Konten dari Pengguna

Teori Belajar Kognitif: Pendekatan Metakognitif dan Konstruktivisme

Alya Nuraini
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3 Oktober 2024 8:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Nuraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Bermain Puzzle. (Sumber: https://www.pexels.com).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Bermain Puzzle. (Sumber: https://www.pexels.com).
ADVERTISEMENT
Psikologi menjadi salah satu bidang ilmu yang mempertemukan antar manusia, hal ini menjadikan seseorang yang awalnya tahu menjadi paham, sehingga mengarahkan pada bagian penerapan. Oleh karena itu, terdapat beberapa teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang psikologi pendidikan. Pendekatan yang merupakan bagian dari kognitif berarti pendekatan konstruktivisme dan metakognitif. Hal itu juga menjadi bagian dari implementasi, pemahaman, atau bagian aplikasi dari kognitif.
ADVERTISEMENT

Teori Belajar Kognitif

Di setiap proses belajar mengajar, dapat dipastikan adanya kegunaan teori belajar kognitif. Tujuan dari teori belajar kognitif, yaitu adanya pemahaman yang bertambah atau berubah karena adanya transfer ilmu yang menjadikan perubahan proses tahu, paham, dan analisa. Oleh karena itu, dalam teori belajar kognitif terdapat proses. Ketika tiga elemen tersebut sudah dipenuhi, maka pada bagian berikutnya terdapat langkah. Teori psikologi kognitif yang paling terkenal yaitu teori Piaget dan Field Lewin, sama halnya seperti teori psikologi kognitif Piaget dan Vygotsky. Teori Piaget dan Vygotsky berfokus pada pertumbuhan dan perkembangan. Teori Field Lewin cenderung berfokus pada pemahaman seorang individu atau seorang peserta didik itu dipengaruhi oleh interaksi sosial atau lingkungan yang membentuknya.
ADVERTISEMENT
Dapat diberikan sebuah contoh. Terdapat dua sosok ibu, yaitu Ibu Rina dan Ibu Viera, masing-masing memiliki anak yang berusia 2,5 tahun. Suatu hari, anak Ibu Rina dan Ibu Viera dihadapkan dengan suatu persoalan yang sama, yaitu adanya tumpukan cabai pada sebuah mangkuk di hadapan mereka, namun terdapat cara penanganan yang berbeda dari masing-masing orang tua tersebut. Ketika anak Ibu Rina mendekati tumpukan cabai dalam mangku, respon Ibu Rina adalah dengan sigap mengambil alih cabai tersebut guna mengamankan dari jangkauan anak agar tidak tersentuh. Dari contoh tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Ibu Rina tidak memberikan kesempatan kepada anaknya untuk tahu, justru pergerakan secara langsung yang dilakukan memberi gambaran bahwa cabai itu bahaya, karena pedas dan dapat menimbulkan rasa perih ketika terkena mata. Hal itu menggambarkan bahwa anak tidak diberikan kesempatan untuk belajar dan mengetahui ilmu. Dari kisah Ibu Rina bersama dengan anaknya, dapat dikatakan tidak menggambarkan adanya transformasi kognitif.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ibu Viera memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengeksplorasi hingga memunculkan suatu pertanyaan ‘ini apa?’. Dari pertanyaan tersebut memberikan upaya untuk tahu, kemudian Ibu Viera menjawab ‘itu cabai’, lalu anaknya merespon kembali dengan ucapan ‘oh cabai’. Dalam benak Ibu Viera uncul rasa takut, namun ia berusaha memberi tahu kepada anaknya. Pada saat anak berusia 2,5 tahun, tahapan yang berlangsung ialah tahap pra-operasional. Pada saat yang bersamaan, Ibu Viera justru membiarkan anaknya mengapai cabai tersebut, maka upaya tersebut adalah bentuk dari pra-operasional. Kemudian masuk pada bagian teknik, yakni anak Ibu Viera mematahkan cabai yang berada di tangannya, namun jika ditahan oleh ibunya, maka proses kogniti akan terputus. Beda halnya, ketika anak mematahkan lalu penasaran untuk mencoba rasa cabai tersebut, dan merasakan pedas pada lidah serta perih ketika terkena mata. Pada saat itu, anak Ibu Viera justru mematahkan cabai yang ada digenggaman tangannya. Setelah proses itu, Ibu Viera kemudian memberi tahu dan menyampaikan kepada anaknya bahwa cabai memiliki rasa pedas dan perih ketika terkena mata.
ADVERTISEMENT
Tentunya, terdapat sekelompok orang yang suka dengan cabai dan suka dengan rasa pedas. Hal ini juga menjadi salah satu pengaruh pada pemikiran kognitif yang diterapkan oleh orang tua pada saat anak berada di tahap pra-operasional. Pada usia pra-operasional, anak belum mengetahui pengetahuan tentang bahaya atau tidak. Akan tetapi, pada usia pra-operasional anak dapat memberi suatu tanda yang membuatnya nyaman atau tidak. Oleh karena itu, janganlah membuat larangan kepada anak sebelum melakukan analisa, karena dengan analisa yang dilakukan oleh anak, maka menimbulkan adanya diskusi sehingga mendapatkan pengetahuan setelah menganalisa. Kedua orang tua ini dianggap individual, maka hal ini mengarah pada Taksonomi Bloom atau ranah kognitif karena membutuhkan proses berpikir. Dalam metakognitif terdapat teori yang berlaku secara keseluruhan, yaitu pada individu berusia 2,5 tahun seperti kasus pada anak Ibu Viera yang mengalami problem solving karena telah belajar menyelesaikan masalah dan mengetahui apa itu cabai.
ADVERTISEMENT

