Konten dari Pengguna

Menelusuri Jejak Realisme Sosialis dalam Cerpen Anak Kebanggaan karya AA. Navis

Alya Nuraini
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12 Mei 2025 17:16 WIB
·
waktu baca 19 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Buku Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Robohnya Surau Kami merupakan kumpulan cerpen karya A.A. Navis dan pertama kali diterbitkan dalam majalah Kisah yang terbit di Jakarta pada tahun 1955. Kemudian, cerpen ini juga diterbitkan dalam buku antologi kumpulan cerpen A.A. Navis pada tahun 1956 oleh Penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Dalam tulisan ini, cerpen Anak Kebanggaan karya AA. Navis mengisahkan tentang Ompi, seorang ayah yang sangat mengharapkan anaknya, Indra Budiman untuk menjadi dokter dan mengangkat martabat keluarga. Ompi begitu bangga dan terobsesi dengan cita-cita anaknya tersebut sebagai simbol status sosial yang tinggi. Akan tetapi, saat Indra gagal memenuhi harapan tersebut, Ompi merasa semua pengorbanannya sia-sia, sementara Indra terperangkap dalam tekanan sosial untuk mencapai harapan yang terlalu tinggi. Cerpen ini mengkritik masyarakat sering kali menilai individu melalui profesi atau status tertentu, tanpa memperhatikan perjuangan dan pengorbanan yang terjadi dalam proses tersebut. Kegagalan Indra menjadi simbol dari harapan yang tidak realistis yang menjadi beban emosional baik bagi individu maupun keluarga, mencerminkan kontradiksi antara impian sosial dan kenyataan hidup.
ADVERTISEMENT
Realitas sosial merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang benar-benar terjadi. Realitas sosial menyuguhkan secara langsung kejadian yang dialami dalam kehidupan nyata. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa realitas sosial adalah hal yang berkaitan dengan segala kegiatan manusia yang disuguhkan secara nyata dalam kehidupan. Pandangan Georg Lukacs mengenai realisme sosial berawal pada pandangan Marx. Lukacs mendukung pemikiran Marx. Georg Lukacs menggambarkan bahwa realitas sosial di sekitar para sastrawan atau seniman realis terbentuk oleh “budaya” politik sezaman. Boleh dikatakan bahwa Lukacs ingin menjelaskan bahwa karya realis adalah gambaran pergulatan manusia yang ingin membebaskan diri dari penderitaan akibat suatu sistem kekuasaan.
Realisme sosialis Georg Lukacs berawal dari pandangan Marx. Teori realisme sosialis Georg Lukacs sangat berkaitan dengan teori marxisme Marx. Lukacs mendukung pendapat Marx. Georg Lukacs menjelaskan bahwa jika suatu kelas ingin memahami masyarakat maka kelas tersebut harus memandang masyarakat sebagai keseluruhan. Georg Lukacs memandang bahwa realisme adalah teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektis antara seniman dengan lingkungan sosialnya. Pada saat mencipta dia bermediasi dengan objek-objek di sekitarnya. Seniman tidak hanya digerakkan oleh lingkungannya, tapi ia sekaligus menggerakkan lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Georg Lukacs menjelaskan bahwa karya realis adalah gambaran pergulatan manusia yang ingin membebaskan diri dari penderitaan akibat suatu sistem kekuasaan. Georg Lukacs menjelaskan bahwa konsep sastra sebagai “Refleksi” dari sistem yang terbuka. Karya sastra realis harus membukakan pola pokok kontradiksi dalam suatu tatanan sosial. “Refleksi” merupakan ciri khusus karya sastra. Terdapat kaitan yang kuat antara seorang seniman dengan lingkungan masyarakat. Penulis menjadikan masyarakat sebagai objek dalam menciptakan karya sastra. Realisme sosialis Georg Lukacs memiliki konsep-konsep di antaranya, realitas objektif, gerak dialektis, refleksi artistik, dan ungkapan kritis emansipatoris.
Tulisan ini akan menganalisis cerpen Anak Kebanggaan karya AA. Navis melalui Sosiologi Sastra, pendekatan Realisme Sosialis Georg Lukacs. Selamat membaca!
