Konten dari Pengguna

Runtuhnya Rana Plaza dalam Kacamata World Systems Theory dan Poskolonialisme

Alya Zaskia
Mahasiswa S-1 Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
30 Desember 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Zaskia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Runtuh sebagai Ilustrasi Runtuhnya Gedung Rana Plaza, Sumber: Paxels/Baset Alhasan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Runtuh sebagai Ilustrasi Runtuhnya Gedung Rana Plaza, Sumber: Paxels/Baset Alhasan
ADVERTISEMENT
Tragedi runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada 24 April 2013 menewaskan lebih dari 1.125 nyawa ketika gedung berlantai delapan yang menampung beberapa retail Barat tersebut ambruk. Hal ini menggambarkan kondisi kerja tidak manusiawi yang terjadi pada sektor garmen di Bangladesh. Sebelum insiden, para pekerja telah melaporkan adanya keretakan di struktur bangunan, namun tetap dipaksa bekerja karena tekanan produksi yang tinggi dari perusahaan-perusahaan Barat.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini memicu kritik global terhadap praktik bisnis fast fashion yang mengabaikan keselamatan pekerja di negara-negara Global South, khususnya di Bangladesh. Namun, faktor apa sebenarnya yang berpengaruh besar terhadap tragedi ini? Apakah tragedi ini semata-mata kesalahan para pekerja atau mungkin terdapat juga tanggung jawab retail Barat? Oleh karena itu, penulis ingin membahas lebih lanjut bagaimana world systems theory dan poskolonialisme memandang tragedi ini. Apakah runtuhnya Rana Plaza hanya sekedar bangunan yang tidak terurus atau ada tangan-tangan tak terlihat yang berkontribusi terhadap tewasnya ribuan orang di Bangladesh ini?
World Systems Theory dan Poskolonialisme
World systems theory yang dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein menganggap bahwa negara-negara di dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: negara ‘core’ yang maju dan dominan; ‘semi-periphery’ yang setengah maju; dan ‘periphery’ yang terbelakang serta bergantung pada negara lain. Negara core adalah negara kaya dan memproduksi barang-barang yang banyak dikonsumsi dengan menggunakan bahan mentah yang diimpor dari negara periphery maupun semi-periphery. Negara periphery mengekspor tenaga kerja dan bahan mentah yang murah ke negara core.
ADVERTISEMENT
Dalam struktur ini, negara core akan dianggap lebih maju dan berkembang sementara negara yang kurang berkembang adalah negara periphery. Hirarki global ini tidak terjadi secara alamiah. Wallerstein berpendapat bahwa, sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme selalu beroperasi melalui struktur hirarki yang sangat tidak setara dan asimetris. Sistem dunia kapitalis dan kolonial ini terus berjalan dengan mengekspor bahan mentah dan tenaga kerja murah dari negara-negara yang sebelumnya dijajah. Pada konteks ini Bangladesh adalah negara periphery, sedangkan negara-negara Barat yang merelokasikan produksi retail fashion mereka adalah negara core.
Meskipun world systems theory dapat membantu dalam menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan pengaruh dan kekuasaan internasional telah terbentuk melalui dominasi ekonomi, teori ini kurang berfokus pada hal-hal di luar modal dan sumber daya. Di sinilah poskolonialisme akan digunakan untuk memperluas jangkauan analisis. Poskolonialisme mengekspos ‘sifat penaklukan dan penindasan poskolonial’ dengan mendekonstruksi berbagai bentuk diskursus dan media. Oleh karena itu, dengan menerapkan poskolonialisme dan world systems theory pada Bangladesh, kita dapat mengungkap mekanisme diskursif yang berusaha menyembunyikan dan menaturalisasi sistem siklus penggalian modal dan penaklukan ekonomi oleh negara Barat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, poskolonialisme, sebagai sebuah teori, dianggap mulai muncul pada awal tahun 1980-an yang dimulai oleh Edward Said. Said menegaskan bahwa konsep ‘the Orient’, yang mengacu pada konsepsi Barat tentang masyarakat di luar Barat diciptakan sebagai kontradiksi terhadap ‘the Occident’, atau dunia Barat. Ia membahas bagaimana kekuatan kolonial terutama konteksnya di sini negara Barat telah membangun identitas yang tidak setara antara Barat dan seluruh dunia untuk mengamankan hirarki global yang menguntungkan Barat. Konsekuensi dari kolonialisme masih terus berlanjut dalam bentuk kekacauan, kudeta, korupsi, perang saudara, dan pertumpahan darah, yang merembes ke banyak negara bekas jajahan. Faktanya, sistem internasional modern sendiri adalah produk dari interaksi kolonial yang terjadi selama lima abad terakhir. Oleh karena itu, analisis sistem internasional tanpa poskolonialisme dianggap tidak akan lengkap.
