Konten dari Pengguna

Melawan Toxic Masculinity dengan Tari Jaipong

Alya Fitri Ramadhani
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
7 Januari 2025 10:14 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alya Fitri Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mochamad El Fattih Kaafighanny Alria pada NuFACE Dance Competition. (sumber: Alya Fitri Ramadhani)
zoom-in-whitePerbesar
Mochamad El Fattih Kaafighanny Alria pada NuFACE Dance Competition. (sumber: Alya Fitri Ramadhani)
ADVERTISEMENT
Budaya patriarki yang sudah melekat terlalu erat dalam masyarakat acap kali membuat pergerakan laki-laki terbatasi, dilarang untuk melakukan banyak hal karena takut maskulinitas mereka ternodai. Dilarang untuk melakukan aktivitas dengan tendensi feminin adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh kaum laki-laki atas posisi tinggi yang mereka raup dari sistem patriarki. Dewasa ini, hal tersebut kerap disebut sebagai toxic masculinity.
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity atau maskulinitas beracun adalah standarisasi sikap atau sifat seorang pria secara berlebihan. Sebagai yang utama dalam masyarakat patriarki, laki-laki dituntut untuk selalu menjadi sosok yang tangguh dan mendominasi. Standar tersebut mewajibkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh, keras, dominan, serta minim ekspresi. Segala aktivitas yang kuat akan citra feminin haram hukumnya untuk mereka dekati, termasuk bidang seni. Laki-laki yang menggeluti seni tari acap kali tidak dipandang sebagai laki-laki sejati dan diberi stereotipe gemulai. Fenomena maskulinitas beracun yang melekat pada penari laki-laki dapat kita saksikan pada skema tari jaipong, jenis tarian yang berasal dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Mengenal Sejarah Tari Jaipong
Sejak kemunculannya pada awal tahun 1960-an, tari jaipong bukanlah jenis tarian yang dieksklusifkan kepada kaum perempuan saja. Bahkan, tarian yang berasal kota lumbung padi ini ditemukan oleh Haji Suwanda yang merupakan seorang laki-laki. Namun, jaipong acap kali diasosiasikan dengan feminitas karena penari yang sering muncul di tengah masyarakat memanglah perempuan. Faktor ini yang pada akhirnya melahirkan stereotipe jaipong adalah tarian perempuan. Selain itu, gerakan inti jaipong putri yang terdiri dari geol (gerakan pinggul memutar), gitek (gerakan pinggul menghentak), dan goyang (gerakan ayunan pinggul tanpa hentakan) yang harus dibawakan dengan gemulai dan lembut juga menjadi faktor pemicu kelahiran stereotip tersebut. Padahal, laki-laki juga bisa melakukannya. Gerakan tari jaipong putra juga jauh berbeda dengan tari jaipong putri karena banyak mengandung gerakan kuda-kuda yang diadopsi dari pencak silat sehingga meninggalkan kesan maskulin yang kuat. Walau demikian, masyarakat tetap teguh dengan persepsinya. Jaipong dianggap identik dengan perempuan. Penari jaipong putra acap kali mendapat cercaan atas keahliannya. Kali ini, kita akan melihat dunia dari kacamata El Fattih, seorang penari jaipong putra yang berjuang melawan toxic masculinity di tengah masyarakat patriarkis dengan dedikasi tingginya terhadap menari.
ADVERTISEMENT
Sebuah Warisan Abadi dari Generasi ke Generasi
Lahir di tengah keluarga dengan darah seniman yang mengalir di dalamnya, El Fattih sudah familiar dengan seni bahkan ketika ia belum terlalu kenal dunia. Ayahnya adalah seorang musisi sekaligus guru mata pelajaran SBK di SDN Sarimulya 3 yang terletak di Kotabaru, Karawang. Sementara itu, ibunya adalah seorang pemilik sanggar tari turun-temurun Surya Medal yang menjadi cikal-bakal dari karir jaipong El Fattih.
Pertama kali dibangun oleh neneknya yang bernama Hj. Epon Sopiah, Surya Medal yang dibangun pada tahun 17 Agustus 1964 sukses menjadi sanggar tari pertama yang mengenalkan jaipong kepada masyarakat yang menetap di Wilayah 4 Jawa Barat, yakni Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, dan Kabupaten . Menjadi yang pertama dalam suatu hal merupakan pencapaian yang membanggakan sekaligus tanggung jawab besar karena kita perlu mempertahankan eksistensinya agar tidak terlupakan. Hal itulah yang membuat Hj. Epon Sopiah mewariskan Surya Medal kepada anaknya sebelum ia tiada sebab Surya Medal merupakan bagian dari sejarah jaipong yang harus dilestarikan. Hingga saat ini, Surya Medal masih dipegang oleh anak perempuan dari Hj. Epon yang juga merupakan ibunda dari El Fattih, yakni Irna Alria.