ADVERTISEMENT

1. Realitas Objektif

Gagasan Lukacs berkembang dari pemahaman mengenai hubungan antara esensi dan tampakkannya atau realitas objektif. Lukacs mengasumsikan bahwa manusia yang terhisap kesadarannya melalui kepalsuan sesungguhnya memiliki potensi dalam membebaskan diri. Perhatian seorang realis terpusat pada penghadiran secara tepat gambaran kesempurnaan dan keutuhan dalam kehidupan bersama. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut ini.
Kutipan tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat kolonial pada masa itu, yakni posisi sebagai pegawai pemerintah, khususnya di kantor Residen (pemerintah kolonial Belanda), memberikan peluang bagi individu untuk mengumpulkan kekayaan dan memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Hal ini mencerminkan struktur sosial ekonomi yang nyata di tengah masyarakat, bahwa akses terhadap kekuasaan atau kedekatan dengan sistem pemerintahan kolonial menjadi jalan mobilitas sosial dan ekonomi yang menjadi kenyataan sosial dialami oleh masyarakat kelas menengah bumiputra yang berhasil “naik kelas” berkat bekerja di bawah sistem kolonial.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan kondisi nyata yang sering ditemukan dalam masyarakat, yaitu seorang ayah yang kehilangan istri menumpahkan seluruh kasih sayang, perhatian, dan harapannya kepada anak tunggalnya. Hal ini menggambarkan Ompi sebagai ayah, mengalihkan seluruh pusat hidupnya kepada sang anak setelah ditinggal istri yang kemudian membentuk pola relasi yang tidak seimbang. Ini menunjukkan kenyataan sosial bahwa keluarga, khususnya ayah, sering kali menempatkan anak sebagai proyek harapan masa depan, terutama dalam masyarakat patriarkal. Sikap Ompi bukanlah gambaran individual semata, melainkan gambaran dari struktur sosial dan budaya yang memberi tekanan besar pada peran anak dalam mempertahankan kehormatan dan kebanggaan keluarga.
ADVERTISEMENT
Kutipan menggambarkan tokoh Ompi sebagai seorang ayah dari kelas masyarakat menengah ke atas yang tengah menggantungkan harapan pada pendidikan anaknya, Indra Budiman sebagai ambisi sosial menuju perubahan status sosial yang lebih tinggi dan menjadi kebanggaan di mata masyarakat. Harapan Ompi terhadap masa depan anaknya merupakan cerminan dari pandangan sosial masyarakat yang melihat pendidikan dan kesuksesan di kota besar seperti Jakarta sebagai alat mobilitas sosial. Pernyataan ini memperlihatkan sistem sosial memengaruhi cara berpikir dan harapan individu, serta menggambarkan kondisi nyata masyarakat yang percaya bahwa keberhasilan anak adalah jalan menuju pengakuan dan kelas sosial.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial Ompi yang terikat pada norma-norma dan pandangan masyarakat pada saat itu, khususnya tentang harga diri dan status sosial. Keputusan Ompi untuk mengirimkan uang lebih banyak tanpa memikirkan akibatnya, menunjukkan bahwa ia berada dalam tekanan sosial untuk menjaga nama baik keluarganya. Dalam hal ini, Ompi terjebak dalam realitas sosial yang mengharuskan seseorang untuk mempertahankan prestise dan status melalui materi, sehingga ia merasa harus membuktikan kemampuan finansialnya sebagai bentuk pembelaan terhadap citra anaknya. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat kelas menengah ke atas pada masa itu, di mana uang sering kali digunakan untuk mempertahankan status dan menanggapi pergunjingan sosial yang merugikan reputasi keluarga. Keputusan Ompi ini juga mencerminkan gerak dialektis dalam masyarakat, yakni interaksi sosial dan pengaruh lingkungan menentukan tindakan individu, meskipun terkadang tidak rasional atau bertentangan dengan kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan realitas kehidupan kelas menengah ke atas yang terperangkap dalam norma-norma sosial dan tekanan masyarakat. Ompi mengaitkan pergunjingan orang-orang dengan kecemburuan sosial terhadap kehidupan anaknya yang dianggap lebih sukses dan “mentereng”. Dalam pandangan Ompi, kritik dan fitnah yang diterima anaknya bukanlah hal yang objektif atau rasional, melainkan dampak dari perasaan iri hati dari orang lain yang melihat kesuksesan dan