Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Mengoptimalkan IQ, EQ, dan SQ dalam Psikologi Pendidikan
16 Oktober 2024 9:08 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 23 Oktober 2024 15:21 WIB
Tulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pendidikan, perkembangan anak tidak hanya diukur berdasarkan kemampuan kognitif yang tercermin melalui IQ (Intelligence Quotient) saja. Meskipun IQ sering dianggap sebagai penanda kecerdasan intelektual dan kemampuan berpikir logis, EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam membentuk individu yang utuh. Dalam konteks pendidikan, ketiga jenis kecerdasan ini saling berhubungan dan membentuk landasan yang kokoh untuk perkembangan anak secara menyeluruh. Memahami keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ akan membantu pendidik dalam menyusun kurikulum yang tidak hanya menitikberatkan pada kecerdasan intelektual, tetapi juga mengembangkan kemampuan emosional dan spiritual, sehingga anak-anak dapat berkembang menjadi individu yang cerdas secara akademis, emosional, dan spiritual.
ADVERTISEMENT
Kinerja Otak dan Fungsi Saraf dalam Perkembangan IQ (Intelligence Quotient) Anak
Aset yang paling utama dalam pertumbuhan otak atau kecerdasan IQ, yaitu pada saat seorang anak dalam usia pranatal atau dalam masa pertumbuhan di usia 0-2 tahun. Pada masa ini, anak mengalami kemajuan yang begitu pesat, yakni dengan persentase sebesar 80%. Tentunya, angka IQ tersebut dipengaruhi oleh percepatan anak tersebut, termasuk menyikapi aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi. Jika ditekankan pada aliran konvergensi, maka antara gen dan lingkungan yang terdiri dari sangat berpengaruh bagi seorang anak untuk membentuk pribadi. Pemahaman IQ terhadap teori Alfred Binet lebih memiliki kecenderungan atas kemampuan dan kecerdasan seseorang untuk beradaptasi, problem solving atau kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah dengan analisis, dsb., akan ditentukan melalui seberapa tinggi tingkatan IQ orang tersebut. Dalam IQ terdapat kinerja otak dari sel-sel saraf otak yang memiliki berbagai macam fungsi dan saling berkontribusi.
ADVERTISEMENT
Terdapat suatu pertanyaan, ‘apakah seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual dan emosional yang tinggi dapat dikatakan sebagai orang yang pintar?’ Jawabannya adalah tidak selalu. Sebab, orang yang memiliki IQ standar, memungkinkan orang tersebut mampu pada kecerdasan itu. Terkadang, seseorang yang mempunyai tingkat kecerdasan di atas standar belum tentu dapat mengontrol emosi dengan baik, bahkan belum tentu dapat mengatur SQ dengan baik. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran dan berbagai aktivitas upayakan selalu melibatkan Tuhan. Kalau seseorang sudah mencapai aktualisasi diri, maka orang tersebut mampu mengatur diri sendiri.
Perlu diketahui bahwa anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, misalnya dalam kurun angka 30-69 dapat dikategorikan sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar atau dapat dikategorikan sebagai anak yang berkebutuhan khusus. Jadi, kebutuhan khusus tidak selalu identik pada anak yang mengalami kecacatan atau bahkan autis, karena anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki kriteria tersendiri. Jika seorang anak tidak memenuhi standar IQ yang telah ditetapkan, maka seorang anak tersebut dapat dikategorikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Seseorang yang memiliki IQ tinggi sering kali diidentikkan pada kecenderungan tingkat kesuksesan yang lebih mudah dan lebih tinggi untuk diraih, dibandingkan pada diri individu yang memiliki IQ pada tingkat rata-rata atau di bawah rata-rata, namun hal ini hanya merupakan stereotip semata.
