Konten dari Pengguna

Suku Ainu, Penduduk Asli Jepang yang Bersembunyi

Alya Restu Rahma Insani
Mahasiswa - Program Studi S1 Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.
6 April 2023 6:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Restu Rahma Insani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pakaian Tradisional Suku Ainu, Sumber: shutterstock.com
Jepang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai kurang lebih 6800. Pulau-pulau tersebut membentang sepanjang 3000 kilometer dari utara ke selatan. Empat pulau utamanya yaitu Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Batas wilayah Jepang berupa perairan di sebelah utara yaitu Pulau Sakhalin (yang dikuasai Rusia) dan Siberia, dan di sebelah barat berbatasan dengan Semenanjung Korea dan China.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jepang termasuk salah satu yang homogen dengan cultural diversity index 0-1. Hal tersebut tak lepas dari adanya Politik Sakoku atau politik isolasi negara yang dijalankan oleh Pemerintahan Tokugawa selama kurang lebih dua ratus tahun, hingga pada tahun 1868 melalui Restorasi Meiji, Jepang akhirnya kembali sebagai negara yang terbuka. Sehingga jika kita melihat Jepang pada masa sekarang, maka kita akan menemukan Jepang yang semakin multikultural. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya akses dan kemudahan orang asing untuk masuk dan menetap di Jepang. Isu homogenitas Jepang semakin bermunculan dengan keberadaan kelompok minoritas yang telah lama ada dan menetap di Jepang. Salah satunya, Ainu.
Seorang Pria dengan Baju Tradisional Suku Ainu di Museum Shiraoi Ainu, Sumber: Shutterstock.com
Ainu adalah penduduk asli Jepang yang sebagian besar menetap di Hokkaido, sebuah pulau di Jepang Utara. Orang Ainu menyebut Hokkaido sebagai Ainu Moshiri (Tanah Ainu). Mayoritas dari mereka tinggal di sepanjang pantai selatan Hokkaido yang lebih hangat. Beberapa ahli menyatakan bahwa Ainu merupakan ras keturunan mongoloid dari Timur Laut dan Asia Tengah yang bermigrasi ke Jepang sebelum Zaman Jomon. Bahasa asli yang digunakan oleh Suku Ainu sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan Bahasa Jepang maupun bahasa lain yang ada di dunia. Selain itu, agama dan budaya Suku Ainu tidak memiliki banyak kaitan dengan negara-negara terdekat mereka. Secara fisik, mereka memang terlihat lain dibandingkan dengan sebagian besar populasi Jepang. Pria Ainu rata-rata memiliki tinggi lima kaki empat inci, sedangkan Wanita Ainu tingginya mencapai lima kaki satu setengah atau dua inci. Suku Ainu memiliki rambut yang lebat, ikal, dan cenderung berwarna abu-abu cerah atau merah. Rambut laki-laki dan perempuan dipotong ke belakang berbentuk bulan seperempat, bagian depan kadang-kadang dibiarkan mencapai bahu, sedangkan tengkuk dan bagian depan kepala dicukur bersih. Kulitnya lebih daripada orang jepang, dan mata berwarna coklat tua atau hitam yang berbinar dalam. Para pria memunyai jenggot gelap yang halus, alis lebat, tulang pipi menonjol, kepala depan tinggi (Batchelor, 1892:20-24). Para wanita, biasanya memiliki tato berwarna hitam di sekeliling mulut.
ADVERTISEMENT
Meskipun Suku Ainu merupakan penduduk asli di Hokkaido, ketidakjelasan asal-usul serta perbedaan yang menonjol dari segi bahasa, tradisi, dan kebudayaan, membuat Suku Ainu mengalami diskriminasi oleh Pemerintahan Jepang sejak abad ke-19 dengan diterbitkannya Hukum untuk Perlindungan Penduduk Asli Hokkaido Aborigin tahun 1899, kebijakan asimilasi yang diberlakukan kepada Suku Ainu. Undang-Undang tersebut mengubah orang Ainu menjadi petani sehingga mereka dilarang berburu rusa dan memancing ikan salmon. Mereka diharuskan mengadopsi nama jepang, berbicara menggunakan Bahasa Jepang, dan dilarang melakukan praktik adat Ainu kuno, seperti upacara tradisional Ainu yang melibatkan beruang. Akibatnya, struktur sosial dan lingkungan hidup mereka mengalami perubahan besar karena pembatasan adat, bahasa, dan mata pencaharian mereka. Para wanita Ainu juga melakukan pernikahan dengan orang Jepang yang menyebabkan tingkat pernikahan antara orang Ainu dan orang Jepang meningkat dan berkontribusi lebih jauh terhadap erosi bahasa dan budaya Ainu.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, populasi Suku Ainu diperkirakan sekitar 25.000. Perkiraan jumlah tersebut mengundang banyak perdebatan karena sampai sekarang tidak diketahui jumlah pasti dari populasi Suku Ainu. Banyak yang menyebutkan bahwa jumlah populasi Suku Ainu sebenarnya lebih dari itu, hanya saja mereka hidup bersembunyi. Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari diskriminasi dan stigma sosial sehingga taraf hidup mereka meningkat.
Museum Shiraoi Ainu, Sumber: Shutterstock.com
Guna menghindari hilangnya keberadaan Ainu beserta segala kebudayaan yang berpotensi menjadi kekayaan bagi Negara Jepang, Pemerintah Jepang secara resmi mengakui Suku Ainu sebagai penduduk asli Jepang pada tahun 2019. Sebagai salah satu langkah penting dalam memperkenalkan budaya Ainu secara luas, Pemerintah Jepang juga membangun Pusat Promosi Budaya Ainu yang menjadi fasilitas kota pertama di Jepang yang menampilkan penduduk asli bagi para turis lokal maupun internasional. Para pengunjung dapat merasakan pengalaman menonton tarian tradisional, merasakan kerajinan tangan Ainu, dan membayangkan kehidupan tradisional Ainu ketika daerah tersebut masih hutan belantara. Selain itu, terdapat museum kecil di pusat budaya tersebut yang menyimpan artefak budaya Ainu, seperti pakaian dan peralatan tradisional. Tidak hanya melihat-lihat, pengunjung juga bisa mengikuti workshop sulaman Ainu atau belajar membuat mukkuri (harpa mulut bambu) yang menjadi alat musik khas Ainu.
ADVERTISEMENT
Citra Jepang sebagai negara dengan masyarakat yang homogen sepertinya sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut dapat terlihat dari eksistensi kelompok minoritas yang sudah lama ada dan menetap di Jepang, salah satunya adalah Suku Ainu. Selama ini, Suku Ainu biasa dianggap sebagai peserta pasif dan marjinal dalam sejarah dan masyarakat Jepang. Beberapa keturunan Ainu yang berusaha menyembunyikan latar belakang etnis mereka, mencerminkan fakta bahwa mereka menghindari diskriminasi dan stigma sosial. Perjuangan Ainu untuk identitas dan ekspresi etnis, menyoroti keberagaman sosial dan budaya Jepang sekaligus mengungkap kekosongan mitos tentang homogenitas Jepang.
Daftar pustaka
Batchelor, J. (1892). The Ainu of Japan. London: The Religious Track Society.
Cheung, S. C. H. (2003). Ainu culture in transition. Futures, 35, 951–959. https://doi.org/10.1016/S0016-3287(03)00051-X
ADVERTISEMENT
Widiandari, A. (2021). Keberadaan Kelompok Minoritas : Mitos Homogenitas Bangsa Jepang. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, 5(2), 249–256.