Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Peran Pola Asuh dalam Pembentukan Karakter Tokoh pada Novel Salah Asuhan
28 April 2025 9:57 WIB
·
waktu baca 21 menitTulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928. Novel ini tidak hanya menampilkan persoalan cinta, tetapi juga tentang benturan budaya, pencarian jati diri, dan dampak pola asuh yang keliru. Novel ini menampilkan tokoh utama, yaitu Hanafi yang merupakan seorang pemuda pribumi yang disekolahkan secara Barat oleh ibunya dengan tujuan mulia, agar Hanafi tumbuh menjadi orang modern dan berpendidikan tinggi. Tapi ternyata, pendidikan itu justru membuat Hanafi berubah menjadi pribadi yang sombong, kebarat-baratan, bahkan memandang rendah bangsanya sendiri. Semua berawal dari sikap Hanafi yang kehilangan arah karena salah didik. Salah Asuhan pun menjadi pengingat bahwa cara orang tua mendidik anak akan sangat menentukan cara anak memandang dunia, dan juga dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam buku “Teori Pengkajian Fiksi” karya Burhan Nurgiyantoro terdapat hakikat tema, merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan melalui motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang bersangkutan dan menentukan peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan keseluruhan cerita dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Penafsiran tema (utama) diprasyarat oleh pemahaman cerita secara keseluruhan.
Selain tema, buku Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro juga membahas mengenai tokoh. Dalam buku ini, tokoh dibagi menjadi tiga bagian yaitu, unsur penokohan dalam fiksi, pembedaan tokoh, dan teknik pelukisan tokoh. Tulisan ini akan membahas mengenai hakikat tema yang terdiri dari tema pokok yang mengandung makna utama dan makna lain yang hanya sebagian kecil dari keseluruhan peristiwa, makna lain yang tidak tersiratkan, atau makna lain yang tidak tercakup di dalamnya. Kesalahan mendidik anak dapat berakibat fatal, menjadi bagian dari tema utama. Hal itu memunculkan berbagai peristiwa dan konflik yang berawal dan disebabkan oleh sikap Hanafi yang kebarat-baratan dan memandang rendah bangsanya. Atas sikap dan perbuatannya, ia memperlakukan istri dan ibunya layaknya seorang budak, dan rela mencampakkan kebangsaannya sendiri yang dianggap sebagai suatu hal kurang baik.
ADVERTISEMENT
Selain membahas hakikat tema, tulisan ini juga akan membahas teknik pelukisan tokoh yang dikategorikan menjadi dua, yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. Tulisan ini akan berfokus pada teknik dramatik yang meliputi teknik cakapan, teknik tingkah laku, serta teknik pikiran dan perasaan. Teknik cakapan dapat menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan; teknik tingkah laku menggambarkan tokoh melalui tindakan yang menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan perwatakannya; serta teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan melalui teknik cakapan dan teknik tingkah laku, pembaca yang baik mampu menafsirkan perwatakan tokoh yang terlukis dalam pikiran dan perasaan tersebut. Melalui tiga teknik tersebut, tulisan ini akan menyajikan teknik pelukisan tokoh dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis melalui tokoh Hanafi, Rapiah, dan Corrie du Bussee. Selamat membaca!
ADVERTISEMENT
Hakikat Tema
1. Kesalahan Mendidik Anak Dapat Berakibat Fatal
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang tua pasti ingin anaknya tumbuh menjadi orang yang pintar, berhasil, dan membanggakan. Tanpa disadari, cara mendidik yang keliru justru membawa anak ke jalan yang jauh dari harapan. Sejak kecil, Hanafi mendapatkan pendidikan yang tinggi dan modern, namun ia tumbuh tanpa fondasi agama dan nilai-nilai dari lingkungan dan budaya aslinya. Ia diasuh oleh orang lain, jauh dari pelukan ibu dan kasih sayang yang hangat. Seiring berjalannya waktu, Hanafi berubah menjadi sosok yang durhaka, sombong, dan kehilangan arah hidup. Hal ini disebabkan dari kesalahan dalam pola asuh dapat menyebabkan hubungan anak dan orang tua menjadi renggang, bahkan berakhir tragis. Kesedihan seorang ibu yang hanya bisa memaafkan dan penyesalan anak yang datang terlambat menjadi gambaran nyata bahwa mendidik anak bukan hanya soal ilmu, tapi juga soal hati, akhlak, dan nilai kehidupan. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan antara nilai Timur dan nilai Barat. Sejak kecil, Hanafi sudah disekolahkan di Betawi dan tinggal di rumah orang Belanda agar menjadi anak yang pandai dan lebih unggul dari keluarga kampungnya. Namun, harapan sang ibu justru berbalik arah, pendidikan dan pergaulan modern membuat Hanafi meremehkan asal-usulnya sendiri. Hal ini terlihat dari ucapannya yang menyebut ibunya sebagai “orang kampung” yang menunjukkan adanya perubahan sikap dan pandangan hidup Hanafi terhadap nilai-nilai tradisi yang sebelumnya dijunjung.