ADVERTISEMENT
Walau Irna secara resmi menjabat sebagai pemilik Surya Medal, El Fattih, yang sudah menjadi pengajar sekaligus koreografer sejak belia dapat dibilang memiliki kendali penuh atas kegiatan operasional sanggar. Mulai dari koreografi, konsep, hingga teknik promosi, Irna memberikan anak bungsunya itu kebebasan berkreasi demi kebaikan sanggar. Selain demi kemajuan sanggar, privilese tersebut juga diberikan kepada El Fattih karena ia adalah putra mahkota dari Surya Medal yang akan melanjutkan warisan keluarga tersebut.
“Walau punya kebebasan di sanggar, untuk sekarang sanggar masih dipegang sama Mamih. Nanti kalau aku udah besar, baru sanggar jatuh ke tangan aku,” ujar El Fattih.
Bagi keluarga El Fattih, jaipong bukan sekadar seni tari tapi juga sebuah warisan abadi yang perlu dilestarikan hingga berbagai generasi.
ADVERTISEMENT
Dedikasi Tinggi Sejak Dini
El Fattih kecil memperoleh kemampuan menari melalui kedua netranya yang berbinar. Dengan memindai tiap jengkal gerak-gerik para penari yang berlalu-lalang di sanggar, ia menyerap bakat tersebut dengan sendirinya. Bila anak kecil pada umumnya memilih animasi kartun sebagai tontonan favorit mereka, El Fattih punya jaipong sebagai tontonan sehari-harinya. Sebagai anak dari pemilik sanggar, ia juga pada akhirnya dilatih untuk bisa menari dengan mencoba tiap gerakan dengan seluruh anggota tubuhnya, bukan dari memperhatikan saja. Seluruh proses itulah yang mempertemukan ia dengan salah satu bagian penting dari hidupnya, yakni menari.
Saat usianya baru menginjak lima, El Fattih sudah berhasil menjuarai lomba tari antar TK. Hal tersebut merupakan suatu pencapaian besar bagi anak yang bahkan baru menginjakkan kaki di taman kanak-kanak. Bertambah sedikit usianya, kemampuan El Fattih betambah pesat. Saat ia duduk di bangku sekolah dasar dan baru mengenakan seragam putih merah, ia sudah menyabet banyak pasanggiri menari bergengsi seperti FLS2N.
ADVERTISEMENT
Melihat potensi yang dimiliki oleh anaknya, Irna akhirnya mengangkat El Fattih sebagai pengajar di Surya Medal. Saat itu usianya masih 12 dan baru memasuki dunia putih biru. El Fattih yang biasanya hanya memerhatikan dan belajar harus menjadi seseorang yang memberi pelajaran. Dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, tantangan tersebut berhasil ia lalui. Bahkan menjadi guru tari menjadi bagian dari hidupnya yang sudah tidak bisa diambil lagi. Di usianya yang tahun ini baru menginjak 19 tahun, El Fattih kini sudah menyalurkan ilmunya kepada 118 murid di bawah naungan Surya Medal. Angka tersebut belum termasuk jumlah siswa yang sudah keluar dari sanggar. Walau datang dan pergi merupakan fase dari setiap kehidupan di dunia, perginya murid- murid yang lebih memilih untuk keluar ini menjadi duka bagi El Fattih sebagai pengajar.
ADVERTISEMENT
“Sukanya karena bisa ngajarin dan ngasih ilmu ke anak-anak yang tertarik sama seni tari, yang tadinya gak tau apa-apa jadi tau dan yang tadinya gak bisa jadi bisa. Dukanya kalau ada murid yang udah punya potensi tinggi dan bisa kita percaya tapi malah mutusin buat keluar dari sanggar,” jawab El Fattih saat ditanya mengenai suka-duka dalam mengajar tari.