ADVERTISEMENT
Intelligence Quotient (IQ) sebagai Instrumen Psikologi dalam Keteraturan dan Konsistensi
Terdapat suatu pertanyaan tentang ‘bagaimana kurikulum di bentuk dalam sebuah lembaga pendidikan?' Di Indonesia, penerapan tentang kurikulum berbasis IQ, EQ, dan SQ, saat ini masih jarang ditemukan, kecuali para pengajar seperti guru dan dosen yang memiliki kesadaran tersendiri untuk mengombinasi, menyisipkan, atau menjadikan landasan dalam pembelajaran yang hanya mengedepankan IQ, EQ, dan SQ. Berkaitan dengan teori kognitif, hal yang menjadi tolak ukur seseorang adalah tentang pengalaman dalam kemudahan atau kesulitan dalam belajar, atau bahkan seseorang mengalami kecepatan di dalam belajar. Sejalan dengan ini, maka hal tersebut ditentukan oleh kemampuan berpikir seseorang terhadap stimulus atau terhadap informasi yang didapatkan. Menurut Piaget, kemampuan IQ dalam menerapkan kapasitas untuk mencerna pengetahuan, berpikir, dan mengelola ditentukan dari usia yang berproses.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula pertanyaan lain, ‘mengapa IQ bisa muncul?’ Hal ini dapat diketahui bahwa IQ melibatkan instrumen psikologi yang dapat diketahui dengan menarik benang merah. Dalam teori Alfred Binet, pemahaman terhadap IQ terkait kecerdasan seseorang, yaitu kemampuan seseorang dalam beradaptasi, kemampuan seseorang dalam problem solving, kemampuan seseorang dalam menganalisis ditentukan dari seberapa besar jumlah IQ yang dimiliki. Muncul sebuah pertanyaan ‘mengapa IQ dapat diukur?’ IQ dapat terukur karena melibatkan adanya instrumen psikologi yang dapat diteliti atau diriset, sehingga memudahkan seseorang untuk menyimpulkan.
Di dalam IQ terdapat sistem yang baku, contohnya terdapat salah seorang yang melakukan test IQ pada saat duduk di bangku sekolah dasar, kemudian anak tersebut mengecek secara berulang hingga duduk di bangku perkuliahan, maka pengecekan berulang yang dilakukan tidak mengalami perubahan yang drastis atau tidak membuahkan hasil yang signifikan, walaupun sudah dicoba berulang kali hasil dari pengecekan IQ pasti tidak jauh berbeda dari hasil sebelumnya. Alfred Binet telah melakukan penelitian bahwa IQ memiliki kondisi keteraturan yang tetap dan tidak akan berubah. Jika seseorang sudah melakukan tes IQ di beberapa lembaga, tetapi hasil yang didapatkan berbeda-beda maka hal yang perlu dicari tahu adalah lembaga mana yang paling memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
Peran IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) dalam Regulasi Diri
Ketika seseorang memiliki ketiga kecerdasan yaitu IQ, EQ, dan SQ di atas standar, maka ia akan memenuhi tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangan. Dapat diberikan contoh, menurut Piaget pada saat seseorang berusia 19-21 tahun, tahapan yang sedang berlangsung adalah mampu memberikan pemahaman yang abstrak, maka kemampuan IQ dapat mencerna dengan baik dan dapat membedakan hal yang bersifat konkret atau abstrak, bahkan hal yang bersifat objektif atau subjektif. Ketika seseorang sudah mencapai IQ standar, maka orang tersebut mampu menganalisis karena terlatih, sehingga orang tersebut dapat menghargai diri sendiri, berinteraksi baik kepada orang lain, mampu menempatkan diri dengan baik dalam lingkungan sosial, dan mampu memahami diri sendiri.
