Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perjalanan Sore Hari di Jakarta, dari Juanda hingga Kwitang
9 November 2022 16:00 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Alya Nurul Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tepat di hari senin bulan November, kami berdua memutuskan pergi mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Jakarta Pusat. Keperluan kami cukup mendesak, padahal disisi lain ada kegiatan lagi yang tidak bisa kami tinggalkan. Namun, juga tidak bisa menundanya karena waktu yang memang terbatas.
ADVERTISEMENT
Kami sepakat bahwa perjalanan ke Jakarta ini harus dilakukan setelah urusan lainnya selesai. Tidak bisa ditunda lagi. Kenyataannya, ini salah kami karena mepet merencanakan sesuatu yang keperluannya mendesak. Tak bisa berbohong, benak kami terus saja memikirkan waktu yang berjalan. Takut tidak sempat pergi dan rencana yang tidak bisa ditunda itu harus gagal.
Awan mendung putih memang sudah terlihat sejak pagi hari. Namun, kami tidak menyangka akan turun hujan saat hendak berangkat. Sejujurnya, hujan tidak deras, tetapi kami tetap menunggu hingga reda. Tidak mau ambil resiko kehujanan di tengah jalan. Rencana itu tetap kami jalankan meskipun hari semakin menjelang sore.
Perjalanan dari tempat tinggal saya ke kota tujuan tidak bisa terbilang dekat. Karena itu, kami sempat pesimis oleh waktu yang terbuang di jalan. Saya memastikan waktu tempuh ke Jakarta melalui informasi dari Google Maps. Tertulis sekitar 1 jam 35 menit untuk sampai tujuan dengan menggunakan transportasi umum KRL (Kereta Rel Listrik) Commuter Line.
ADVERTISEMENT
KRL menjadi salah satu transportasi yang kami pilih karena cepat dan tarifnya murah. Hanya Rp5000 untuk sekali perjalanan dari Bogor ke Kota Jakarta. Beruntungnya, kereta tujuan Jakarta Kota ini cukup sering terjadwal, sehingga tidak perlu menunggu lama saya mulai berangkat dari stasiun Bojonggede.
Pada waktu menjelang sore, kereta tujuan terakhir Jakarta Kota itu memang tidak begitu ramai. Setidaknya tidak seramai pagi hari yang selalu padat dipenuhi oleh para pegawai kantoran. Saya melihat sekeliling gerbong 7 yang cukup lengang itu. Masih banyak bangku-bangku kosong yang belum terpenuhi. Stasiun demi stasiun akhirnya terlewati dan bangku yang kosong semakin terisi oleh beberapa orang.
Kami bertemu di stasiun Lenteng Agung dengan menaiki satu kereta yang sama. Melalui Whatsapp, saya mengabari dirinya bahwa saya berada di gerbong 7. Tujuan kami berbeda, tetapi lokasinya sama-sama terletak di Jakarta Pusat. Karena itu, kami merencanakan tempat tujuan pertama yang akan dikunjungi.
ADVERTISEMENT
Hanya berbekali Google Maps, saya mengikuti arahan tersebut. Turun di stasiun Juanda dan jalan sekitar 700 meter. Buru-buru kami keluar dari stasiun dan langsung berjalan kaki menuju Gedung Kesenian Jakarta -tempat tujuan teman saya- karena gedung tersebut tutup jam 4 sore, yang artinya hanya tersisa waktu 30 menit untuk sampai di sana sebelum tutup.
Kami berjalan di atas trotoar, tepat di samping sungai, menyusuri sepanjang Jl. Ir. H. Juanda hingga Jl. Pasar Baru. Suasana sore hari di jalan raya itu terlihat ramai oleh kendaraan bermotor, tetapi tidak macet. Sesuai arah Google Maps, kami hanya perlu berjalan lurus hingga bertemu tikungan besar ke Jl. Gedung Kesenian. Namun, kami harus berjalan sedikit lagi untuk menyebrang di JPO (Jembatan Penyebrangan Orang) Pasar Baru.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak anak sekolah yang memakai seragam putih-putih berpapasan dengan kami di sepanjang jalan. Beberapa ada yang berjalan kaki dan ada yang sedang menunggu bus di halte TransJakarta. Ternyata memang benar ada sekolah kejuruan, letaknya persis di samping JPO yang tadi kami lewati. Tidak jauh dari JPO, kami melewati toko lukisan sambil melihat karya lukisan dan karikatur seniman pasar baru yang dipajang di tiap-tiap pintu masuk agar orang-orang bisa menikmatinya. Gedung Kesenian Jakarta terletak tepat di seberangnya.
Gedung Kesenian Jakarta atau disingkat GKJ berlokasi di Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat. GKJ merupakan salah satu gedung bersejarah di kawasan yang dulunya bernama Weltevreden. Gedung yang dibangun tahun 1821 ini sempat dikenal dengan nama Theater Schouwburg Weltevreden dan digunakan sebagai tempat pertunjukan seni para seniman Nusantara. Berbagai pertunjukan yang pernah ditampilkan di gedung tersebut, seperti drama, teater, film, dan sastra.