status sosial anaknya. Hal ini mencerminkan ketidakadilan sosial yang sering kali terjadi dalam masyarakat yang terfokus pada pencapaian materi dan prestise, yakni reputasi sering kali dipertaruhkan demi menjaga martabat keluarga. Realitas objektif ini menunjukkan struktur sosial dan peran individu dalam masyarakat kelas menengah atas berhubungan erat dengan cara pandang orang lain, serta dampak sosial yang timbul dari perbedaan status dan posisi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Ompi tidak menyadari kenyataan atad cita-citanya yang tinggi untuk melihat kesuksesan anaknya akan berakhir sebagai impian yang tak terwujud. Ompi terus berusaha mengejar tujuannya meskipun kenyataan menunjukkan adanya kesenjangan antara harapannya dan kenyataan yang dihadapinya. Ketidaksabaran Ompi mencerminkan pertentangan emosional yang muncul karena lambatnya perubahan yang ia harapkan. Akan tetapi, hal yang menjadi sorotan dalam kutipan ini yaitu masyarakat sekitar sudah menyadari bahwa cita-citanya akan tetap menjadi mimpi semata. Mereka melihat dengan jelas meskipun Ompi berusaha keras, kenyataan sosial membatasi kemampuannya untuk mewujudkan impian tersebut. Hal ini menyoroti ketidakmampuan individu untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial serta kondisi individu terjebak dalam sistem yang menghambat perubahan meskipun ada usaha.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh Ompi yang menggantungkan harapan besar pada surat dari anaknya, Indra Budiman sebagai bentuk pengakuan atas perjuangannya. Surat menjadi satu-satunya hal yang dapat menguatkan eksistensi yang sudah berlarut-larut. Akan tetapi, kenyataan yang diterima Ompi sangat berbeda. Ketika surat yang ditunggu-tunggu datang, justru berisi surat-surat yang dikembalikan, hal ini menandakan bahwa harapannya terkubur dan cita-citanya yang selama ini dia usahakan hanya berakhir dalam kegagalan. Realitas objektif ini mencerminkan kondisi sosial dan emosional Ompi, yakni segala harapannya ternyata bertabrakan dengan kenyataan yang lebih keras, yaitu kenyataan ketidakpedulian dan kekecewaan. Masyarakat sekitar juga mengetahui bahwa Ompi tidak akan bisa mencapai tujuan hidupnya, meskipun ia terus berharap. Hal ini menunjukkan ketimpangan antara harapan pribadi dan realitas sosial yang sulit diubah oleh individu, terutama karena adanya faktor-faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan, seperti pertentangan antara kelas sosial dan hubungan antara orang tua dan anak dalam konteks ekonomi dan sosial yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh Ompi yang menghadapi kenyataan pahit bahwa usahanya untuk mencapai cita-cita dan harapan anaknya sudah mencapai titik akhir yang mempengaruhi kondisi fisik dan mentalnya. Kehadiran dokter yang seharusnya memberikan harapan justru semakin memperburuk keadaan Ompi, karena kenyataan yang dihadapi oleh Ompi adalah kondisi yang tak dapat diubah lagi, kehidupan dan harapannya yang hancur. Hal ini menunjukkan Ompi berada pada titik keputusasaan, yakni tidak ada lagi yang dapat memperbaiki keadaan tersebut, baik dari sisi medis maupun emosional. Ketika orang di sekitarnya menyadari bahwa Ompi tidak memiliki harapan hidup lebih lama, ini mencerminkan kesadaran akan keterbatasan individu dalam menghadapi sistem sosial dan keadaan yang lebih besar yang sudah melampaui kapasitasnya. Hal ini mencerminkan faktor-faktor sosial dan ekonomi yang tidak dapat dikendalikan individu, seperti status sosial, hubungan keluarga, dan pertentangan dalam masyarakat dapat menentukan takdir dan kondisi hidup seseorang, bahkan hingga pada titik keputusasaan.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan secara konkret kondisi fisik dan psikis Ompi yang telah rapuh, namun tetap dipaksa oleh kenyataan hidup untuk menyaksikan sendiri kabar tragis mengenai anaknya. Kondisi tubuh Ompi yang lumpuh dan kisut mencerminkan penderitaan berlapis. Secara biologis ia melemah, secara batin ia remuk oleh kekecewaan dan kehilangan. Hal ini menunjukkan sistem sosial dan struktur harapan dalam masyarakat juga menghancurkan secara personal. Ketika realitas tidak berpihak, bahkan tubuh yang seharusnya beristirahat dalam kelemahan pun dipaksa bergerak oleh dorongan emosi yang tak terbendung. Hal ini menegaskan bahwa realitas objektif hadir sebagai hasil dari tekanan batin dan struktur masyarakat yang tidak berpihak pada orang-orang seperti Ompi.