ADVERTISEMENT
Hanafi yang sejak kecil disekolahkan di lingkungan Barat, tumbuh menjadi pribadi yang merasa lebih tinggi dari ibunya sendiri. Ia menjadi anak yang durhaka, bahkan menyalahkan ibunya atas kesengsaraan hidupnya. Padahal, ibunya menyayangi Hanafi sepenuh hati dan berusaha mengampuni segala perlakuan buruk anaknya. Perbedaan nilai antara cara berpikir modern Hanafi dan nilai-nilai kasih sayang serta pengorbanan ibunya menunjukkan betapa besarnya pengaruh pendidikan dan lingkungan terhadap sikap seseorang. Kisah ini menjadi gambaran bahwa pendidikan yang tidak seimbang dengan nilai-nilai tradisi dan budi pekerti dapat menimbulkan perpecahan dalam keluarga. Hal tersebut digambarkan melalui kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terdapat perubahan sikap dan perubahan perilaku Hanafi terhadap orang-orang terdekatnya, terutama ibu dan istrinya. Hanafi menjadi kasar dan tidak menghargai istrinya, bahkan memandangnya seperti babu, bukan sebagai pasangan hidup. Ibunya merasa sangat sedih melihat sikap anaknya, tapi ia memilih diam agar tidak memperburuk keadaan. Meski begitu, hatinya tetap terluka. Ia sadar bahwa anak yang telah ia besarkan, tumbuh menjadi pribadi yang jauh berbeda, seolah-olah asing dan tak lagi memiliki pandangan serta perasaan yang sama dengan keluarganya. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terdapat sikap salah asuhan dari Ibu Hanafi yang dibuktikan dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan bahwa kesalahan dalam cara mendidik dan membesarkan anak bisa berdampak besar terhadap pembentukan kepribadian dan arah hidupnya. Hanafi dianggap sebagai contoh nyata dari anak yang tumbuh tanpa pondasi agama dan budaya bangsa sendiri karena sejak kecil sudah dijauhkan dari nilai-nilai Timur dan diasuh dengan cara hidup Barat. Ibunya pun akhirnya menyadari bahwa kurangnya pendidikan agama dan keterputusan dari lingkungan bangsa sendiri merupakan kesalahan besar dalam mengasuh Hanafi. Kini, mereka berharap agar kesalahan itu tidak terulang pada anak Hanafi, yaitu Syafei. Harapannya, dengan pola asuh yang benar, Syafei bisa tumbuh menjadi pribadi yang baik dan tidak mewarisi sifat-sifat buruk ayahnya. Kesadaran ini menunjukkan bahwa asuhan yang salah bisa menghancurkan, tetapi asuhan yang benar bisa menjadi harapan untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Terdapat penyesalan mendalam dari Hanafi yang menyadari kesalahan pengasuhan yang ia alami dan bagaimana pengasuhan yang salah telah membawanya pada kehancuran. Sebelum meninggal, Hanafi merasa bersalah dan khawatir bahwa anaknya, Syafei, akan mengikuti jejak hidupnya yang penuh kesalahan. Ia berharap agar Syafei diberi pengasuhan yang benar dan tidak terjerumus pada jalan yang sama. Ibunya, yang telah lama memaafkan Hanafi, memberi penghiburan dengan mengatakan bahwa ia telah memaafkan dosa-dosa Hanafi dan meminta agar ia mengingat Tuhan dan Rasul, sebagai petunjuk untuk menyelamatkan dirinya. Hal ini mencerminkan betapa pengaruh pengasuhan yang salah, baik dari orang tua maupun lingkungan, dapat berdampak besar pada kehidupan seseorang, tetapi ada harapan untuk memperbaiki generasi berikutnya melalui pengasuhan yang benar.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
2. Masalah Kawin Paksa
Dalam kehidupan Hanafi, perkawinan bukanlah hasil dari pilihan hati, melainkan karena tekanan dan kewajiban yang datang dari keluarga dan tradisi. Hanafi dipaksa untuk menikahi Rapiah, seorang wanita yang dipilihkan untuknya oleh ibunya, meskipun hati dan perasaannya tidak setuju. Perkawinan itu bukanlah pilihan dari keduanya, melainkan sesuatu yang harus diterima karena utang budi dan kewajiban dalam adat. Hanafi merasa bahwa pernikahannya dengan Rapiah tidaklah layak disebut sebagai pernikahan sejati, karena itu lebih kepada kewajiban yang dipaksakan. Bahkan, ia tidak memedulikan Rapiah sebagai istrinya, dan hubungan mereka tidak bisa dianggap sebagai hubungan suami istri yang penuh cinta dan keikhlasan. Dalam keadaan seperti ini, masalah kawin paksa sangat jelas terasa, tidak hanya merenggangkan hubungan mereka, tetapi juga menambah beban emosional yang dalam bagi kedua belah pihak. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut menggambarkan situasi di mana Hanafi merasa terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak sepenuhnya atas kehendaknya. Dalam budaya dan tradisi yang berlaku, terutama dalam masyarakat Minangkabau, terdapat konsep utang budi yang harus dibayar. Dalam hal ini, utang itu berkaitan dengan pernikahan. Hanafi merasa bahwa ia harus menerima Rapiah sebagai istri sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan budaya yang harus dipenuhi, meskipun ia tidak sepenuhnya ingin atau siap untuk menikah dengan Rapiah. Terdapat tekanan dari pihak keluarga yang membuatnya merasa bahwa keputusan ini bukan sepenuhnya pilihannya, tetapi lebih sebagai kewajiban yang harus dipenuhi untuk menjaga kehormatan keluarga dan membayar utang budi. Hal ini mencerminkan adanya perkawinan paksa yang sering kali mengabaikan keinginan pribadi yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Hanafi merasa terpaksa menikahi Rapiah. Meskipun secara resmi dia menikah, Hanafi tidak mencintai Rapiah dan tidak merasa ada ikatan emosional dengan istrinya. Dia melihat pernikahannya sebagai sesuatu yang harus diterima, bukan pilihan dari hati. Hanafi juga tidak peduli dengan anaknya, Syafei, karena dia menganggap Syafei lebih sebagai anak Rapiah, bukan anaknya sendiri. Hanafi merasa menyesal dan kecewa karena ibunya yang memilihkan Rapiah sebagai istrinya, dan dia merasa terbebani dengan pernikahan itu. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan lain yang menunjukkan tema perkawinan paksa dibuktikan pada kutipan berikut.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perkawinan yang terpaksa menciptakan ketegangan dan ketidakselarasan dalam rumah tangga. Ibu Hanafi berharap Rapiah dapat menggantikan posisi Hanafi di rumah mereka, namun kenyataan bahwa pernikahan mereka terpaksa dan tidak bahagia mencerminkan ketidakberlanjutan hubungan tersebut. Pada akhirnya, pernikahan yang terpaksa tersebut mengarah pada perceraian, karena kedua belah pihak tidak dapat hidup dalam keharmonisan dan kesepakatan yang tulus.
ADVERTISEMENT
3. Masalah Penolakan “Payung” (Kebangsaan Sendiri)
Hanafi tumbuh sebagai seorang yang lebih merasa dekat dengan budaya Barat dibandingkan dengan akar bangsanya sendiri. Ia lebih memilih cara hidup dan pergaulan ala Eropa, hingga menganggap adat Melayu dan ajaran Islam tidak menarik serta patut dihindari. Ia begitu jauh dari jati dirinya sebagai Bumiputra, bahkan merasa malu dan menyesali bahwa ia dilahirkan sebagai orang Indonesia. Pandangannya terhadap bangsanya sendiri dipenuhi dengan cemoohan dan rasa rendah diri. Dalam pikirannya, menjadi bagian dari bangsa Eropa adalah kebanggaan, sedangkan menjadi Bumiputra adalah kutukan. Penolakan terhadap identitas kebangsaannya ini bukan hanya menciptakan jurang antara dirinya dan masyarakat sekitar, tapi juga menggambarkan krisis identitas yang dalam akibat pendidikan dan pergaulan yang menjauh dari akar budaya sendiri. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, Hanafi menunjukkan penolakan terhadap identitas dan kebudayaan bangsanya, yaitu orang Melayu, bahkan sampai benci terhadap statusnya sebagai Bumiputra. Ia memandang segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan dan adat Melayu dengan rendah, bahkan mencemoohnya. Ini juga tercermin dalam cara hidup dan pandangannya yang lebih condong kepada budaya Barat, serta kebenciannya terhadap bangsanya sendiri. Hanafi merasa terasing dengan kebudayaannya, lebih memilih meniru gaya hidup dan pola pikir orang Eropa. Penolakan Hanafi terhadap kebangsaannya juga terlihat dari kecenderungannya untuk menjauhkan diri dari budaya Melayu dan lebih memilih bergaul dengan orang Belanda. Ia tidak hanya menolak adat dan agama Melayu, tetapi juga merasa malu dan kecewa atas kelahirannya sebagai orang Bumiputra, yang ia anggap rendah. Ini menggambarkan konflik identitas yang dialami oleh Hanafi, yang terjebak dalam ketidakpuasan terhadap kebudayaannya sendiri, sementara pada saat yang sama, ia tidak sepenuhnya diterima dalam budaya Eropa yang ia impikan.
