hal ini mencerminkan kesenjangan antara individu dengan masyarakat di sekitarnya. Kondisi sosial dan ekonomi ini memengaruhi karakter dan perilaku Kakek. Kutipan ini juga memperlihatkan peran surau sebagai tempat ibadah yang seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat, namun pada kenyataannya, penjaga surau seperti Kakek justru hidup dalam kondisi yang sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan tokoh Ajo Sidi, sebagai seorang pembual dapat memanfaatkan cerita-ceritanya untuk mempengaruhi dan mengikat orang-orang di sekitarnya. Melalui bualannya yang aneh-aneh, Ajo Sidi mampu menciptakan pepatah yang akhirnya menjadi bahan ejekan bagi orang-orang di kampungnya. Ajo Sidi berhasil membentuk pandangan sosial dan memperkenalkan norma atau stereotip tertentu melalui kisah-kisah yang ia ceritakan. Dalam konteks kemanusiaan sosiologis, kutipan ini menggambarkan fenomena sosial, yakni masyarakat menerima dan menyebarkan narasi tertentu yang berpotensi mengubah cara mereka melihat orang lain. Ajo Sidi dengan kecerdikannya dalam berbicara, menggambarkan cerita atau mitos bisa menjadi sarana untuk membentuk opini dan nilai-nilai sosial. Hal ini juga mencerminkan pengaruh budaya lisan dalam masyarakat yang bersifat tradisional bahwa cerita-cerita atau bualan sering kali menjadi bagian dari cara orang berinteraksi dan saling menilai satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan kondisi sosial masyarakat yang tidak lagi peduli dengan tempat ibadah yang sudah mulai runtuh. Masyarakat lebih memilih untuk mengabaikan surau, bahkan menggunakannya untuk bermain atau merusak fasilitas yang ada. Ini menunjukkan adanya ketidakpedulian masyarakat terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap suci dan penting. Terdapat perubahan dalam cara pandang masyarakat terhadap tempat ibadah yang dulu dihormati. Surau yang seharusnya menjadi tempat untuk beribadah dan berkumpul, kini sudah mulai dilupakan dan dianggap tidak penting lagi. Anak-anak yang mewakili generasi muda, justru menjadikannya tempat bermain. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak lagi melihat surau sebagai tempat yang sakral atau berharga. Ketidakpedulian ini mencerminkan sebuah pergeseran nilai dalam masyarakat, yaitu sesuatu yang dulu dihargai dan dianggap penting, sekarang sudah mulai ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan bahwa meskipun Kakek seorang garin, dia tidak begitu dikenal dalam masyarakat. Kakek lebih terkenal sebagai pengasah pisau yang berarti pekerjaan yang lebih sederhana dan tidak terkait langsung dengan tugas keagamaan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam cara masyarakat memandang Kakek, di mana perannya sebagai penjaga surau yang seharusnya dihormati justru tidak dikenal banyak orang. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat lebih memperhatikan hal-hal yang lebih praktis atau duniawi, sementara aspek spiritual atau agama sering kali diabaikan, seperti pekerjaan lain yang lebih terlihat.
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Kutipan kisah di dalam cerita ini Ajo Sidi menggambarkan pengabdian dan ketulusan yang sering kali tidak tampak dalam masyarakat. Di satu sisi, tokoh Soleh pada kisah di dalam cerita berusaha menunjukkan bahwa ia beribadah kepada Tuhan dengan penuh kesungguhan. Namun, jika dilihat lebih dalam, hal ini menjadi sindiran atau kritik terhadap Kakek yang menjaga surau, tetapi sebenarnya masyarakat tidak memberikan penghargaan atau perhatian yang layak. Kisah ini juga menunjukkan adanya perbedaan antara bentuk ibadah yang tampak seperti ritual agama dan ibadah dalam arti yang lebih luas, seperti kehidupan sosial dan tanggung jawab terhadap sesama. Dalam hal ini, digambarkan ketidaksesuaian antara pengabdian yang sesungguhnya terhadap Tuhan dengan kenyataan sosial di sekitarnya, yakni masyarakat lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat duniawi, sementara tempat ibadah seperti surau dianggap tak lagi penting.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan pandangan hidup sebagian masyarakat yang terlalu menekankan aspek ibadah tanpa mengimbanginya dengan tanggung jawab sosial dan ekonomi. Saleh digambarkan lebih memilih fokus pada ibadah tanpa berusaha memperbaiki nasibnya atau keturunannya yang pada akhirnya menyebabkan kemelaratan berkelanjutan. Hal ini menyindir kondisi masyarakat Minangkabau pasca kemerdekaan yang mulai mengalami krisis nilai dan tidak mengalami kemajuan sosial akibat pemahaman agama yang tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3) Fakta Psikologis