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan kenyataan tragis yang tak terbantahkan, yaitu kematian Indra Budiman, anak yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan kebanggaan Ompi. Harapan yang dibangun Ompi secara perlahan meski penuh ilusi, akhirnya runtuh sepenuhnya oleh kabar duka ini. Kehadiran Pak Pos dengan surat berisi berita kematian menjadi simbol dari realitas sosial yang keras dan tak dapat dikendalikan oleh keinginan subjektif seorang ayah. Peristiwa ini memperlihatkan kenyataan pahit bahwa dalam sistem sosial yang sarat tekanan dan ketimpangan, individu seperti Ompi hanya bisa pasrah menerima takdir yang jauh dari impian mereka. Realitas objektif di sini menyoroti keretakan antara harapan pribadi dengan kenyataan sosial yang lebih luas, yang mencerminkan kondisi tragis kehidupan masyarakat kelas bawah dan keterbatasan mereka dalam meraih perubahan nyata dalam hidup.
ADVERTISEMENT

2. Realitas Dialektis

Seni bagi Lukacs memang mimesis, tapi bukan sekadar tiruan. Gagasan yang sama untuk menjelaskan ide mimesis adalah gagasan Lukacs tentang gerak dialektis yang mempersatukan antara individu dan universal, antara yang umum dan yang partikal. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut ini.
“Mula-mula si anak dinamainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarnya nama Edward jadi Ismail... Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman.” (halaman 15&16)
ADVERTISEMENT
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan konflik dan pertentangan dalam kesadaran sosial individu yang bergerak secara dinamis. Dalam hal ini, terjadi benturan antara keinginan Ompi sebagai orang tua dengan kehendak anaknya sendiri dalam memilih identitas. Ompi sebagai perwakilan generasi lama dan kelas sosial yang masih terikat pada simbol kehormatan dan status, memberi nama anaknya dengan harapan mencerminkan kebanggaan sosial, mulai dari Edward, lalu Ismail, hingga akhirnya Indra Budiman menjadi nama yang dianggap memiliki makna luhur dan kebangsaan. Akan tetapi, sang anak memilih nama “Eddy” yang berbau Barat dan lebih modern, mencerminkan pengaruh globalisasi dan individualisme. Ompi merasa jengkel, karena nama tersebut tak sesuai dengan nilai dan harapannya. Dialektika antara idealisme Ompi dan realitas pilihan anaknya menunjukkan pertarungan nilai antara generasi lama dan baru, serta dinamika identitas dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh Ompi yang memimpikan anaknya menjadi seorang dokter sebagai profesi terhormat yang dianggap dapat membawa kehormatan, pengakuan sosial, dan kebanggaan keluarga. Ia percaya bahwa dengan menjadi dokter, anaknya akan dihormati dan dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, harapan ini bertolak belakang dengan kenyataan yang dilihat dan disadari oleh masyarakat sekitar, bahwa cita-cita tersebut hanyalah mimpi kosong. Di sini terjadi kontradiksi antara kesadaran individual yakni keinginan Ompi dengan kondisi objektif sosial atau fakta bahwa anaknya tidak memenuhi harapan tersebut. Dialektika ini memperlihatkan ideologi personal yang dibentuk oleh sistem nilai lama berhadapan langsung dengan kenyataan sosial yang berubah atau bahkan gagal memenuhi impian tersebut. Pertentangan ini mencerminkan dinamika kehidupan dalam masyarakat kelas, bahwa impian dan kenyataan sering kali saling berbenturan, serta menjadi kritik terhadap sistem sosial yang tidak memberi ruang cukup bagi individu seperti Ompi untuk mewujudkan harapannya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Ompi tetap bertahan pada keyakinan dan kebanggaannya terhadap anaknya Indra Budiman, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa anak tersebut telah mengecewakan dan tidak memenuhi ekspektasi masyarakat maupun harapan sang ayah. Sementara masyarakat telah menyadari kegagalan