Konten dari Pengguna

Di Balik Kegagalan Sister City di Indonesia: Peran Ceremonial Paradiplomacy

Alyssa Aurelia
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
16 Juni 2024 9:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alyssa Aurelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Ilustrasi Sister City. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Ilustrasi Sister City. Foto: iStock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bayangkan sebuah dunia di mana dua kota di negara yang berbeda bekerja sama untuk mempererat hubungan budaya, ekonomi, dan sosial mereka. Inilah esensi dari program Sister City, sebuah inisiatif global yang menghubungkan komunitas melalui kerja sama lintas batas.
ADVERTISEMENT
Program ini diresmikan melalui penandatanganan kesepakatan oleh pejabat tertinggi dari kedua kota, menghidupkan semangat kebersamaan global dan kolaborasi internasional. Melibatkan sukarelawan dan perwakilan dari berbagai sektor, dari pemerintah hingga organisasi nirlaba, Sister City menggelar berbagai kegiatan di bidang pemerintahan, bisnis, perdagangan, pendidikan, dan budaya. Berada dalam program ini bukan hanya tentang berbagi, tetapi juga tentang merasakan kehangatan persaudaraan global yang memperkaya setiap kotanya.
Di Indonesia, banyak kota telah menjalin kemitraan ini, namun sayangnya tidak semua kota itu berhasil mencapai tujuan dari Sister City yang dibangunnya. Artikel ini akan mengulas alasan kegagalan program Sister City di Indonesia.
Menurut Panca Setyo Prihatin dan Agung Wicaksono dalam kajian mereka, "Grindle Policy Implementation Theory in Analysis of Forestry Conflict in Plalawan District, Riau Province" keberhasilan kebijakan publik tidak hanya bergantung pada niat baik dan rencana strategis, tetapi juga pada dua faktor kunci:
ADVERTISEMENT
1) pelaksanaan yang sesuai dengan rencana aksi
2) hasil akhirnya yang nyata
Kedua aspek ini sangat relevan dalam memahami mengapa banyak program Sister City di Indonesia gagal mencapai tujuan mereka.
Keberhasilan kerja sama Sister City dimulai dari proses yang konsisten dan terstruktur. Langkah awal seperti peninjauan potensi kerja sama dan pembuatan Letter of Intent (LoI) adalah dasar yang kuat. Namun, proses ini harus diikuti dengan penyusunan proposal yang komprehensif dan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang jelas dan detail.
MoU tidak hanya sekadar formalitas; ini adalah dokumen krusial yang memberikan kerangka legal dan merinci tujuan serta peran masing-masing pihak. Dengan MoU yang kuat, kerja sama dapat berjalan dengan arah yang jelas dan tujuan yang terukur.
ADVERTISEMENT