ADVERTISEMENT
Poskolonialisme dapat mengungkapkan tidak hanya akibat dari eksploitasi ekonomi negara non-Barat oleh negara Barat, tetapi juga menampilkan konsekuensi dari narasi yang terus muncul dari ketidakseimbangan kekuasaan yang ada. Eksploitasi ekonomi Bangladesh tidak dimulai ketika industri garmennya tercipta, tetapi dimulai sejak wilayahnya dikolonisasi. Bangladesh dijajah oleh Inggris pada abad ke-18 hingga tahun 1947. Dari tahun 1947 hingga 1971, Bangladesh dikenal sebagai Pakistan Timur. Meskipun selama masa itu Pakistan Barat dan Timur merupakan produsen bahan mentah, sebagian besar keuntungan yang diperoleh dari produksi ini dialokasikan ke Pakistan Barat, menyebabkan kesenjangan yang melebar antara ekonomi dan sumber daya mereka. Ketika Bangladesh memperoleh kemerdekaan dari Pakistan, tidak ada pabrik garmen di negara baru tersebut. Namun, industri pakaian jadi yang mengglobal memberikan kesempatan bagi negara Barat untuk mengkapitalisasi sumber daya yang dibutuhkan oleh industri padat karyanya, yaitu tenaga kerja berupah rendah di Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Peristiwa runtuhnya Rana Plaza dapat dianalisis oleh kedua teori ini karena terdapat kaitan langsung antara eksploitasi ekonomi oleh para penjajah di masa lalu terhadap masyarakat Bangladesh yang telah berkontribusi pada identitas diskursif kolonial mereka. Pada akhirnya, hal ini beperan pada pelestarian ketimpangan ekonomi yang sampai sekarang terus mengeksploitasi masyarakat Bangladesh. Oleh karena itu, selain menelaah tragedi ini melalui world systems theory, diperlukan poskolonialisme yang dapat menjelaskan interaksi historis, khususnya antara negara kolonial Eropa dan negara-negara yang dikolonisasinya, sehingga telah menciptakan hubungan bias di sistem global hingga sekarang.
Di Balik Runtuhnya Rana Plaza
Rana Plaza sebagai pabrik produksi garmen memproduksi baju untuk merek yang kebanyakan berasal dari Eropa dan Amerika Utara, seperti Disney, Walmart, Gap, dan Tommy Hilfiger. Setelah tragedi tersebut, merek-merek internasional berusaha untuk menenangkan konsumen yang menjunjung etika dan peduli terhadap keselamatan serta hak-hak pekerja, tetapi para retail Barat terus mengejar produsen garmen berbiaya sangat rendah di negara lain. Poskolonialisme membantu menunjukkan bagaimana sejarah kolonial Bangladesh dan hilangnya kendali atas sumber daya alamnya berkaitan dengan bagaimana negara ini direpresentasikan di mata dunia. World systems theory kemudian dapat membuat eksploitasi ekonomi sejak dahulu yang dialami Bangladesh menjadi relevan dengan menjelaskan bagaimana eksploitasi tersebut masih terjadi.
ADVERTISEMENT
Ketika permintaan ekspor garmen mulai berpindah dari Tiongkok ke Bangladesh, perbincangan terus berpusat pada konsep persaingan global dan bukan pada alasan mengapa pergeseran tersebut terjadi, yaitu karena tenaga kerja yang murah. Ketika pabrik-pabrik garmen berpindah dari Tiongkok ke negara-negara yang lebih murah, Tiongkok digambarkan kehilangan keuntungan ekonominya ke negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam dan Kamboja karena upaya dalam menaikkan upah pekerjanya. Hal ini menyiratkan bahwa negara-negara dengan tenaga kerja termurah dan yang paling kompetitif adalah pemenangnya.
Karena Tiongkok memutuskan untuk menaikkan upah buruh pabrik, mereka seolah-olah salah karena kehilangan kemitraan dengan merek-merek besar yang tidak mau membayar lebih mahal untuk produknya. Bangladesh kemudian dipuji oleh media global karena telah meningkatkan industrinya dan menghasilkan lebih banyak ekspor, meskipun harus dibayar dengan upah yang rendah dan perlakuan buruk terhadap para buruh. Selain itu, hal ini secara tidak langsung menegaskan untuk dapat bersaing dalam sistem dunia saat ini negara-negara harus berproduksi semurah mungkin dengan mengorbankan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan menyatakan bahwa faktanya keputusan untuk tidak menaikkan upah pekerja dibela oleh eksportir serta pemilik pabrik karena margin keuntungan yang didapatkan sudah sangat tipis dan menaikkan harga dapat merugikan bisnis mereka. Para ekonom juga sempat menggembor-gemborkan kenaikan upah seperti yang terjadi di Tiongkok pada tahun 2010, meskipun sangat rendah, akan berefek pada ekonomi global dan akan menaikkan harga-harga barang. Hal ini membuat kenaikan upah tersebut tampak seperti hal yang negatif bagi dunia. Analisis poskolonialisme mengidentifikasi bagaimana upah rendah di Bangladesh dapat dibenarkan karena Bangladesh adalah negara 'berkembang'. Hal ini sejalan dengan sudut pandang world systems theory bahwa pasar yang kompetitif ini merupakan penegasan Bangladesh sebagai negara periphery yang terus mengekspor tenaga kerja dan bahan mentah dengan keuntungan yang kecil.