1. Pendekatan Metakognitif

Penilaian yang diberikan oleh dosen ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri dengan cara yang dapat ditentukan dari masing-masing mahasiswa. Hal ini memberi arahan dari analisa menuju problem solving. Mengapa demikian? Karena mahasiswa sedang belajar dalam menemukan masalah berupa pembelajaran untuk dituntaskan atau diselesaikan. Mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab. Ketika diberikan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka seorang mahasiswa dapat dikatakan sedang menuju pada metakognitif.
Salah satu contohnya, yaitu tugas pembuatan mind mapping. Ketika tugas tersebut dikerjakan dengan pembuatan rancangan, maka terjadi proses metakognisi. Dalam pengerjaan tugas tersebut membutuhkan problem solving dengan mengaktifkan pendekatan metakognitif, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini hal tersebut dianggap sebagai my dreams, maka potensi yang ada dalam diri akan terpancar dan individu tersebut akan berusaha untuk menggapai. Di dalam metakognitif, seorang anak juga akan membentuk dari pertanyaan ‘hal apa yang harus dilakukan?’ dan ‘bagaimana cara menyelesaikannya?’. Menurut teori Piaget hal ini dilakukan dengan tahapan yang berbeda, namun dalam teori Field Lewin hal ini dilakukan sepanjang perjalanan.
ADVERTISEMENT

2. Pendekatan Konstruktivisme

Pendekatan konstruktivisme dapat dilakukan secara individual atau sosial (kelompok). Dengan pendekatan konstruktivisme suatu hal dapat terputus pada bagian metakognitif (problem solving), karena sudah merancang tetapi butuh penguatan. Oleh karena itu, pendekatan konstruktivisme ini membutuhkan adanya pembelajaran dalam mengaplikasikan analisa SWOT, yaitu strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman). Oleh karena itu, pada konstruktivisme terdapat kata konstruksi yang dianggap sebagai sebuah bangunan yang membutuhkan analisis Field Lewin. Pada bagian analisis kelompok akan berkaitan dengan partikel intelegensi bagian mana yang akan dimiliki oleh diri ini. Bagi orang yang memiliki intrapersonal tinggi, maka akan nyaman dengan diri sendiri. Akan tetapi, bagi orang yang memiliki interpersonal tinggi, maka akan nyaman dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam pendekatan konstruktivisme terdapat planning yang sesuai dengan pemikiran masing-masing orang. Tentu, planning juga membutuhkan analisa SWOT. Dalam pembuatan makalah, maka seorang telah membuat rencana (planning), pembuatan, konstrak, output, dan hasil. Hal ini merupakan bayangan dari konstruktivisme. Dalam lingkungan kampus, terdapat dosen yang melakukan metode pengajaran dengan persentase utama sebesar 80% pada psikologi kognitif, sementara itu persentase sebesar 20% adalah gabungan. Tidak hanya itu, karena terdapat pula dosen yang melakukan metode pengajaran dengan menggabungkan semua teori belajar, mulai dari saling menghargai kelebihan dan kekurangan mahasiswa, stimulus, dan respon.
Jadi, metakognitif dan konstruktivisme adalah pendekatan di dalam teori belajar kognitif. Pembentukan untuk menjadi pendekatan untuk dipraktikkan, tidak mungkin bisa menjadi pendekatan konstruktivisme, tetapi tidak diarahkan dari pemahaman, pengetahuan, dan analisis. Dalam teori Piaget analisis tergantung pada usia. Jika seseorang tidak terbiasa diajarkan untuk menerapkan metakognitif, maka orang tersebut lebih mudah menyerah sebelum berusaha untuk melakukan problem solving. Seseorang tidak akan bisa melakukan problem solving apabila kognitifnya tidak dilampaui.
ADVERTISEMENT
.
.
.
Dosen Pengampu: Maolidah, M.Psi.