ADVERTISEMENT
Hanafi melakukan penolakan terhadap kebangsaan dan budaya Melayu yaitu Bumiputra yang menjadi asal-usulnya. Hanafi dengan tegas menyatakan bahwa ia lebih memilih dan merasa lebih cocok dengan kebudayaan Barat karena sejak kecil ia sudah diasuh dalam pergaulan Eropa. Ia merasa bahwa adat dan kebiasaan bangsa Eropa jauh lebih sesuai dengan dirinya, bahkan menganggap adat Melayu, yang dianggapnya lebih sederhana, sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya. Pernyataan Hanafi yang merasa dirinya sudah “keluar dari bangsa Bumiputra” dan “dipersamakan dengan bangsa Eropa” menunjukkan bahwa ia tidak hanya menolak kebudayaan Melayu, tetapi juga merasa terasing dan lebih mengidentifikasi dirinya dengan kebudayaan Barat. Hal ini menggambarkan konflik identitas yang mendalam, Hanafi berusaha untuk menghindari akar kebangsaannya, meskipun secara biologis ia tetap seorang Bumiputra. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
4. Masalah Perkawinan Antarbangsa
Perkawinan antarbangsa digambarkan sebagai sebuah hubungan yang penuh lika-liku, tidak hanya karena perbedaan budaya dan latar belakang, tetapi juga karena pandangan masyarakat yang penuh prasangka dan diskriminasi. Hubungan Hanafi dan Corrie menjadi cermin yang sulit bahwa cinta saja tak cukup untuk menjembatani jurang antara Timur dan Barat. Penolakan, tekanan sosial, hingga konflik batin membuat cinta mereka perlahan terkikis oleh kenyataan. Masyarakat menilai, bukan dari kasih sayang yang tulus, melainkan dari asal-usul darah dan bangsa. Di balik impian akan kebebasan memilih pasangan, tersembunyi luka dan perih akibat “kesombongan bangsa” yang mencengkeram kuat. Perkawinan campuran bukan sekadar menyatukan dua insan, tetapi juga dua dunia yang kerap tak saling menerima. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan konflik dalam perkawinan antarbangsa, terutama antara Timur (Melayu) dan Barat (Belanda). Meskipun Hanafi dan Corrie saling mencintai, masyarakat dan tradisi menganggap perbedaan budaya mereka sebagai hambatan besar. “Kesombongan bangsa” menunjukkan bagaimana kebanggaan terhadap budaya masing-masing mempersulit penerimaan pernikahan tersebut. Kalimat “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat” menekankan betapa sulitnya menyatukan dua budaya yang berbeda, baik dalam kehidupan pernikahan maupun dalam pandangan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan konflik dan tantangan yang dihadapi dalam perkawinan antarbangsa, khususnya antara Hanafi dengan Corrie. Meskipun mereka saling mencintai, perbedaan budaya dan pandangan masyarakat membuat hubungan mereka penuh rintangan. Hanafi berusaha menghapus jejak kebangsaan dan identitasnya demi menyatu dengan Corrie. Konflik ini menunjukkan betapa beratnya menghadapi diskriminasi dan prasangka, meskipun ada cinta di antara mereka. Perkawinan antarbangsa ini berujung pada rasa terasing dan kesulitan yang mendalam, baik bagi Hanafi maupun Corrie, karena mereka terjebak dalam konflik budaya dan sosial yang ada di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Ketika pernikahan mereka dihadapkan pada masalah dan tuduhan, komunikasi antara mereka menjadi semakin buruk. Hanafi yang cenderung menuduh, sementara Corrie merasa tertekan dan ingin mengakhiri hubungan tersebut. Perceraian menjadi ancaman nyata dalam hubungan mereka yang mencerminkan perbedaan latar belakang dan budaya bisa memperburuk permasalahan dalam sebuah pernikahan. Meskipun keduanya terikat dalam ikatan pernikahan, perbedaan cara pandang dan tekanan mendorong mereka menuju perceraian, yang menambah kesulitan dalam hubungan antarbangsa ini. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Kutipan lain juga menggambarkan masalah perkawinan antarbangsa yang dibuktikan melalui teks berikut.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan Hanafi yang merasa terasingkan karena meskipun ia berusaha menyesuaikan diri dengan budaya Eropa, ia tetap tidak diterima oleh bangsanya sendiri maupun oleh orang Eropa. Ia merasa bahwa ia tidak dihargai oleh siapa pun, meskipun ia telah mengubah identitasnya. Sementara itu, istrinya yang berasal dari Eropa juga merasa pernikahan mereka tidak menguntungkan bagi keduanya. Ia sadar bahwa meskipun mereka menikah, hubungan mereka justru membawa masalah dan membuat mereka merasa tidak diterima di masyarakat masing-masing. Hal ini menggambarkan salah satu masalah besar dalam perkawinan antarbangsa, yaitu kesulitan dalam mencari penerimaan sosial, yang akhirnya membuat hubungan mereka penuh dengan konflik dan kekecewaan.