Kutipan ini menunjukkan kondisi batin tokoh kakek yang mengalami krisis eksistensi setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi. Kakek yang sebelumnya merasa tenang dengan keyakinannya bahwa hidupnya sudah benar karena beribadah terus-menerus, mendadak merasa kehilangan arah dan harga diri setelah tersadar bahwa selama ini ia tidak melakukan apa-apa untuk sesama. Perasaan bersalah dan kecewa terhadap dirinya sendiri menumpuk, hingga akhirnya memunculkan keputusasaan yang mendalam. Kematian kakek dalam konteks ini bukan hanya sebagai akhir hidup secara biologis, tetapi juga simbol matinya semangat, harapan, dan nilai-nilai lama yang dianggap tidak relevan lagi. Kematian kakek juga mencerminkan runtuhnya suatu pandangan hidup masyarakat tradisional yang tidak mampu menjawab tantangan zaman, sekaligus menjadi kritik sosial terhadap sikap pasif dan menyerah pada keadaan yang masih melekat dalam masyarakat. Surau yang kini kosong tanpa penjaga memperkuat simbol keruntuhan tersebut, baik secara spiritual maupun sosial.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan kondisi batin tokoh kakek yang sedang mengalami keguncangan mental dan krisis pemikiran tentang makna hidup serta nilai-nilai yang selama ini ia anut. Kakek yang biasanya tenang dan terlihat yakin dengan jalan hidupnya sebagai penjaga surau, tiba-tiba digambarkan muram dan kehilangan arah. Posisi duduk yang pasif, pandangan kosong, dan ekspresi sayu menjadi simbol dari tekanan batin. Hal ini mencerminkan adanya bentrokan antara nilai-nilai keyakinan bahwa ibadah saja cukup dengan kesadaran baru yang muncul setelah mendengar cerita Ajo Sidi yang menyindir pemahaman agama yang sempit dan pasif. Terdapat pergulatan batin antara kepercayaan diri di masa lalu dan rasa bersalah serta kebingungan yang muncul. Kondisi psikologis Kakek tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan sejarah masyarakat saat itu.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan konflik batin Kakek yang terjebak dalam pertentangan antara keyakinan religius dengan pandangan masyarakat yang lebih berpikir praktis. Kutipan ini menggambarkan keraguan, kebingungan, dan kesedihan yang dialami Kakek dengan perasaan telah mengabdikan hidupnya untuk agama dan Tuhan, namun justru mendapatkan kritik dan label buruk dari Ajo Sidi. Kakek tidak memahami mengapa ia disebut “terkutuk” padahal ia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar menurut keyakinannya. Terdapat perasaan kesendirian dan perasaan tidak dimengerti yang muncul pada individu yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip spiritual atau moral, namun terabaikan atau mendapatkan kesalahpahaman oleh lingkungan sekitar. Kutipan ini juga menunjukkan struktur sosial dan budaya pada masa itu menuntut pencapaian keberhasilan duniawi dan hasil nyata, sementara Kakek tetap memilih jalannya sendiri yang lebih mengutamakan nilai-nilai spiritual dan keikhlasan. Konflik batin ini tidak hanya menjadi gambaran psikologis tokoh, tetapi juga mencerminkan masyarakat masih terikat oleh norma dan pandangan dunia, sementara individu yang mempertahankan keyakinan religiusnya sering kali terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan keadaan psikologis Haji Saleh yang merasa sangat yakin akan keselamatan dirinya di akhirat karena telah menunaikan ibadah haji. Sikap ini mencerminkan kepercayaan diri yang berlebihan, karena Haji Saleh menganggap bahwa statusnya sebagai seorang haji sudah cukup untuk menjamin keselamatan tanpa memperhatikan amal perbuatan lainnya. Secara psikologis, ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap upaya perbaikan diri dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari, karena ia merasa sudah mencapai standar religius tertentu. Hal ini juga mencerminkan pengaruh budaya dan sejarah sosial masyarakat terhadap pembentukan sikap dan keyakinan individu. Ibadah haji di masyarakat tersebut menjadi simbol keberhasilan spiritual yang mengarah pada sikap takabur atau merasa lebih tinggi secara religius. Haji Saleh dengan keyakinan yang kuat akan surga, menunjukkan simbolisme agama dalam masyarakat bisa memengaruhi psikologi individu, karena ia lebih mengutamakan status sosial keagamaan daripada pemahaman agama yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Kutipan menggambarkan bahwa kecenderungan egois Soleh adalah refleksi dari perubahan sosial dan nilai-nilai yang sedang berkembang di masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Pada masa tersebut, terjadi pergeseran dari nilai-nilai tradisional yang mengutamakan kebersamaan, religius, dan gotong-royong menuju nilai individualisme yang menunjukkan hasil praktis. Tokoh Soleh yang seharusnya menjadi figur yang membawa masyarakat menuju kesalehan dan kebersamaan, justru terjebak dalam egoisme yang akhirnya berkontribusi pada kehancuran, simbol spiritual dan sosial masyarakat tersebut. Konflik batin Soleh yang terikat pada nilai agama namun gagal menjalankan kewajiban sosialnya, mencerminkan krisis identitas yang dialami oleh banyak individu pada masa perubahan sosial tersebut. Kritik terhadap egoisme Soleh bukan hanya kritik terhadap dirinya secara pribadi, tetapi juga sebuah sindiran terhadap pergeseran nilai yang mengancam keharmonisan sosial dan moralitas dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT

4) Fakta Historis

Kutipan tersebut menggambarkan kondisi sosial dan historis yang mempengaruhi kehancuran surau sebagai simbol spiritual dan sosial masyarakat Minangkabau. Hal ini mencerminkan perubahan sosial yang terjadi, yakni generasi tua yang memegang tradisi dan nilai-nilai luhur agama serta kebersamaan mulai hilang. Kakek merupakan tokoh yang menjaga dan melestarikan tradisi, tetapi setelah kematiannya, surau kehilangan pengawasan dan fungsi sosialnya. Surau yang sebelumnya menjadi pusat kehidupan masyarakat, kini hanya menyisakan gambaran kesucian yang bakal roboh yang menandakan bahwa kehancuran surau tidak hanya fisik, tetapi juga simbolis, menggambarkan kehilangan nilai moral, agama, dan sosial dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan pada kisah dalam cerita menggambarkan realitas bahwa sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat dieksploitasi oleh pihak luar yang mengangkut kekayaan tersebut ke tempat lain, meninggalkan masyarakat lokal dalam kondisi yang tidak sejahtera. Hal ini mencerminkan kondisi historis pada masyarakat adat, yakni berada di bawah tekanan sistem ekonomi yang tidak adil, sering kali disebabkan oleh pengaruh kolonialisme atau kapitalisme yang hanya menguntungkan pihak luar. Ketimpangan ekonomi ini menciptakan perasaan ketidakberdayaan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa hasil kerja keras mereka tidak dihargai dan tidak dinikmati oleh mereka sendiri. Kutipan ini juga mengindikasikan perubahan sosial yang besar, nilai-nilai tradisional dan sistem sosial yang dulu menjaga keseimbangan kini mulai tergeser oleh sistem ekonomi yang lebih mengejar keuntungan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT

5) Fakta Ideologis

Kutipan menggambarkan proses kehancuran yang berlangsung semakin cepat, mencerminkan pergeseran ideologis yang terjadi dalam masyarakat. Kutipan ini menunjukkan bahwa kerobohan bukan hanya dalam bentuk fisik surau, tetapi juga sebagai simbol dari perubahan ideologi. Surau yang sebelumnya menjadi tempat untuk menjaga nilai-nilai keagamaan dan kebersamaan, kini semakin terabaikan. Percepatan kerobohan ini mencerminkan pengaruh arus modernitas yang membawa perubahan pada pola pikir dan kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi, sehingga mengabaikan nilai-nilai kebersamaan dan spiritualitas yang menjadi dasar kehidupan masyarakat sebelumnya. Perubahan ideologis ini menyebabkan keruntuhan lembaga sosial dan agama. Dalam hal ini, kerobohan surau bukan hanya persoalan fisik, tetapi juga simbol dari krisis ideologi.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan menggambarkan kritik terhadap sikap manusia yang tidak bersyukur dan kurangnya pemanfaatan potensi yang telah diberikan. Dalam hal ini, Tuhan sebagai pihak yang memberikan "negeri yang kaya raya" melambangkan sumber daya dan karunia yang diberikan kepada umat manusia, sementara Saleh yang digambarkan sebagai individu yang malas tidak memanfaatkan pemberian tersebut dengan baik. Kritik ideologis dalam kutipan ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap peran manusia yang seharusnya bertanggung jawab atas karunia yang diterima. Dalam konteks ini, ideologi yang berkembang adalah pemahaman bahwa manusia harus aktif dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah diberikan, bukan hanya mengandalkan pujian. Kutipan ini juga mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat, yakni manusia cenderung lebih mengutamakan pengakuan atau pujian tanpa melaksanakan tanggung jawab yang sesungguhnya. Tuhan tidak membutuhkan pujian semata, melainkan menginginkan tindakan nyata dan pemanfaatan potensi yang diberikan untuk kesejahteraan umat manusia.
ADVERTISEMENT

2. Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan individu-individu yang berasal dari suatu kelompok tertentu seperti keluarga, pekerjaan, bangsa, persahabatan, kelas sosial, dan lain sebagainya. Goldmann mengelompokkan subjek kolektif ke dalam kelas sosial, sebab subjek kolektif itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan sudut pandang yang lengkap dan menyeluruh mengenai tata kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan tata kehidupan dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan melalui kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Kedua kutipan di atas menggambarkan Kakek sebagai sosok yang sederhana, taat beribadah, dan penuh pengabdian kepada masyarakat tanpa pamrih. Kakek sebagai garin surau mewakili individu yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjalankan tugas menjaga surau tidak hanya sebagai pekerjaan, tetapi sebagai bentuk pengabdian spiritual, meskipun hidupnya serba kekurangan. Tokoh Kakek mencerminkan karakter manusia yang hidup dalam lingkungan yang menjunjung nilai gotong royong, kesederhanaan, dan ketulusan. Ia tetap teguh menjalani peran kecilnya dalam masyarakat, bahkan ketika tidak diberi imbalan secara material. Tokoh kakek berperan sebagai cerminan dari sistem nilai yang mulai tergeser oleh perubahan zaman, sekaligus menjadi simbol dari generasi lama yang mempertahankan idealisme keagamaan dan sosial di tengah realitas sosial yang mulai berubah.
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas menggambarkan perubahan kondisi sosial setelah hilangnya sosok penjaga surau, yaitu Kakek. Ketika Kakek masih ada, surau memiliki makna sebagai pusat ibadah dan ketenangan. Akan tetapi setelah kepergiannya, makna itu memudar, dan surau menjadi ruang kosong yang kehilangan fungsi suci, beralih menjadi tempat bermain anak-anak dan sumber bahan bakar bagi warga. Kehilangan Kakek berarti kehilangan nilai religius dan kepedulian yang ia bawa. Dalam konteks yang lebih luas, kutipan ini mencerminkan krisis spiritual dan sosial dalam masyarakat. Surau yang rusak tidak hanya menggambarkan kerusakan fisik, tetapi juga keruntuhan nilai-nilai tradisional dan hilangnya figur teladan yang menjaga keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan di atas menggambarkan kelompok masyarakat atau individu yang merasa telah menjalankan ajaran agama, namun mengabaikan peran sosial dan tanggung jawab kemanusiaan. Hal ini mencerminkan pola pikir sebagian masyarakat yang memisahkan antara ibadah dan kenyataan sosial, seolah-olah ketaatan ibadah sudah cukup tanpa kontribusi terhadap kehidupan sosial. Kutipan tersebut menunjukkan kekecewaan terhadap balasan yang diterima di akhirat meski merasa telah taat beribadah. Ini menjadi kritik terhadap bentuk keberagamaan yang hanya bersifat simbolis, tidak diiringi tindakan nyata dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Hal ini menjadi simbol dari masyarakat yang kehilangan keseimbangan antara aspek spiritual dan sosial, serta sebagai cerminan dari krisis ideologi yang terjadi dalam masyarakat saat itu.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan subjek kolektif sebagai kelompok manusia yang merasa paling taat secara religius dengan kebanggaan terhadap hafalan kitab suci dan rutinitas ibadahnya. Subjek kolektif ini tidak berdiri sendiri, melainkan terbentuk oleh konteks sejarah dan ideologi masyarakat saat itu yang menempatkan ibadah di atas tanggung jawab sosial. Kutipan tersebut mencerminkan konflik antara keyakinan subjektif manusia terhadap amal ibadah dengan penilaian moral yang lebih luas dari sudut pandang ilahiah. Mereka merasa pantas masuk surga karena sudah menjalankan kewajiban agama, namun lupa bahwa agama juga menuntut kepedulian sosial, kerja nyata, dan kontribusi terhadap sesama. Kutipan ini menjadi sindiran terhadap bentuk keberagamaan yang terjebak dalam formalitas dan kehilangan makna kemanusiaannya, mencerminkan kegagalan kolektif dalam memahami esensi ajaran agama secara utuh.
ADVERTISEMENT