Indra, mereka justru memilih diam dan berpura-pura memuji karena merasa iba terhadap Ompi. Ini menciptakan benturan antara ilusi Ompi dengan kenyataan yang ditutupi oleh rasa belas kasihan lingkungan sosial. Ketegangan antara objektivitas Ompi yang terus mengidealkan anaknya dan objektivitas sosial yang menutup-nutupi kebenaran untuk menjaga perasaan, menandai proses dialektis yang memperlihatkan kompleksitas konflik kelas, harga diri, dan relasi sosial. Pertentangan ini juga menyiratkan kritik terhadap masyarakat yang enggan menyuarakan kebenaran demi menjaga keharmonisan palsu, serta individu yang menolak menerima kenyataan karena terjebak dalam kebanggaan semu.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan Ompi yang terus-menerus mengirim surat dan menunggu balasan dari anaknya Indra Budiman, menunjukkan rasa optimis yang terus dipelihara, meskipun realitas tidak pernah memberi hasil. Harapan yang dibangun melalui surat menyurat itu bertolak belakang dengan kenyataan yang menunjukkan kuterputusan hubungan emosional dan komunikasi antara ayah dan anak. Kejatuhan Ompi hingga lumpuh secara fisik memperkuat gambaran penderitaan dan ketidakberdayaan akibat konflik batin yang berkepanjangan. Pemasangan kaca untuk memantau kedatangan Pak Pos menjadi simbol usaha terakhir Ompi mempertahankan harapan dalam kondisi yang penuh ketidakpastian. Ini menunjukkan pertentangan yang terjadi dalam diri Ompi antara keinginan untuk tetap percaya pada kasih sayang anaknya dan kenyataan pahit bahwa ia telah ditinggalkan secara emosional. Pertentangan ini menjadi gambaran nyata dari proses dialektis yang memperlihatkan struktur sosial dan relasi antar individu dapat membentuk penderitaan psikologis, terutama dalam masyarakat yang masih mementingkan status dan kebanggaan keluarga.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan konflik batin dan pertentangan nilai-nilai yang dialami oleh tokoh “aku” sebagai narator. Tokoh ini berada dalam dilema moral, di satu sisi, ia ingin menjaga harapan dan semangat hidup Ompi yang terus menanti kabar dari anaknya, tetapi di sisi lain ia sadar bahwa kenyataan tidak seindah yang bisa diciptakan lewat surat-surat rekayasa. Keraguannya untuk menulis surat palsu mencerminkan benturan antara kenyataan pahit, yakni anak yang tidak peduli dan keinginan untuk melindungi perasaan orang tua yang telah lumpuh dan putus asa. Perjuangan batin ini menegaskan bahwa individu dalam masyarakat tidak hanya berjuang dengan kondisi luar, tetapi juga dengan konflik internal yang lahir dari situasi sosial dan hubungan personal yang timpang.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan konflik batin tokoh narator yang dihadapkan pada kenyataan pahit dan keinginan melindungi perasaan Ompi. Narator ingin mengubah isi telegram demi menghindarkan Ompi dari kebenaran yang menyakitkan, yaitu kematian anak yang selama ini dibanggakan dan ditunggu-tunggunya. Di sisi lain, narator menyadari bahwa kenyataan tidak dapat dihindari dan pada akhirnya membiarkan takdir berjalan sebagaimana mestinya. Pertentangan antara kenyataan objektif dan hasrat untuk menjaga harapan palsu memperlihatkan dinamika konflik batin yang mencerminkan dialektika sosial dan psikologis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menggambarkan individu yang berjuang antara kepedulian sosial dan tekanan emosional yang dalam realisme sosialis bertujuan untuk mengungkap kedalaman kehidupan manusia secara menyeluruh dan historis.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan intensitas batin tokoh dalam menghadapi situasi tragis, yakni kehilangan harapan dan menghadapi penderitaan orang yang dicintai. Harapan akan “sebuah keajaiban dari Tuhan” adalah bentuk perlawanan batin terhadap kenyataan yang sudah tidak mungkin diubah. Dialektika terlihat dalam benturan antara harapan spiritual dan kenyataan sosial yang pahit, yakni tokoh menyadari ketidakberdayaan dalam menghadapi tragedi, namun tetap mengharapkan solusi dari luar nalar manusia. Hal ini menegaskan realisme sosialis menyoroti pertentangan internal dalam individu sebagai cerminan konflik sosial yang lebih luas.