Hanafi merasa bahwa perceraian adalah jalan satu-satunya untuk meringankan beban hidupnya, meskipun ia tetap mencintai Corrie. Namun, setelah perceraian itu terjadi, Corrie meninggal dunia. Kematian Corrie membawa kedamaian pada akhirnya, tetapi juga memperlihatkan betapa sulitnya menjalani pernikahan antarbangsa pada masa itu yang penuh dengan penolakan dan prasangka. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Teknik Pelukisan Tokoh dalam novel Salah Asuhan
1. Tokoh Hanafi
Teknik Cakapan
Tokoh Hanafi sangat kuat digambarkan melalui cakapan atau dialognya yang emosional dan penuh ketegangan. Melalui kata-kata yang diucapkannya, terlihat adanya perubahan karakter Hanafi yang awalnya tampak teguh, tetapi seiring berjalannya waktu, mulai terbawa oleh keraguan, kemarahan, dan penyesalan. Dialognya yang keras dan tajam, seperti ketika ia menuduh Corrie dengan tuduhan yang menghancurkan, mencerminkan sifatnya yang cepat marah dan penuh prasangka. Di sisi lain, ungkapannya yang penuh penyesalan dan pengakuan dosa, seperti dalam kalimat “Aku yang celaka, aku yang salah,” menunjukkan sisi lembut dan penuh kesadaran diri, meskipun tak mampu mengatasi konflik dalam dirinya. Hanafi yang terperangkap dalam masalah besar antara kehormatan, emosi, dan keputusan-keputusan yang membawa kehancuran dalam hidupnya. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan-kutipan tersebut, tokoh Hanafi digambarkan sebagai sosok yang emosional dan penuh konflik batin. Ia tampak keras dan menghakimi, terutama dalam kata-katanya yang bengis terhadap orang lain, seperti saat berbicara dengan Buyung, bahkan ia berani melawan perkataan ibunya. Hanafi termasuk pada bagian anak yang durhaka kepada orang tua.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, tokoh Hanafi digambarkan sebagai sosok yang penuh kontradiksi dan berjuang dengan perasaan bersalah, penyesalan, serta kemarahan. Dalam kalimat seperti “Besar benar dosaku, karena aku berkehendak engkau menjadi istriku,” Hanafi menunjukkan penyesalan yang mendalam terhadap keputusannya menikahi Corrie, merasa dirinya telah membuat kesalahan besar. Di sisi lain, ketika ia mengungkapkan “Aku menuduh engkau berzina!” dan “Terlalu keji, terlalu busuk!” terlihat sisi emosionalnya yang meledak, mencerminkan ketegangan dalam hubungannya. Hanafi juga tampak bingung dan terjebak dalam situasi, seperti saat berkata “Kawin tak boleh, bercerai tak boleh! Serba salah,” menunjukkan keterpurukannya dalam perasaan yang tak terpecahkan.
ADVERTISEMENT
Teknik Tingkah Laku
Tokoh Hanafi digambarkan melalui tingkah lakunya yang penuh kontradiksi dan emosional. Dalam banyak situasi, Hanafi menunjukkan sikap keras dan dominan, seperti ketika ia merasa berhak untuk mengatur segala hal dalam hidupnya, termasuk istrinya, tanpa memberi ruang untuk perasaan atau pendapat orang lain. Ia sering kali melampiaskan kemarahannya tanpa alasan yang jelas, dan membuat orang di sekitarnya, seperti Rapiah dan Corrie, merasa tertekan dan tersakiti. Misalnya, saat ia marah tanpa sebab yang jelas kepada Rapiah, meskipun istrinya sabar dan tunduk, Hanafi justru semakin melampiaskan amarahnya. Melalui tingkah lakunya, dapat dilihat bahwa karakter Hanafi terkadang penuh kasih, namun sering kali terjebak dalam kebanggaan dan emosi negatif yang menghancurkan hubungan di sekitarnya. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, Hanafi digambarkan sebagai sosok yang keras dan egois. Ia cenderung memaksakan kehendaknya kepada istrinya, Rapiah, dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Hanafi sering marah-marah dan menyalahkan Rapiah, meskipun istrinya sudah sabar dan tunduk. Ia juga tidak mendengarkan nasihat ibunya dan terus berperilaku kasar. Sikapnya yang selalu menyalahkan orang lain dan tidak bisa mengontrol emosinya menunjukkan bahwa Hanafi adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan egois dalam hubungan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tokoh Hanafi digambarkan sebagai sosok yang penuh amarah, kasar, dan tidak menghargai perasaan istrinya. Ia sering marah besar hingga berkata-kata kasar, bahkan menuduh istrinya berbuat salah. Hanafi tidak mencintai Rapiah karena menganggapnya terlalu pasif dan lemah, sementara ia lebih tertarik pada perempuan yang kuat dan berani seperti Corrie. Sikapnya yang sombong dan sulit diajak bicara juga terlihat dari caranya memperlakukan ibunya. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Teknik Pikiran dan Perasaan