ADVERTISEMENT
Kejutan lain yang tidak terduga ternyata datang lagi kepada kami. Ketika tiba di sana, gedung putih tersebut tutup sementara waktu karena sedang dalam perbaikan. Kami terpaku melihat kondisi GKJ yang direnovasi tersebut. Ditutup oleh kain putih dan terdapat beberapa kayu sebagai penunjang bangunan.
Gedung Kesenian Jakarta dikelilingi oleh pagar berwarna putih yang tinggi dan lebar. Karena itu, kami tidak sadar ternyata ada kegiatan renovasi yang sedang mereka lakukan. Sempat maju mundur untuk masuk ke area proyek tersebut, kami akhirnya menghampiri dua orang satpam. Sekedar bertanya mengenai informasi kapan dimulai dan selesainya renovasi gedung seni itu.
Lalu lintas di Jl. Gedung Kesenian terlihat jauh lebih padat dibandingkan jalan sebelumnya di Juanda. Jalanan itu penuh oleh mobil-mobil yang terus berdatangan. Selain mobil, ada juga bus, serta beberapa motor yang memanfaatkan trotoar sebagai tempat melintas, padahal khusus untuk pesepeda dan pejalan kaki.
ADVERTISEMENT
Setelah menengok GKJ yang tutup dan tampak sepi itu, kami lanjut berjalan mencari halte Kantor Pos Lapangan Banteng, tempatnya di depan Sekolah Santa Ursula. Karena itu, kami terus melihat anak sekolah sepanjang sore hari. Bus TransJakarta yang kami tumpangi berkode 6H menuju pemberhentian akhir halte Lebak Bulus.
Tiba di halte Tugu Tani 2, kami turun dan berjalan lagi sekitar 350 meter menuju Toko Buku Gunung Agung. Tempat sejarah Jakarta yang menjadi tujuan saya. Lokasinya berada di kawasan Kwitang yang pernah berjaya oleh ratusan pelapak buku bekas.
Toko Buku Gunung Agung merupakan usaha toko buku dan alat tulis yang populer pada masanya. Tjo Wie Tay atau Haji Masagung pendiri Gunung Agung (GA) di tahun 1953. Banyak tokoh penting yang memercayakan Gunung Agung sebagai penerbit buku mereka. Salah satunya Sukarno dan Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Bangunan ini memiliki 3 lantai. Pengunjung bisa menggunakan eskalator ataupun tangga yang letaknya berada di samping. Saat memasuki lantai paling dasar, kami langsung disambut oleh petugas yang menanyakan keperluan kami. Petugas wanita tersebut kemudian mengarahkan kami ke lantai 3 yang isinya berbagai buku bacaan.
Lantai paling dasar menyajikan berbagai keperluan kantor dan perlengkapan komputer. Sedangkan di lantai 2, menyediakan kebutuhan sekolah dan alat tulis yang cukup lengkap. Selain buku bacaan, di lantai 3 juga menjual berbagai pakaian dan perlengkapan haji, serta obat-obatan herbal. Dari lantai ini, kami melihat pemandangan Jakarta dan hilir mudik kendaraan. Di lantai paling atas, ada musala untuk beribadah yang terletak di rooftop. Selain itu, kami bisa menikmati langit Jakarta dari rooftop yang terbuka.
ADVERTISEMENT
Menurut sejarah, sepanjang kawasan Kwitang ini pernah menjadi lapak pedagang buku bekas, buku baru, hingga buku lama yang sudah tidak cetak lagi. Nama Kwitang dikenal sebagai pusat penjualan buku. Meskipun pesona Pasar Kwitang semakin meredup sejak para pedagang direlokasi, Kwitang tetap identik dengan pasar buku bekas.
Toko Buku Gunung Agung menjadi gedung bersejarah -saksi sejarah- perjalanan Kwitang, yang sempat berjaya menjadi tempat pelapak buku bekas. Namun, saat kami mengunjungi lokasi tersebut, sudah tidak ada lagi para pelapak buku yang terlihat di pinggir jalan.
Perjalanan ke tempat sejarah itu telah berakhir. Di penghujung petang, kami balik menuju halte Tugu Tani 2 untuk menunggu JakLingko. Sebuah transportasi publik yang hanya tersedia di kawasan Jakarta. Kami menaiki JakLingko 10A tujuan stasiun Cikini. Karena memakai kartu khusus JakLingko, tidak dikenakan sedikit pun biaya tarif perjalanan.
ADVERTISEMENT
Selama memulai perjalanan ke lokasi tujuan, kami hanya mengandalkan Google Maps. Tempatnya mudah dikenali karena berada di kawasan strategis. Keberadaan gedung-gedung tersebut ada di pinggir jalan, sehingga tidak sulit mencarinya. Hanya saja, kami kurang merencanakan perjalanan dengan matang.
Akhirnya kami pulang menaiki kereta ke stasiun Jakarta Kota, lalu naik lagi menuju kereta Bogor agar bisa mendapat tempat duduk karena sangat lelah. Meskipun perjalanan ini mendadak, rencana kami terpenuhi untuk pergi ke kawasan Weltevreden, tempat bersejarah di pusat Kota Jakarta.
Jika sudah niat, perjalanan mendadak sekalipun akan terpenuhi, meskipun terburu-buru seperti yang kami lakukan.