ADVERTISEMENT

3. Refleksi Artistik

Istilah refleksi digunakan untuk menjelaskan kemampuan seni dalam menggambarkan realitas. Sedangkan istilah artistik digunakan sebagai kriteria seni yang menampilkan gambaran realitas yang detail dan utuh. Refleksi artistik merupakan ekspresi seni yang mampu mengungkapkan kepalsuan yang nampak di permukaan dan memberikan gambaran tentang kebenaran. Kemampuan refleksi seni realisme menurut Lukacs terletak pada kemampuan menghadirkan realitas yang dialami kembali dengan makna-makna baru. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan proses simbolik perubahan identitas Ismail menjadi Indra Budiman, sebuah nama yang sarat harapan, kebanggaan, dan mimpi sosial. Refleksi ini tidak hanya mencerminkan kenyataan sosiokultural, yakni masyarakat terobsesi pada gelar, status, dan citra sosial, tetapi juga mengandung ironi yang tajam. Nama Indra Budiman bukan sekadar pergantian nama, tetapi representasi dari harapan kelas sosial untuk bisa naik derajat melalui pendidikan anaknya. Pemilihan waktu kenduri “menurut kepercayaan orang tua-tua” dan “bulan mengambang naik” juga mencerminkan usaha membungkus kehendak sosial dengan nuansa mistis dan simbolik. Dalam hal ini, nama Indra Budiman menjadi lambang konstruksi sosial yang dibangun di atas impian dan imajinasi kelas, tetapi justru pada akhirnya menjadi sumber kehampaan dan kehancuran, sebagaimana diungkap di bagian akhir cerpen. Kutipan ini mewakili refleksi artistik karena menggabungkan kritik sosial dengan simbolisme yang kuat, menjadikannya bukan hanya narasi, melainkan representasi dari impian yang membelenggu.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan harapan dan cita-cita Ompi terhadap anaknya, Indra Budiman menjadi sebuah bentuk perwujudan impian untuk keluar dari keterbatasan sosial. Harapan Ompi agar anaknya menjadi dokter atau insinyur menandakan bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki kehidupan dan mencapai kesejahteraan. Pendidikan menjadi simbol dari kemajuan dan kesempatan untuk memperbaiki kondisi sosial yang tertinggal. Ungkapan Ompi yang menyatakan bahwa si mati akan bisa tertolong jika Indra sudah menjadi dokter, dan bahwa rumah-rumah orang masih kuno karena kurangnya kemampuan untuk membangun yang lebih modern, menggambarkan konflik batin antara harapan akan perubahan dan kenyataan pahit yang tidak dapat mengubah situasi tersebut. Impian sering kali berbenturan dengan realitas objektif yang menghalangi pencapaian itu, menciptakan gambaran keputusasaan.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan konflik sosial dan pemahaman tokoh Ompi terhadap perbedaan antara pendidikan formal dan pendidikan tinggi dalam masyarakat. Ompi dalam pandangannya, menganggap bahwa hanya kuliah yang dapat memberikan pengakuan dan status sosial yang lebih tinggi, sementara sekolah hanya dianggap sebagai langkah awal yang kurang berharga. Hal ini menunjukkan nilai sosial dan harapan untuk mendapatkan penghargaan lebih besar ditentukan oleh pendidikan tinggi yang lebih diakui masyarakat, sementara pendidikan dasar dianggap tidak cukup untuk mengubah nasib atau meraih cita-cita besar. Ompi juga menekankan perbedaan antara “menghafal” di sekolah dan “mempelajari” hal-hal yang lebih mendalam di kuliah yang menunjukkan pandangannya yang lebih mengutamakan pengetahuan teoritis daripada keterampilan praktis. Hal ini menggambarkan perbedaan sosial dan kelas memengaruhi pemahaman terhadap pendidikan dan status yang dapat dicapai melalui pendidikan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan ambisi dan kesombongan tokoh Ompi yang berhubungan dengan harapan sosial terhadap anaknya, Indra Budiman. Dalam kutipan ini, Ompi mengekspresikan keangkuhan dan kebanggaan berlebihan terhadap masa depan anaknya yang diharapkan menjadi seorang dokter. Pernyataan ini mencerminkan status sosial yang tinggi melalui pendidikan dan profesi bergengsi, seperti dokter dapat memberikan penghargaan sosial dan menjadikan seseorang merasa lebih unggul. Ompi tidak hanya menempatkan pendidikan tinggi sebagai tujuan hidup yang harus dicapai, tetapi juga sebagai alat untuk menunjukkan superioritas dan memperkuat status sosial di mata orang lain. Hal ini menggambarkan konflik sosial dalam masyarakat, status ekonomi dan sosial ditentukan oleh kedudukan profesi, serta menggambarkan nilai sosial di masyarakat dapat memengaruhi pandangan seseorang terhadap keluarga dan masa depan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan ironi dan kritik sosial terhadap sikap tokoh Ompi dalam menghadapi kenyataan hidup. Dalam kutipan ini, Ompi rela melakukan segala cara, termasuk manipulasi dan kebohongan, demi membuktikan bahwa anaknya, Indra Budiman, memiliki kehidupan yang hebat di perantauan. Ia mengirimkan foto gadis tanpa memperhatikan kebenaran identitas gadis tersebut, hal ini menunjukkan bahwa yang terpenting baginya adalah pencitraan dan kebanggaan semu. Refleksi ini menggambarkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat dapat mendorong seseorang untuk mengabaikan kebenaran demi menjaga harga diri dan citra di mata orang lain. Tindakan Ompi yang tidak memedulikan apakah gadis dalam foto itu sudah menikah, bertunangan, atau bahkan meninggal, mencerminkan betapa ia sudah terjebak dalam kebanggaan palsu terhadap anaknya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan harapannya.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan suasana tragis dan penuh keprihatinan terhadap kondisi Indra Budiman, anak yang sebelumnya begitu dibanggakan oleh Ompi. Dalam penggambaran fisik Indra yang tubuhnya semakin kurus dan matanya yang semakin redup, menyampaikan kenyataan pahit bahwa harapan besar yang dibebankan kepadanya tidak sejalan dengan kondisi yang ia alami. Pandangan matanya yang kosong ke arah langit-langit mencerminkan perasaan putus asa, kehilangan semangat hidup, dan tekanan batin yang mendalam. Secara reflektif, penggambaran ini menunjukkan realitas sosial tentang generasi muda yang dijadikan simbol harapan oleh keluarga, namun pada kenyataannya harus menanggung beban psikologis dan sosial yang berat.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan betapa besarnya harapan dan impian yang telah ia gantungkan kepada anaknya, Indra Budiman. Ungkapan “takkan sanggup aku mendengarnya” dan “akan mati lemas oleh kebahagiaan” menggambarkan ledakan kebahagiaan yang sebenarnya didasari oleh khayalan dan ekspektasi yang terlalu tinggi. Ompi memegang erat telegram, mencium, dan mendekapnya seolah-olah surat itu adalah perwujudan nyata dari keberhasilan dan kebanggaan yang selama ini ia impikan. Akan tetapi, di balik tindakan itu tergambar ironi dan kepedihan. Refleksi ini menunjukkan masyarakat bisa terjebak dalam pencitraan dan ilusi keberhasilan yang didorong oleh kebutuhan akan pengakuan sosial. Ketika kenyataan tak sesuai harapan, reaksi emosional yang berlebihan ini menjadi bentuk pelarian dari realitas hidup yang sebenarnya. Kutipan ini mengkritik sistem nilai masyarakat yang terlalu mendewakan pencapaian formal dan mengabaikan kondisi nyata dari individu yang dijadikan simbol kebanggaan itu.