Dapat ditemukan pada usia 19-21 tahun, terjadi fase operasional formal karena terdapat banyak sekali orang yang merasa overthinking, yakni berbagai pemikiran muncul akibat respon yang semakin pesat untuk bertumbuh dan berkembang, maka seseorang harus mampu melakukan seleksi. Terkadang, overthinking yang dihadapi menjadi kendala, sehingga membutuhkan kemampuan untuk mengatur diri sendiri agar mampu menyelesaikan suatu persoalan. Akan tetapi, jika overthinking tersebut memicu seseorang hingga tidak dapat mengatur emosi atau tidak dapat menerima, dapat terjadi kemungkinan adanya rasa tidak sinkron dengan kecerdasan emosional dalam diri karena tidak mampu mengatur diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada fase ini sering terlintas di dalam otak, namun pada dasarnya hal ini wajar apabila terjadi dalam usia 19-21 tahun. Di zaman sekarang, teknologi semakin canggih, sehingga mudah mendapatkan informasi. Dengan ini orang akan mudah mengatur emosi dengan cara melihat tuntunan atau sebuah tutorial, contohnya dalam penugasan mata kuliah terdapat pembuatan mind mapping yang berisi tujuan untuk mencapai keinginan. Sejalan dengan ini, maka membutuhkan metakognitif atau konstruktivisme untuk mengarahkan pada pembelajaran dalam hal meregulasi diri. Jika terdapat kondisi dalam diri seseorang mudah untuk mendapatkan, mencerna, dan menganalisis informasi, maka terdapat kemungkinan besar bahwa orang tersebut memiliki kecerdasan untuk mengelola. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa seseorang yang memiliki IQ tinggi, belum tentu memiliki EQ dan SQ yang tinggi pula.
ADVERTISEMENT
Keterkaitan Antara Kecerdasan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient)
Terdapat proses pembiasaan yang mampu menjadikan seseorang mampu menerima diri sendiri. Ketika seseorang mempunyai kepribadian yang positif maka terdapat kemungkinan bahwa orang tersebut memiliki mampu membangun EQ dengan baik dan tinggi. Pada saat EQ yang dibangun sudah baik, terdapat modalitas untuk mendapatkan potensi SQ yang tinggi. Salah satu ciri seseorang memiliki SQ yang tinggi, yaitu mempunyai problem solving untuk dapat membuat metakognitif dalam hal memecahkan suatu persoalan dengan baik. Dengan ini, seseorang mampu mengontrol diri sendiri dalam hal pikiran, perasaan, dan keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Tidak hanya itu, emosional dalam diri seseorang juga akan tertata dengan baik. Hal ini akan menuju pada bagian spiritualitas. Ketika spiritualitas tinggi, maka landasan segala aktivitas akan melibatkan Tuhan, terlepas dari agama apa pun. Melibatkan Tuhan dalam segala hal dapat dinilai bahwa kecerdasan emosional dan spiritualnya tinggi.
ADVERTISEMENT
Perbedaan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient)
Perlu diketahui, bahwa EQ dan SQ memiliki kondisi keteraturan yang berbeda, karena EQ dan SQ diumpamakan sebagai belajar tentang perkembangan. Pertumbuhan memiliki batas usia hingga 21 tahun, sementara perkembangan tidak memiliki batas usia atau dapat diartikan proses tersebut terjadi sampai akhir hayat. Terdapat perbedaan dari keduanya, yaitu pertumbuhan menuju maju ke atas dengan melengkapi dan menambah, sedangkan perkembangan dapat terjadi penaikan dan penurunan. EQ berkaitan dengan jiwa, ketertarikan, perasaan, dan kemampuan dalam mengelola emosi.
Dalam SQ, seseorang yang mempunyai spiritual tinggi belum tentu memiliki tingkat religius yang tinggi, meski poinnya merujuk pada tingkat kecerdasan yang tinggi. SQ memiliki hubungan vertikal antara diri seseorang dengan Tuhan, hal ini berlaku di semua agama. Ketika seseorang memiliki spiritual yang tinggi, maka menumbuhkan empati dalam diri seseorang. Selain itu, orang tersebut akan tenang dalam bersikap. Lalu, orang tersebut juga mampu problem solving, misalnya saat dihadapkan oleh suatu masalah maka orang tersebut tidak marah untuk menyalahkan masalah tersebut, melainkan akan mencari solusi untuk memecahkan suatu masalah.
ADVERTISEMENT
Jadi, EQ dan SQ yang tinggi ditentukan ketika seseorang mampu memahami diri sendiri, mampu problem solving, mampu memberikan energi positif kepada orang sekitar, dan keberadaannya mampu menjadi sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang lain. Beda halnya dengan IQ, dapat diketahui bahwa IQ yang memiliki standar tinggi ditentukan oleh hitungan kuantitatif.
.
.
.
Dosen Pengampu: Maolidah, M.Psi.