Tokoh Hanafi digambarkan melalui pikiran dan perasaannya yang sering kali penuh dengan kebingungannya sendiri. Ia terjebak dalam perasaan yang saling bertentangan, terutama dalam hubungan dengan kedua istrinya, Corrie dan Rapiah. Meski ia merasakan cinta yang mendalam terhadap Corrie, perasaan itu selalu dibayangi oleh rasa bersalah dan keraguan, sehingga ia merasa tidak bisa membahagiakan wanita yang dicintainya. Di sisi lain, Hanafi membandingkan Corrie dengan Rapiah, merasa bahwa Rapiah lebih “sesuai” dengan keinginannya untuk memenuhi harapan ibunya, meski perasaannya tidak sekuat kepada Corrie. Ketegangan batin ini muncul saat ia menyadari bahwa semua kekacauan dalam hidupnya berasal dari keputusan dan sikapnya sendiri yang salah, sehingga ia merasa menjadi korban dari kesalahan asuhannya. Pikiran dan perasaan Hanafi yang kacau mencerminkan konflik batin yang berat dalam dirinya, antara cinta, tanggung jawab, dan penyesalan. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan-kutipan tersebut, tokoh Hanafi digambarkan sebagai seseorang yang mengalami konflik dan kebingungan dalam menentukan pilihan hidupnya. Ia menyadari bahwa dirinya sangat mencintai Corrie, namun terhalang oleh norma dan pandangan masyarakat. Di sisi lain, ia merasa Rapiah adalah pilihan yang lebih patut dan dapat diterima oleh lingkungan, meskipun cintanya tidak sebesar kepada Corrie. Pikiran Hanafi dipenuhi oleh penyesalan, pertentangan antara logika dan perasaan, serta rasa bersalah karena menyadari bahwa kedua perempuan tersebut menjadi korban dari keputusan dan ketidaktegasan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
2. Tokoh Corrie du Bussee
Teknik Cakapan
Tokoh Corrie du Bussee menunjukkan sikap tegas dan emosional. Kata-kata Corrie sering kali mencerminkan ketegangan dan kekecewaan yang ia rasakan dalam hidupnya. Corrie memiliki sifat yang tidak segan untuk menyampaikan keinginannya dengan jelas, bahkan dalam situasi yang agak terburu-buru dan penuh perasaan. Selain itu, ungkapan tentang perceraian yang ia alami mencerminkan kedalaman emosionalnya, seperti perasaan terluka, kecewa, dan bingung dengan nasib yang menimpanya. Melalui teknik cakapan ini, dapat dilihat bahwa Corrie merupakan sosok yang kuat, berani mengungkapkan perasaan, meski sering kali dikelilingi oleh konflik batin dan emosi yang mendalam. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut ini.
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, tokoh Corrie du Bussee digambarkan sebagai sosok yang emosional, tegas, dan cenderung keras dalam bertutur kata. Ia tampak tidak sabaran, menyuruh-nyuruh dengan nada tinggi, bahkan memaki pelayan rumahnya. Gaya bicaranya mencerminkan sifat arogan dan terbiasa memerintah. Namun, dalam kutipan lain, Corrie juga menunjukkan sisi rapuh dan emosional ketika mengingat perpisahan dengan ayahnya dan menegur seseorang yang ingin menjauh dari ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa Corrie adalah pribadi kompleks yang keras di luar, tetapi menyimpan luka dan perasaan mendalam.
ADVERTISEMENT
Teknik Tingkah Laku
Tokoh Corrie du Bussee melalui tindakan-tindakannya mencerminkan sifat dan perasaannya. Tindakannya yang tampak tergesa-gesa dan penuh kemarahan mencerminkan ketegangan dalam dirinya. Saat ia berbicara dengan Hanafi, terlihat bahwa Corrie memiliki sifat yang penuh pertimbangan, berusaha sabar dan memberi ruang bagi suaminya. Namun, ada juga sisi keras dalam dirinya, seperti ketika ia mengakui bahwa ia menjadi lebih keras kepala dan tidak mudah mengampuni dosa suaminya. Perubahan perilakunya setelah menikah menunjukkan betapa ia berusaha menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai seorang istri, meskipun pada akhirnya sifat hati batunya tetap ada. Teknik tingkah laku ini berhasil menggambarkan karakter Corrie sebagai sosok yang penuh emosi, dan selalu berusaha menjaga kehormatan dirinya dalam situasi yang penuh tekanan. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan tersebut digambarkan sebagai pribadi yang emosional, keras kepala, dan manja akibat hidup dalam kemewahan sejak kecil. Tindakan melempar raket dan sepatu menunjukkan sifat temperamental dan impulsifnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Corrie mengalami perubahan sikap setelah menjadi istri Hanafi. Ia digambarkan sebagai istri yang ramah, patuh, dan penuh tata krama terhadap suaminya. Meski begitu, ia tetap menunjukkan keteguhan prinsip, terutama dalam hal memaafkan yang menandakan bahwa Corrie adalah sosok yang sulit melupakan kesalahan besar dan tetap tegas dalam mempertahankan harga dirinya.