3. Pandangan Dunia

Pandangan dunia (world view) merupakan suatu pemahaman secara keseluruhan terhadap dunia dan permasalahannya. Pandangan dunia pengarang dapat pula diartikan sebagai sebuah wujud mediasi (kompromi) antara struktur masyarakat dan unsur karya sastra. Pandangan dunia pengarang hadir karena adanya kesadaran secara kolektif dari situasi dan kondisi masyarakat yang ada untuk melakukan perubahan ke lebih baik. Hal ini dibuktikan melalui kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan pesimisme terhadap kondisi masyarakat yang mengalami kemunduran nilai-nilai religius, moral, dan sosial. Kerobohan yang dimaksud tidak hanya bersifat fisik, tetapi simbolis atas rapuhnya fondasi keagamaan yang dahulu kokoh. Penulis melalui narator, menunjukkan kekhawatiran bahwa masyarakat telah menjauh dari makna sejati agama yang seharusnya membentuk kesalehan sosial, bukan sekadar ibadah ritual.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bentuk keputusasaan dan perlawanan batin seorang tokoh terhadap sistem nilai yang dianggap gagal memberi keadilan. Pandangan dunia ini mencerminkan krisis ideologi yang dialami oleh individu dalam masyarakat yang tengah mengalami keguncangan moral dan spiritual. Dalam hal ini, Kakek yang memilih bunuh diri karena mengalami konflik antara nilai-nilai agama yang dia anut selama hidupnya dan kenyataan pahit yang dia terima di akhir, seperti dikisahkan dalam cerita Ajo Sidi. Bunuh diri menjadi simbol ekstrem dari kekecewaan terhadap sistem nilai yang hanya menekankan kesalehan ritual tanpa hasil nyata dalam kehidupan sosial. Pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam kutipan ini menunjukkan bahwa keberagamaan yang tidak diiringi tanggung jawab sosial hanyalah kesia-siaan, dan dapat menghancurkan jiwa seseorang yang merasa dikhianati oleh keyakinannya sendiri. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap masyarakat yang hanya menilai agama dari aspek formal, bukan fungsional. Selain itu, pandangan dunia yang terkandung dalam cerpen adalah pandangan kritis terhadap kemunafikan religius, di mana ibadah ritual dianggap cukup tanpa kontribusi terhadap sesama. Pandangan dunia ini merupakan kritik terhadap masyarakat yang tidak memahami makna sejati agama. Tokoh Haji Saleh dan para penghuni neraka adalah simbol umat yang gagal menyelaraskan ajaran agama dengan praktik hidup bermasyarakat. Ini berbanding terbalik dengan harapan ideal, yakni agama sebagai kekuatan moral, sosial, dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan Pandangan dunia yang tercermin di sini menunjukkan bahwa pengarang menilai kesalehan seseorang tidak cukup hanya dengan ibadah pribadi, tetapi harus disertai kepedulian terhadap sesama. Kutipan ini menjadi teguran terhadap tokoh yang merasa sudah taat beribadah, namun tidak pernah memperhatikan penderitaan atau kebutuhan orang-orang di sekitarnya. Pandangan ini lahir dari kenyataan sosial-historis masyarakat yang sedang mengalami pergeseran nilai, karena agama sering kali hanya dipahami secara sempit sebagai urusan pribadi dengan Tuhan, tanpa keterlibatan dalam membangun kehidupan sosial yang adil dan peduli. Melalui kutipan ini, pengarang menunjukkan bahwa agama seharusnya tidak memisahkan diri dari realitas sosial. Pandangan dunia dalam cerpen ini mendesak masyarakat untuk merefleksikan kembali fungsi agama sebagai kekuatan etis dan sosial, bukan sekadar ritual formal.
ADVERTISEMENT