ADVERTISEMENT
Setelah runtuhnya Rana Plaza, liputan berita menggeser narasinya dari kompetisi global yang menguntungkan menjadi pelanggaran moral dan cacat nasional. Liputan berita global dan akademisi Barat saat itu memandang bahwa tragedi runtuhnya Rana Plaza disebabkan oleh ketidakmampuan sistemik dan kurangnya akuntabilitas serta fungsionalitas nasional di Bangladesh. Narasi ini menggambarkan insiden Rana Plaza sebagai sebuah tragedi tak dapat dielakkan yang sepenuhnya disebabkan oleh sifat masyarakat Bangladesh yang primitif dan tidak terorganisir, bukannya sebagai akibat dari kurangnya pengawasan pemerintah dan permintaan yang tinggi dari retail Barat yang membutuhkan biaya produksi rendah.
Beberapa laporan mengenai runtuhnya Rana Plaza berfokus pada kesalahan pemerintah Bangladesh dan sektor swasta, sementara secara halus mengidentifikasi kurangnya pembelaan perusahaan Barat terhadap para buruh. Dengan hanya menyalahkan perusahaan Barat yang menuntut serikat pekerja, mereka membebaskan perusahaan tersebut dari kesalahan lainnya dan mengabaikan peran Barat dalam permintaan produksi global dengan biaya rendah. Meskipun banyak perusahaan dan negara mengecam perlakuan terhadap buruh garmen Bangladesh setelah tragedi Rana Plaza, kurangnya kontra terhadap sistem ekonomi global yang masih mengandalkan tenaga kerja murah membuktikan bahwa ada kepercayaan tersembuyi bahwa Barat berhak memiliki atau menggunakan sebagian besar sumber daya dunia. Melalui tragedi runtuhnya Rana Plaza kita dapat menilik jika pendapat ini masih tertanam di dalam sistem dunia yang terus mengorbankan negara periphery untuk keuntungan negara core.
ADVERTISEMENT
Penutup
Poskolonialisme mengungkapkan bagaimana wacana Barat sering menggambarkan negara penjajah dan negara terjajah dalam dua kutub yang berlawanan. Penjajah digambarkan sebagai negara yang beradab, progresif, dan maju, sedangkan negara terjajah digambarkan sebagai negara yang tidak beradab, primitif, dan terbelakang. Runtuhnya Rana Plaza semakin membuktikan hal ini dengan cara media Barat menggambarkan keruntuhan tersebut sebagai produk dari ketidakmampuan pemerintah dan keterbelakangan Bangladesh, bukan hasil dari sistem ekonomi global yang menuntut produksi berbiaya rendah untuk dapat bersaing.
World systems theory memperluas analisis ini dengan mengekspos bagaimana negara-negara kaya dan perusahaan besar menginginkan produksi berbiaya rendah meskipun harus membayar pekerja dengan upah rendah, tunjangan yang buruk, dan adanya kemungkinan penganiayaan. Setelah peristiwa seperti Rana Plaza barulah ada permohonan atau pernyataan simpatik mengenai perlakuan terhadap pekerja. Selain itu, negara berkembang juga disalahkan karena terus berusaha berkompetisi di dalam sistem yang sama dengan sistem yang sebenarnya dikontrol oleh negara maju serta hanya menguntungkan mereka.
ADVERTISEMENT
Referensi
Aguirre Rojas, C. (2016). Introduction. In Uncertain worlds: world-systems analysis in changing times. Abingdon, Oxon: Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315631424
Barboza, D. (2010). China’s Exports May Become Costlier as Wages Rise. The New York Times. https://www.nytimes.com/2010/06/08/business/global/08wages.html
Biswas, S. (2016). 12. Postcolonialism. In International Relations Theories: Discipline and Diversity. Oxford: Oxford University Retrieved 23 Dec. 2024, from https://www.oxfordpoliticstrove.com/view/10.1093/hepl/9780198707561.001.0001/hepl-9780198707561-chapter-12
Campbell, C. (2013). Dying for some new clothes: Bangladesh’s Rana Plaza tragedy. Time. Retrieved from https://world.time.com/2013/04/26/dying-for-some-new-clothes-the-tragedy-of-rana-plaza/
Enloe, C. H. (2014). Bananas, beaches and bases: Making feminist sense of international politics (Second edition, completely and updated.). Berkeley, California: University of California Press. https://doi.org/10.1525/9780520957282
Gandhi, L. (1998). Postcolonial theory: A critical introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Rahman. (2014). Broken promises of globalization: The case of the Bangladesh garment industry. Lexington Books.
ADVERTISEMENT
Said, E. (1978). Orientalism. New York, NY: Vintage.
Seth, S. (2011). Postcolonial Theory and the Critique of International Relations. Millennium, 40(1), 167–183. https://doi.org/10.1177/0305829811412325
Wallerstein, I. (1976) The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth century. New York: Academic Press. pp. 229-233.
Yardley, J. (2013). Report on Deadly Factory Collapse in Bangladesh Finds Widespread Blame. New York Times. htt ps://www.nytimes.com/2013/05/23/world/asia/report-on-bangladesh-building-collapse-finds-widespread blame.html?searchResultPosition=1