Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lelah yang Tak Terlihat
28 Mei 2022 6:25 WIB
Tulisan dari Alya Nurul Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap orang tua pasti mengkhawatirkan kondisi sang anak kapan pun dan di mana pun berada. Orang tuaku salah satunya. Berbeda dengan yang lain, aku memanggil mereka dengan sebutan Abi dan Ibu.
ADVERTISEMENT
Abiku adalah seorang Ayah yang sangat mengkhawatirkan keadaan anaknya. Abi rela pindah pekerjaan ke tempat yang lebih dekat dengan rumah agar bisa mengantar jemputku ke sekolah. Meski bentrok dengan jam kerjanya, Abi keukeuh untuk mengantarku ke sekolah dengan selamat.
Awalnya, aku kesal karena harus berangkat pagi dibanding teman-temanku yang lain. Masalahnya, hanya ada sedikit siswa yang baru datang. Aku tiba sepagi itu saat sekolah masih sepi. Selain itu, aku tidak suka menunggu dan berdiam diri di dalam kelas. Aku bisa saja berangkat siang menggunakan angkutan umum, tetapi Abi tetap memaksaku untuk berangkat bersama pagi-pagi.
Karena itu, tidak jarang aku sengaja mengulur waktu ketika sedang bersiap-siap agar bisa berangkat lebih siang. Aku juga senang ketika lalu lintas macet di pagi hari, apalagi di hari hujan. Waktu tempuh perjalanan akan lebih lama dari biasanya karena kendaraan melaju dengan lambat.
ADVERTISEMENT
Suatu hal yang wajar jika jalanan pagi itu dipadati oleh orang-orang yang melakukan aktivitas, entah sekolah ataupun bekerja. Lalu lintas yang macet tidak bisa diprediksi begitu saja. Abiku selalu mengantisipasi hal tersebut. Berbeda denganku, Abi sangat gelisah ketika melihat jalanan yang sudah dipadati oleh berbagai kendaraan. Takut telat, ujarnya. Aku sih malah senang karena tidak kepagian sampai di sana. Namun bagi Abi, hal itu berpengaruh kepada jadwal kerjanya.
Sekolahku dan tempat kerja Abi memang tidak searah. Jarak dari rumah ke tempat kerja lebih dekat daripada jarak dari rumah menuju sekolah. Abi harus balik arah menuju kantornya setelah mengantarku ke sekolah. Cukup memakan waktu, apalagi Abi menggunakan mobil dan jalan menuju sekolahku sering kali macet dipenuhi anak sekolahan yang membawa kendaraan bermotor. Abi mau tidak mau harus pasrah telat sampai di kantornya.
ADVERTISEMENT
Aku tahu hal itu, namun aku tetap ingin berangkat siang. Egois, bukan? Bahkan aku pernah memasang ekspresi kesal di depan Abi karena berangkat sangat pagi. Dari belakang bangku kemudi, aku mengoceh dalam diam sambil cemberut. Sesekali Abi melihatku melalui kaca spion dalam mobil. Sama denganku, Abi juga berada di posisi yang serba salah.
Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah saat bersikap seperti itu, tapi aku juga tidak bisa terus memendamnya. Jika aku mengutarakan, takut malah menjadi beban pikiran bagi Abi. Namun, yang kulakukan juga bukanlah sikap yang benar. Mungkin aku masih terlalu kekanak-kanakan? Pikiranku masih belum dewasa untuk bisa memahami situasi tersebut.
Sampai suatu ketika, Abi menegurku agar tidak berlama-lama dan bergerak lebih cepat saat bersiap diri. Abi menjelaskan kepadaku -dengan wajah memelasnya- kalau dirinya sering terburu-buru karena terjebak macet, sehingga sampai di kantor terlalu mepet. Aku memikirkannya. Memikirkan Abi yang mengebut di jalanan hingga nekat menyalip, takut malah menjadi bahaya baginya.
ADVERTISEMENT
Aku merasa kasihan dan menyesal pernah bersikap sangat buruk kepada Abi. Padahal saat lelah pun, Abi tetap berusaha mengantar jemputku, bahkan di sela-sela waktu sibuknya. Mungkin Abi ingin melihat anak perempuannya ini selamat sampai sekolah dan tiba di rumah dengan aman, makanya rela meluangkan waktu untuk mengantarku sendiri. Namun, aku malah mengecewakannya.
Seharusnya aku bisa membicarakan baik-baik daripada mengungkapkannya dengan ekspresi kesal. Abi tidak akan bisa mengetahui isi hatiku jika aku diam saja. Aku pun tidak bisa hanya memikirkan diriku sendiri dan menuntut orang-orang agar selalu mengikuti apa yang kuinginkan.
Seiring waktu, aku mulai menerimanya. Berusaha untuk berangkat lebih pagi dan menjalaninya dengan ikhlas, juga memperbaiki sikapku menjadi lebih baik. Aku harus memikirkan posisi orang lain dahulu sebelum bersikap agar tidak membuat kesalahan. Bagaimana jika aku berada di posisi Abi? Apakah tidak akan sakit hati mendapat perilaku buruk dari anak perempuannya?
ADVERTISEMENT
Aku tahu... Abi merasa sakit hati diperlakukan seperti itu olehku, tetapi hanya diam. Tidak marah kepadaku, hanya menegur dan menasihatiku. Abi, aku minta maaf sering mengecewakan. Aku belum bisa membahagiakan, bahkan masih menjadi seorang anak yang membebankan.
Aku merasa malu, belum menyadari perjuangan dan jasa orang tuaku yang begitu banyak. Tanpa mengenal lelah, mereka lebih mementingkanku daripada dirinya sendiri. Perlahan, sedikit demi sedikit, aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik, seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tua.