4. Struktur Karya Sastra

Terkait dengan asal karya sastra yang merupakan produk masyarakat yang memiliki struktur yang saling berkaitan dan menyatu satu sama lain. Goldmann berpendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, karya sastra adalah sebuah ekspresi pandangan dunia seorang pengarang secara imajiner. Kedua, untuk mengekspresikan pandangan dunia pengarang dalam menciptakan semesta, tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi-relasi secara imajiner. Dunia imajiner digambarkan oleh relasi tokoh dan tokoh, serta tokoh dan lingkungannya. Struktur karya sastra digali dalam bentuk relasi oposisi. Oposisi yang bisa digali dalam struktur adalah relasi tokoh dengan tokoh, serta tokoh dan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan kultural. Relasi oposisi diklasifikasi ke dalam oposisi manusia, oposisi kultural, oposisi alamiah, dan oposisi sosial. Hal ini dibuktikan melalui kutipan berikut.
ADVERTISEMENT

1) Oposisi Manusia

Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan antara manusia spiritual atau religius dengan realitas sosial-ekonomi duniawi. Tokoh Kakek menggambarkan manusia yang menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan, menjauhi kepentingan duniawi, dan tidak mencari kekayaan materi. Namun, pengabdian total tidak menjamin kesejahteraan hidup secara sosial dan ekonomi, bahkan cenderung diabaikan dan tidak dihargai oleh masyarakat. Oposisi ini menyoroti konflik antara ideal keagamaan dengan kebutuhan dunia nyata.
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan antara ketaatan spiritual dan kepedulian sosial terhadap sesama. Pada satu sisi, Haji Saleh mempercayai bahwa Tuhan tidak mungkin salah dan merasa bahwa pengabdian pribadi yang dilakukan sudah sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun ia tidak memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan kehendak tersebut. Di sisi lain, Tuhan atau pihak lain dalam narasi ini mengkritik Haji Saleh karena terlalu terfokus pada ketaatan individualnya, tanpa memedulikan atau berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakatnya yang menandakan egoisme dalam konteks sosial. Oposisi ini menggambarkan pertentangan antara agama yang bersifat pribadi dan tanggung jawab sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, tokoh Haji Saleh terperangkap dalam paradigma agama yang menekankan ketekunan dan kepatuhan terhadap Tuhan tanpa disertai dengan pengertian yang mendalam akan kewajibannya terhadap sesama.
ADVERTISEMENT

2) Oposisi Kultural

Kutipan tersebut menunjukkan pertentangan dan kebutuhan yang menyebabkan kerusakan pada budaya tersebut. Pada satu sisi, surau yang merupakan simbol dari kesucian, tempat ibadah, dan budaya spiritual masyarakat, menjadi lambang dari tradisi yang suci dan luhur. Di sisi lain, kebutuhan sehari-hari, seperti perempuan yang harus mencari kayu bakar dan merusak struktur fisik surau untuk bertahan hidup, menunjukkan perubahan dalam budaya. Keduanya menggambarkan budaya tradisional yang suci harus berhadapan dengan realitas sosial ekonomi yang mengharuskan pengorbanan dan bahkan merusak simbol kesucian tersebut. Oposisi kultural ini mengungkapkan pertentangan antara pelestarian nilai-nilai budaya dengan realitas kebutuhan hidup yang terkadang mengorbankan nilai-nilai tersebut.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan antara ketaatan spiritual yang fokus pada ibadah dan keraguan terhadap takdir Tuhan. Pada sisi pertama, terdapat pernyataan yang menggambarkan keinginan untuk mengingatkan Tuhan tentang kemungkinan kesalahan atau kelalaian dalam takdir-Nya yang mencerminkan sikap penuh keraguan terhadap keputusan Tuhan. Di sisi lain, terdapat kritik terhadap cara beribadah yang hanya mengutamakan rutinitas tanpa pemahaman mendalam atau pengorbanan, yakni beribadah dianggap lebih mudah karena tidak mengeluarkan usaha fisik atau tenaga. Ini menunjukkan pertentangan antara ketaatan ritual yang mudah dilakukan dengan kesadaran akan makna sejati dari ibadah dan pemenuhan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari agama. Oposisi struktural ini menggambarkan perbedaan antara ketaatan yang pasif atau sekadar memenuhi kewajiban agama dengan cara yang minimal, dan refleksi kritis terhadap makna hidup, takdir, dan peran seseorang dalam masyarakat yang membutuhkan lebih dari sekadar beribadah rutin.
ADVERTISEMENT