ADVERTISEMENT
Teknik Pikiran dan Perasaan
Tokoh Corrie du Bussee digambarkan memiliki pergulatan batin dan penuh penyesalan. Corrie mulai merasakan kebingungan dan ketidakpuasan terhadap keputusannya untuk menikahi Hanafi. Meskipun ada rasa kasihan yang mendalam terhadap suaminya, perasaan tersebut bukanlah bentuk cinta sejati, melainkan lebih karena rasa terpaksa dan pengaruh lingkungan. Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa terasing dari dunia yang ia kenal dan semakin terperangkap dalam pernikahan yang ia rasa membatasi kebebasannya. Rasa sesal atas pilihan hidupnya semakin menguasai pikirannya, seperti yang tampak pada pengakuannya bahwa ia terpaksa menerima Hanafi sebagai suami karena rasa kasihan, bukan cinta. Perasaan Corrie semakin tertekan oleh ketajaman kata-kata suaminya yang sering melukai hati, dan ia merasa dunia yang sempit semakin diperburuk dengan situasi tersebut. Konflik batin yang ditunjukkan melalui teknik ini menggambarkan karakter Corrie yang penuh keraguan, kesedihan, dan perasaan terperangkap dalam keputusan hidupnya. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, tokoh Corrie du Bussee digambarkan sebagai sosok yang rumit dan sedang mengalami konflik batin. Ia merasa kesepian, ragu, dan kecewa dengan keadaan pernikahannya. Awalnya, Corrie menikahi Hanafi bukan karena cinta, tetapi karena rasa kasihan. Corrie juga merasa sakit hati karena Hanafi sering berkata tajam dan mempersempit hidupnya yang sudah terasa sempit.
ADVERTISEMENT
3. Tokoh Rapiah
Teknik Cakapan
Tokoh Rapiah digambarkan sebagai seorang perempuan yang penuh kesadaran diri, tegas, dan memiliki pendirian yang kuat. Rapiah tidak mudah terpengaruh oleh godaan atau perasaan yang datang begitu saja. Ia dengan tegas menolak ide untuk menggantikan Hanafi, meskipun situasi hidupnya sedang sulit dan penuh ketidakpastian. Melalui kata-katanya, Rapiah menunjukkan bahwa ia memiliki prinsip yang kuat mengenai nasib dan masa depannya. Ia tidak merasa perlu untuk mengorbankan integritasnya hanya demi memenuhi harapan orang lain, dan bahkan meragukan kemampuannya untuk menerima seseorang sebagai pasangan setelah mengalami kesulitan dalam pernikahannya. Karakter Rapiah yang penuh pemikiran ini tercermin dalam cakapan-cakapannya yang lugas, yang mencerminkan perasaan dan sikapnya terhadap situasi yang sedang ia hadapi, serta keteguhannya untuk tetap setia pada diri sendiri. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut ini.
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan-kutipan tersebut, tokoh Rapiah digambarkan sebagai sosok yang tulus, patuh, dan tegar dalam menghadapi kenyataan hidup. Ia menunjukkan ketulusan dan kepatuhan terhadap ibu mertuanya dengan bersedia mengikuti kehendaknya, termasuk bila harus menggantikan posisi Hanafi dalam keluarga, asalkan mertuanya bahagia. Namun, Rapiah juga realistis dan penuh kesadaran diri, seperti terlihat saat ia menyatakan kekecewaannya karena Hanafi pergi tanpa kabar selama bertahun-tahun. Meskipun demikian, ia tetap memahami bahwa manusia bisa tergoda melakukan kesalahan. Ketika ibu mertuanya membicarakan kemungkinan mencari pengganti Hanafi, Rapiah dengan tegas menolaknya karena merasa dirinya sudah tidak layak, sebagai perempuan yang telah ditinggal suami dan memiliki anak. Hal ini menunjukkan bahwa Rapiah adalah perempuan yang menjaga harga diri, sabar, dan kuat dalam menghadapi penderitaan.