Walau demikian, hal tersebut tidak mematahkan semangat El Fattih dalam mengajar. Ia selalu percaya bahwa puluhan muridnya yang lain akan memiliki kemampuan yang setara dengan para mantan murid apabila bakatnya terus ditempa dan diasah. Rasa percaya yang ia pupuk kepada tiap muridnya ternyata membuahkan hasil karena hingga saat ini, murid Surya Medal berhasil meraih lebih dari 50 kejuaraan, baik dari kategori tunggal maupun rampak. Seluruh trofi yang berkilauan itu tidak lebih berharga dibanding rasa bangga dari kepercayaan yang ia pupuk di setiap muridnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, seluruh tarian yang ditampilkan oleh anggota Surya Medal, baik untuk kejuaraan maupun kegiatan lain, merupakan tarian yang koreografinya dibuat sendiri oleh El Fattih. Sejauh ini, sudah ada 22 tarian yang lahir dari ide cemerlangnya. Salah satu tarian yang menjadi favoritnya adalah tarian berjudul “Agni” yang menceritakan peperangan di kota Bandung untuk melawan belanda memperebutkan lautan api. Dengan “Agni”, salah satu grup jaipong Surya Medal bernama Bentang Geulis berhasil menyabet juara umum satu di salah satu pasanggiri jaipong untuk kategori rampak.
Menghasilkan koreografi yang cantik nan ciamik tentu tidak mudah. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum menciptakan tarian penuh makna. “Pertama, aku cari dulu lagu yang mau aku buat tarian. Habis itu aku dengerin lagunya dan cari tahu lagunya tentang apa biar tahu tariannya mengarah ke tradisi atau kreasi. Kalau sudah tahu, baru aku susun konsep dan mulai bikin gerakan untuk tariannya. Setelah semuanya selesai, aku coba cocokin koreonya sama lagu biar tau selaras atau nggak. Semisal masih kurang, tinggal diperbaiki atau tambah detail. Baru setelah koreografinya selesai, aku ajarin ke murid-murid, mulai dari gerakan, detail, sampai ekspresi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Walau sekarang ia lebih fokus mengajar anak-anak sanggar, El Fattih juga masih aktif meniti karir jaipongnya yang cemerlang. Trofi penghargaan atas nama dirinya terus bertambah setiap tahun. Di awal tahun 2023, ia berhasil meraih juara umum 3 di Lomba Matara 2024 Kategori Tunggal yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Tari Universitas Negeri Jakarta.
Potret sumringah El Fattih saat menjuarai Lomba Matara 2024 Kategori Tunggal yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Tari Universitas Negeri Jakarta. (sumber: Alya Fitri Ramadhani)
Semua dedikasi dan perjuangan yang ia curahkan ini tentu memiliki tujuan. Dalam menari, El Fattih memiliki satu visi, yakni agar jaipong tidak dipandang sebelah mata lagi sebab selama menjalani kehidupan sebagai seorang penari, ia banyak diremehkan atas apa yang dilakukannya.
“Tujuan utama aku itu biar jaipong gak dipandang sebelah mata lagi. Selama ini banyak orang yang nyepelein dengan bilang, “Ngapain sih jaipong? Cuma nari-nari aja.” Aku gak mau ada yang kayak gitu lagi. Seni itu susah, aku mau jaipong dikenal sama banyak orang.”
ADVERTISEMENT
Mengadopsi Kultur K-Pop dalam Teknik Promosi
Tari jaipong boleh menjadi tradisi. Namun, di era globalisasi yang sudah serba maju ini, diperlukan adanya inovasi. Hal inilah yang dilakukan oleh El Fattih untuk Surya Medal. Ia mengadopsi konsep kultur K-Pop, salah satu hal yang paling digandrungi oleh masyarakat, sebagai bagian dari promosi. Menurutnya, inovasi seperti ini membuat Surya Medal memiliki ciri khas yang mampu meningkatkan daya Tarik masyarakat.
Di antara puluhan anggota sanggar Surya Medal, ada beberapa murid yang sudah memiliki grup tetap. Walau sanggar tari lain juga banyak yang memiliki hal serupa, Surya Medal punya cara cemerlang untuk membuatnya menjadi jauh lebih unik dan menarik. Cara tersebut adalah dengan mengadopsi proses yang selama ini telah diterapkan oleh grup K-Pop selama beberapa generasi. Seperti halnya grup pop yang sudah menjadi ikon dari negara ginseng, grup besutan Surya Medal juga mengusung konsep debut yang sama, mulai dari melakukan pemotretan untuk perilisan teaser photo dengan berbagai konsep sampai syuting untuk peluncuran trailer video yang semuanya diunggah di laman Instagram resmi milik Surya Medal. Grup yang sudah debut selanjutkan akan terus tampil bersama di pasanggiri hingga pertunjukan. Hingga saat ini, Surya Medal sudah memiliki tiga grup tetap, yakni Gumeulis, Wanodya, dan Bentang Geulis. Baru-baru ini, Surya Medal juga meluncurkan mini project dengan membentuk grup temporari beranggotakan tiga orang dengan nama Nalanis.