Paradiplomasi dan Tantangan Seremonial dalam Program Sister City

Gambar Ilustrasi MoU. Foto: Unsplash
Program Sister City adalah wujud nyata dari paradiplomasi, di mana pemerintah daerah terlibat dalam hubungan internasional. Ini memberi mereka kesempatan untuk menjalankan kebijakan luar negeri dan membentuk jaringan global, karena banyak isu lokal kini memiliki dimensi internasional di era globalisasi.
Namun, penerapan paradiplomasi harus dilakukan dengan bijak, terutama dalam membedakannya dari paradiplomasi seremonial. Rodrigo Tavares mengamati bahwa paradiplomasi seremonial sering terjadi di negara-negara Asia yang baru mengalami demokratisasi.
Bentuk paradiplomasi ini lebih menekankan pada formalitas dan seremonial untuk memenuhi tuntutan pemerintah pusat juga seringkali tanpa diikuti oleh tindakan nyata. Akibatnya, banyak kerja sama antar kota yang hanya menjadi simbolis dan formalitas semata, sekadar untuk menunjukkan bahwa pemerintah bekerja.
ADVERTISEMENT
Menurut tulisan “The Dynamics of Paradiplomacy Practices in the ‘Frontier’ Areas in Indonesia” oleh Ali Maksum & Surwandono, politik seremonial telah menjadi praktik umum di banyak instansi pemerintah Indonesia, terutama setelah reformasi politik tahun 1998. Budaya formalitas ini digunakan sebagai cara untuk mempertanggungjawabkan program pemerintah kepada masyarakat, meskipun seringkali hanya melalui acara seremonial.
Meski memiliki peran penting dalam membangun hubungan dan memperkenalkan budaya, paradiplomasi seremonial memiliki keterbatasan yang dapat menghambat keberhasilan program Sister City. Tanpa diimbangi oleh tindakan nyata, kerja sama antar kota ini berisiko menjadi sekadar simbol tanpa hasil konkret. Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin lokal untuk memastikan bahwa setiap acara seremonial diikuti oleh langkah-langkah implementasi yang substantif dan berdampak nyata.
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa alasan Paradiplomasi Seremonial memberikan tantangan bagi Sister City:
1. Fokus yang Berlebihan pada Seremonial
Sering kali, program Sister City terlalu terfokus pada aspek seremonial tanpa mengimbangi dengan kegiatan substantif yang berdampak langsung. Acara seremonial memang penting, tetapi tanpa kegiatan tindak lanjut yang konkret, manfaatnya menjadi terbatas.
2. Keterbatasan Manfaat Langsung
Kegiatan seremonial cenderung menghasilkan manfaat yang tidak langsung dan sulit diukur. Meskipun dapat meningkatkan hubungan emosional dan saling pengertian, kegiatan ini sering kali tidak memberikan hasil konkret dalam bidang ekonomi atau pembangunan yang lebih terlihat.
3. Risiko Formalitas Tanpa Tindak Lanjut
Ada risiko bahwa kegiatan seremonial hanya menjadi formalitas tanpa tindak lanjut yang berarti. Tanpa komitmen dan perencanaan yang jelas untuk mengimplementasikan proyek-proyek kerja sama yang telah disepakati, hubungan tersebut bisa menjadi stagnan dan tidak memberikan hasil yang diharapkan.
ADVERTISEMENT

Sejumlah Kegagalan Program Sister City di Indonesia

Gambar Ilustrasi Indonesia. Foto: Freepik
Menurut tulisan "Analisa Faktor Penyebab Kegagalan Sister Cities di Indonesia" oleh Nabila Safitri, Sisilia Putri Syafira, dan Dyah Estu Kurniawati, banyak kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam program Sister City karena terlalu berfokus pada seremonial tanpa tindak lanjut yang nyata.
Misalnya, kerja sama antara Seoul dan Bandung yang meliputi kebudayaan, pariwisata, dan e-governance berjalan baik hingga tahun 2017, menghasilkan beberapa rancangan program. Namun, setelah itu, hanya ada MoU yang tak terlaksana karena hanya Seoul yang aktif dalam menindaklanjuti program tersebut.
Kerja sama Bandung dengan Cuenca, Ekuador, yang dimulai pada 2017 juga tidak berhasil. Meskipun fokus pada ilmu pengetahuan, pendidikan, dan teknologi, pemerintah Bandung tidak melanjutkan program yang direncanakan dan hanya bersikap pasif.
ADVERTISEMENT
Kerja sama antara Baubau dan Seoul dalam bidang kebudayaan dan infrastruktur juga tidak efektif karena pemerintah Baubau kurang proaktif, tidak ada evaluasi, dan minim kolaborasi dengan masyarakat.
Provinsi Jawa Tengah juga mengalami masalah serupa dalam kerja samanya dengan Queensland, Fujian, Chungcheongbuk-Do, dan Siem Reap. Meski ada pedoman dari gubernur, kerja sama ini tersendat karena keterlambatan program, MoU yang tidak diperbarui, sumber daya manusia yang tidak profesional, dan ketidakpatuhan terhadap MoU.
Program Sister City, sebagai bagian dari paradiplomasi, membuka peluang luas bagi pemerintah daerah untuk aktif dalam arena hubungan internasional dan memajukan kerja sama global. Walaupun perayaan formalitas penting dalam membangun serta menjaga kemitraan, tetapi pengimplementasian tindakan nyata yang bermanfaat sangatlah esensial.
ADVERTISEMENT
Dengan mengatasi tantangan yang dihadapi dan menemukan keseimbangan antara upacara formal dan diplomasi yang substansial, program Sister City memiliki potensi besar untuk mencapai tujuan yang ditetapkan serta memberikan sumbangan yang signifikan bagi kerja sama global serta pemahaman lintas budaya.