Menengok Sejarah Kwitang sebagai Pusat Penjualan Buku

Alya Nurul Hasanah
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
11 November 2022 14:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Nurul Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tempat lapak buku. Foto: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tempat lapak buku. Foto: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kwitang merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Kawasan ini dulunya berada di lingkup Weltevreden, tempat pusat Kota Jakarta di Zaman Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Weltevreden, tempat historis di Jakarta Pusat yang hingga kini masih dimanfaatkan sebagai pusat pemerintahan, perkantoran, museum, dan juga peninggalan sejarah. Hampir seluruh daerah di Jakarta Pusat saat ini, termasuk Kwitang, dihitung sebagai Weltevreden.
Nama Kwitang berasal dari seorang pengembara sekaligus pedagang dari China yang bernama Kwee Tang Kiam. Sukses karena usahanya, ia menjadi tuan tanah di lingkungan tempat tinggalnya, sehingga orang-orang Betawi di zaman itu menyebut kampung tempatnya tinggal sebagai Kwitang.
Selain dikenal tempat ahli pencak silat, Kwitang rupanya pernah berjaya di tahun 80-an menjadi pusat penjualan buku. Kwitang juga terkenal karena memiliki lapak buku bekas tersendiri yang disebut pasar buku Kwitang. Lokasi ini menjadi tempat legendaris di kalangan anak muda yang mencari buku bekas, baru, hingga buku-buku lama yang sudah tidak dicetak.
ADVERTISEMENT
Awalnya hanya satu-dua pedagang, namun di tahun 90-an ratusan pelapak buku lainnya ikut menjajakan dagangannya memenuhi sepanjang kawasan Kwitang, bahkan hingga melimpah ke jalan-jalan. Menjadi lapak favorit banyak orang, pedagang memasarkan buku dengan harga relatif murah, sehingga disukai oleh mahasiswa dan para pecinta buku.
Beragam jenis buku pelajaran hingga sastra tentu saja tersedia. Apalagi dengan kehadiran film Ada Apa dengan Cinta, yang menampilkan Kwitang sebagai salah satu latar lokasi adegan dalam film. Kwitang sedang berjaya saat itu, bersamaan dengan hadirnya Toko Buku Gunung Agung.
Toko Buku Gunung Agung merupakan usaha toko buku dan alat tulis yang didirikan pada tahun 1953 oleh Tjio Wie Tay atau dikenal Haji Masagung. Toko yang mulanya hanya kios sederhana ternyata berkembang pesat menjadi tempat penjualan buku, surat kabar, dan majalah, serta jasa percetakan, penerbitan, distribusi, hingga berbagai pesanan yang mereka terima dari luar Jakarta.
ADVERTISEMENT
Gunung Agung merupakan toko buku populer pertama yang menggelar pameran perbukuan bertajuk "Pekan Buku Indonesia 1954". Melalui pameran tersebut, menghasilkan buku setebal 331 halaman dengan judul yang sama. Hal ini membuat Gunung Agung menjadi salah satu toko buku yang mengenalkan kepada masyarakat mengenai informasi lengkap dunia penerbit dan percetakan buku di Indonesia.
Pendiri Gunung Agung, Masagung, dikenal dekat oleh Sukarno dan Bung Hatta melalui peran tersebut. Gunung Agung semakin berkembang pesat dan dipercaya oleh pemerintah untuk menggelar berbagai pameran buku Indonesia tingkat nasional hingga di Malaka dan Singapura.
Banyak tokoh penting memercayakan Gunung Agung sebagai penerbit buku mereka. Karena kedekatan keduanya, Masagung dipercaya Sukarno untuk menerbitkan dan mendistribusikan terjemahan otobiografi miliknya, berjudul "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".
ADVERTISEMENT
Kemudian, pesona Pasar Kwitang sudah semakin meredup sejak para pedagang direlokasi pada tahun 2007-2008. Namun, Kwitang tetap identik dengan pasar buku bekas. Toko Buku Gunung Agung menyaksikan perjalanan Kwitang, yang dulunya sempat berjaya menjadi tempat pelapak buku bekas kini hanya sebatas kenangan lama.