Photo teaser Gumeulis untuk comeback keenam. (sumber: instagram.com/suryamedal_ckp)
Selain mengusung konsep debut seperti grup K-Pop yang juga menjadi bagian dari promosi, Surya Medal juga meluncurkan sebuah projek yang mengusung konsep serupa dengan acara survival Korea seperti Produce Series dan Planet Series yang melahirkan grup baru seperti IZ*ONE, Kep1er, dan Zerobaseone. Projek milik Surya Medal ini diberi nama P02 dan diikuti oleh seluruh anggota sanggar. P02 terdiri dari beberapa babak yang setiap babak diisi dengan misi serta penyisihan. Hasil dari babak penyisihan ditentukan oleh pemungutan suara yang dilakukan melalui Google Form. Peserta yang memperoleh suara terbanyak dapat maju ke babak selanjutnya dan sebaliknya, peserta dengan perolehan suara paling sedikit akan tereliminasi. Para peserta yang
ADVERTISEMENT
berhasil bertahan sampai babak terakhir didebutkan di sebuah grup permanen baru di bawah naungan Surya Medal.
Dengan adanya implementasi kultur K-Pop di sanggar ini membuat Surya Medal memiliki ciri khasnya sendiri. Selain itu, adopsi ini juga mampu mematahkan persepsi masyarakat yang menganggap jaipong adalah sebuah tradisi kolot karena inovasi yang dilakukan oleh Surya Medal ini mampu menyulapnya menjadi sebuah tari tradisional dengan citarasa modern.
Tetap Menari di tengah Gemparan Maskulinitas Beracun
Menjadi seorang penari laki-laki di tengah masyarakat patriarki yang masih menjunjung tinggi maskulinitas beracun bukanlah suatu hal yang mudah. Ada banyak getah yang harus ia telan mentah-mentah. Berbagai ejekan hingga cacian sudah El Fattih terima bahkan sejak usianya masih belia. Memulai karir di usia muda membuat ia menahan banyak luka dari lidah orang untuk waktu yang lama. Kendati demikian, ia punya caranya sendiri untuk bertahan dari itu semua.
ADVERTISEMENT
Selama belasan tahun menari, cacian seperti ‘bencong’, ‘banci’, dan lain-lain diterima El Fattih seperti makanan sehari-hari. Walau terus mendapat ejekan dari masyarakat, El Fattih tetap teguh dengan pekerjaannya. Tidak mendengarkan itu semua adalah cara El Fattih bertahan dari semua badai yang menerpa. Baginya, ejekan-ejekan seperti itu hanya angin lalu semata. El Fattih hanya akan terus menari dan berusaha membuktikan pada masyarakat bahwa standar maskulinitas itu fana dan laki-laki bisa melakukan apa saja, termasuk aktivitas dengan tendensi feminin yang selama ini hanya diperuntukkan kepada kaum hawa.
“Sering banget kok diejekin gara-gara suka nari. Dikatain bencong lah, kayak cewek lah,” tutur El Fattih sembari terkekeh pelan. “Kalau tanggapan aku, aku gak dengerin omongan orang- orang yang ngatain cowok bisa nari karena menari gak punya gender. Jadi, kalau ada yang ngomong gitu gak aku dengerin. Aku cuma mau buktiin kalau laki-laki juga bisa menari dan tetap jadi laki-laki.”
ADVERTISEMENT
Memiliki dedikasi yang tinggi terhadap menari menjadi pendorong utama bagi El Fattih dalam melawan standar maskulinitas beracun yang diterapkan oleh masyarakat. El Fattih tahu mimpinya dan ia tidak akan membiarkan perkataan orang lain merusak semuanya.
Standar maskulinitas hanyalah racun yang membuat masyarakat buta. Sudah seharusnya masyarakat melepaskan batasan-batasan yang mengotak-ngotakkan karakteristik seseorang berdasarkan aktivitasnya. Tidak ada batasan bagi setiap orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, dalam melakukan banyak hal. Tidak ada aktivitas yang memiliki gender. Semua orang bisa melakukan apa saja dengan bebas dan tanpa batas.