ADVERTISEMENT

4. Ungkapan Kritis Emansipatoris

Dimensi kritis emansipatori dalam realisme menunjukkan gerak manusia dalam membebaskan diri dari kungkungan yang membuatnya kerdil. Realis sejati akan mengambil permasalahan secara totalitas dan memiliki peran dalam membuat sebuah karya seni. Lukacs berpandangan bahwa karya sastra harus mampu memberikan ungkapan yang kritis sebagai upaya pembebasan diri dan mendapatkan hak antar manusia. Karya sastra harus mampu menjadi media dalam proses pembebasan diri manusia dari segara penindasan dan keterpurukan. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan kritik terhadap keyakinan tradisional yang masih dipercaya sebagian masyarakat, bahwa keberhasilan atau keberuntungan dapat dicapai melalui ritual seperti kenduri. Dalam kutipan tersebut, tersirat kesadaran bahwa perubahan sosial atau kemajuan tidak bergantung pada doa dan upacara semata, melainkan pada faktor-faktor struktural seperti kondisi sosial, ekonomi, dan sejarah yang membentuk masa dan keadaan seseorang. Perubahan hanya mungkin terjadi melalui kesadaran dan tindakan aktif dalam merespons realitas, bukan melalui harapan pasif pada kekuatan supranatural. Hal ini mendorong pembebasan individu dan masyarakat dari belenggu tradisi atau sistem sosial yang tidak adil melalui kesadaran akan kondisi objektif dan perlunya perjuangan.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan kritik terhadap cara pandang dan perilaku tokoh Indra Budiman yang telah mengalami perubahan nilai setelah berada di kota. Hal ini menunjukkan bahwa hidup yang dianggap berhasil secara materi tidak selalu mencerminkan keberhasilan moral, dan masyarakat tetap menjadi cermin atas perilaku seseorang.
ADVERTISEMENT
Kutipan menggambarkan kritik terhadap relasi sosial yang timpang dan ketidakjujuran dalam keluarga sebagai representasi dari krisis nilai dalam masyarakat. Kutipan ini mencerminkan krisis sosial dan tekanan hidup menyebabkan terjadinya pembalikan peran dan nilai dalam keluarga. Ayah yang seharusnya menjadi panutan moral justru terjebak dalam kepura-puraan demi membahagiakan diri sendiri atau mempertahankan harga diri di tengah masyarakat. Sementara anak yang dulu dikenal suka berbohong, kini justru mempercayai kebohongan yang dibangun oleh ayahnya. Kutipan ini menyampaikan kritik terhadap masyarakat yang menuntut pencapaian dan status, tanpa memedulikan proses yang dijalani, hingga akhirnya mendorong individu untuk menghalalkan kebohongan demi memenuhi harapan semu. Hal ini menjadi ajakan untuk menyadari kondisi sosial yang menindas dan membentuk perilaku menyimpang, serta pentingnya membangun kembali nilai kejujuran dan kesadaran kelas sebagai langkah menuju perubahan yang lebih adil.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan potret penderitaan manusia akibat retaknya hubungan sosial dan kemanusiaan yang dibentuk oleh tekanan sosial serta perubahan nilai dalam masyarakat. Kembalinya semua surat tanpa balasan memperlihatkan keterputusan emosional yang tajam, sekaligus menyiratkan ketidakpedulian anak terhadap orang tua yang selama ini berkorban demi masa depannya. Ini adalah bentuk kegagalan hubungan timbal balik dalam keluarga, yang disebabkan oleh pergeseran nilai sosial yang lebih menekankan pada keberhasilan materi dan status, daripada kasih sayang dan tanggung jawab moral.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut pertentangan antara harapan dan realitas dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam kutipan tersebut, tokoh berusaha memberi semangat kepada orang yang sedang terluka, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa harapan tersebut mungkin hanya ilusi yang memperburuk keadaan. Hal ini menunjukkan adanya pengorbanan emosional yang dilakukan oleh tokoh demi menjaga keseimbangan harapan dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Kutipan “bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya” oleh dokter menunjukkan bahwa sebuah harapan bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi penderitaan, meskipun pada saat yang sama, harapan itu juga bisa menjadi sumber penderitaan lebih dalam. Ini mencerminkan kontradiksi yang muncul antara keinginan untuk memberi semangat dan kesadaran akan ketidakpastian yang ada di sekitar mereka.
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Karyanto, Ibe. (1997). Realisme Sosialis Georg Lukacs. Jakarta: PT Gramedia Utama.
Navis, AA. (1986). Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.