ADVERTISEMENT
Teknik Tingkah Laku
Tokoh Rapiah digambarkan sebagai seorang istri yang sabar, patuh, namun juga penuh rasa rendah diri dan ketakutan terhadap suaminya. Meskipun ia tidak merasa dicintai oleh Hanafi, Rapiah tetap menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan yang luar biasa. Di balik keteguhannya, Rapiah adalah sosok yang memahami perannya sebagai istri dengan sepenuh hati, meski ia tidak bisa mengharapkan cinta dari suaminya. Teknik tingkah laku ini menunjukkan betapa Rapiah adalah seorang wanita yang terperangkap dalam perasaan kasihan dan ketakutan, namun tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam peran yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan di bawah ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan-kutipan tersebut, tokoh Rapiah digambarkan sebagai seorang istri yang penuh kesabaran, rendah hati, dan sering kali merendahkan diri di hadapan suaminya, Hanafi. Ia merasa dirinya kecil, hina, dan bodoh dibandingkan dengan suaminya yang dipandangnya sebagai orang terpandai. Ketika suaminya tidak ada di rumah, Rapiah merasa lebih bebas dan lapang, tetapi saat Hanafi ada, ia cenderung menahan diri dan diam, bukan karena benci, melainkan karena takut. Meskipun demikian, Rapiah tetap bersabar dan menerima nasibnya dengan tulus, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan dan ketidakbahagiaan. Di sisi lain, meskipun cinta Hanafi tidak pernah hadir untuknya, Rapiah tetap berusaha menjaga kesetiaan dan keyakinannya terhadap suami. Ia juga menunjukkan sikap humoris dan ringan dalam beberapa situasi, seperti saat ia tertawa terbahak-bahak bersama ibunya, meski di dalam hatinya tetap ada rasa pilu atas nasibnya. Rapiah merupakan sosok yang memiliki hati mulia, sabar, dan berusaha menerima keadaan dengan lapang dada meskipun hidupnya jauh dari kebahagiaan yang diidam-idamkan.
ADVERTISEMENT
Teknik Pikiran dan Perasaan
Tokoh Rapiah digambarkan sebagai seorang wanita yang dihantui perasaan cemas, ketidakpastian, dan kepasrahan yang mendalam. Ketika menghadapi hinaan dari suaminya, Rapiah memilih untuk diam, menyembunyikan rasa sakit meskipun hatinya terluka. Perasaan cemas ini semakin mempengaruhi fisiknya, yang terlihat dari penurunan kondisi tubuhnya, hingga ia merasa bahwa perasaan buruk yang ia alami ada kaitannya dengan firasat atau takhayul yang diyakininya. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, Rapiah berusaha untuk tetap tegar demi anaknya, meski di dalam hatinya, ia merasa semakin hancur. Teknik ini menunjukkan betapa Rapiah, meskipun tertekan, tetap berjuang dengan cara yang halus, menghadapi rasa sakit dengan diam, dan mencoba untuk menjaga ketenangan di depan orang lain, bahkan ketika dirinya diliputi oleh keraguan dan kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Melalui kutipan tersebut, Rapiah digambarkan sebagai seorang istri yang sangat menderita secara emosional, tertekan oleh perlakuan buruk suaminya, Hanafi, dan merasa sangat rendah diri. Meskipun dihina dan diperlakukan dengan kekerasan, ia hanya bisa menerima perlakuan itu dengan diam dan air mata, tanpa melawan. Dalam pikirannya, Rapiah sering kali merasa cemas dan tidak tenang, bahkan hingga mimpi buruk menghantui tidurnya yang menunjukkan betapa besar kekhawatirannya terhadap nasib rumah tangganya. Ia merasa bahwa kehidupan pernikahannya penuh dengan ketidakpastian, dan setiap harinya dipenuhi dengan rasa takut, ketegangan, dan kebingungan. Selain itu, Rapiah juga merasa terisolasi dan tak punya banyak harapan. Ia sering kali merasakan ketidaknyamanan dalam kehidupan rumah tangga yang didominasi oleh ketegangan dan ketidakbahagiaan, sehingga perasaan cemas dan putus asa sering kali muncul dalam pikirannya. Meski begitu, Rapiah berusaha keras untuk menahan rasa sakitnya demi anaknya, meskipun hatinya semakin pilu melihat anaknya yang juga merasakan penderitaan yang sama. Keputusannya untuk tersenyum dan menghibur anaknya hanya sebagai upaya untuk menenangkan perasaan anaknya, meskipun dirinya sendiri terluka dan terpuruk. Perasaan rapuh, bingung, dan tertekan ini menunjukkan kedalaman penderitaan emosional yang dialami oleh Rapiah.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Moeis, Abdoel. (2009). Salah Asuhan. Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero).
Nurgiyantoro, Burhan. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.