3) Oposisi Alamiah

Kutipan menggambarkan oposisi alamiah yang menunjukkan pertentangan antara keindahan alam dan kerusakan atau kehancuran yang ada dalam kehidupan sosial atau budaya masyarakat. Pada satu sisi, kolam ikan dan pancuran yang mengalirkan air memberikan gambaran keindahan alam yang teratur dan menyejukkan, yang mencerminkan ketenangan, kedamaian, dan harmoni dalam lingkungan yang mendukung kegiatan spiritual. Oposisi alamiah ini mencerminkan kontradiksi antara keindahan alam yang bersih dan teratur dengan kerusakan yang terjadi dalam kehidupan manusia, baik itu dalam struktur bangunan atau dalam kehidupan sosial masyarakat yang terabaikan. Kutipan ini menggambarkan hubungan antara alam yang memberikan kehidupan dan ketenangan, serta pergeseran nilai atau kesadaran dapat merusak kesucian dan keharmonisan yang ada di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan Tuhan menyampaikan bahwa negeri telah dikaruniai kekayaan alam, namun manusia yang tinggal di dalamnya justru malas dan tidak memanfaatkan anugerah tersebut. Ini menunjukkan kontras antara alam sebagai anugerah yang subur dan kaya, dengan manusia sebagai makhluk yang seharusnya aktif, tapi justru bersikap pasrah dan tidak berdaya. Oposisi ini mencerminkan kritik terhadap masyarakat yang terlalu bergantung pada ibadah atau nasib tanpa disertai usaha nyata untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada.

4) Oposisi Sosial

Kutipan tersebut menggambarkan Surau yang seharusnya menjadi pusat kegiatan religius, tempat ibadah dan pembinaan moral, kini tidak lagi dihormati fungsinya. Tidak ada lagi penjaga yang merawat dan menjaga kesuciannya, sehingga anak-anak bebas menggunakannya sebagai tempat bermain. Ini menunjukkan adanya kemunduran kesadaran sosial dan spiritual dalam masyarakat. Oposisi ini menggambarkan pertentangan antara nilai-nilai religius lama yang mulai ditinggalkan dan realitas sosial baru yang tidak lagi memandang surau sebagai pusat kehidupan keagamaan. Hal ini mencerminkan perubahan struktur sosial masyarakat yang kehilangan pegangan terhadap nilai tradisional dan spiritual, serta lemahnya institusi sosial yang dulunya menjaga harmoni dan kedekatan antara agama dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain dari cerita Ajo Sidi, sebagai berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan antara realitas penindasan sosial-politik dan ketidakberdayaan masyarakat yang mengalaminya. Dalam dialog antara Tuhan dan Haji Saleh ini, tampak bahwa Tuhan mempertanyakan kondisi sosial bangsa yang telah lama dijajah, sementara Haji Saleh mengakui bahwa akibat penjajahan tersebut, mereka tidak memperoleh apa pun. Oposisi ini memperlihatkan pertentangan antara kondisi sosial yang timpang akibat kolonialisme dengan sikap masyarakat yang cenderung pasif dan menyerahkan segalanya pada takdir. Cerita ini secara tidak langsung mengkritik masyarakat yang tidak berusaha memperjuangkan nasib dan martabatnya sendiri, sehingga menggambarkan konflik antara kepasrahan spiritual dengan tanggung jawab sosial yang seharusnya diemban oleh setiap individu.
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Faruk. (1999). Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goldmann, L. (2013). The Hidden God: A Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Ozon: Routledge.
Navis, AA. (1986). Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.