Konten dari Pengguna

Budaya Malu Orang Jawa: Pedang Bermata Dua di Lingkungan Kerja

Alza Nashuha Shahhira
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
11 Desember 2024 12:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alza Nashuha Shahhira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Unsplash
ADVERTISEMENT
Bayangkan Anda bekerja di sebuah kantor di mana obrolan langsung sering digantikan dengan isyarat halus, dan konflik dihindari demi menjaga suasana tetap harmonis. Dalam budaya Jawa, nilai-nilai seperti ‘sungkan’—keraguan yang lahir dari kesopanan—dan ‘isin’—rasa malu atau rendah hati—memegang peran penting dalam cara orang berinteraksi di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Fakta ini tercermin dalam survei budaya kerja di Indonesia, yang menunjukkan bahwa banyak karyawan merasa enggan memberikan masukan langsung kepada atasan mereka. Sebagai contoh, sebuah penelitian di CV. Gunung Batu Mandiri Binuang menemukan bahwa 60% responden merasa ragu menyampaikan pendapat karena merasa kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan perusahaan (Suryadi, 2018). Kekhawatiran dianggap tidak sopan saat memberikan kritik atau saran menjadi penghalang bagi banyak orang untuk berbicara secara terbuka. Di satu sisi, nilai-nilai ini mendukung terciptanya hubungan kerja yang harmonis. Namun, di sisi lain, bagaimana budaya seperti ini memengaruhi dunia kerja modern yang semakin menuntut efisiensi dan inovasi? Apakah ini merupakan aset berharga, atau justru hambatan dalam produktivitas? Mari kita kupas lebih dalam.
ADVERTISEMENT

Budaya Malu Orang Jawa: Antara Harmoni dan Tantangan Produktivitas

Dalam budaya Jawa, sungkan dan isin adalah dua nilai utama yang mendorong individu untuk menjaga hubungan sosial agar tetap harmonis (Hermawan & Loo, 2019). Nilai-nilai ini berakar dari nilai luhur Jawa yang menekankan pentingnya harmoni sosial dan rasa hormat terhadap sesama. Sungkan sering diartikan sebagai rasa hormat yang mendorong seseorang untuk bertindak dengan sopan, sementara isin mencerminkan rasa malu yang mencegah seseorang menyakiti atau merugikan orang lain, baik secara emosional maupun sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di tempat kerja, nilai-nilai ini sering kali terlihat jelas. Seorang karyawan, misalnya, mungkin enggan memberikan kritik kepada atasannya karena takut dianggap tidak sopan. Bahkan, ketika memberi masukan, karyawan cenderung menggunakan bahasa yang penuh isyarat demi menjaga perasaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Meski bertujuan menciptakan hubungan yang baik, pendekatan ini sering menjadi tantangan dalam dunia kerja modern. Komunikasi yang samar dan penuh basa-basi dapat memperlambat pengambilan keputusan dan mengurangi efisiensi. Dengan dunia kerja yang semakin cepat dan kompetitif, bisakah nilai-nilai ini tetap relevan tanpa mengorbankan produktivitas?

Sisi Positif Budaya Malu dalam Kerja Tim

Dalam budaya Jawa, sikap sungkan berfungsi sebagai landasan untuk menjaga interaksi tetap sopan dan penuh rasa hormat. Sikap ini membantu meredam potensi konflik di tempat kerja. Penelitian oleh Sutanto & Sugiarti (2023) menunjukkan bahwa pemilik perusahaan yang menerapkan sikap sungkan cenderung bersikap bijaksana dalam menghadapi kesalahan karyawan. Mereka memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu sebelum memberikan nasihat, sehingga menciptakan suasana kerja yang kondusif dan menghindari konflik yang tidak perlu. Pendekatan ini selaras dengan konsep ‘guyub’—kerukunan dan kebersamaan yang menjadi ciri khas budaya Jawa.
ADVERTISEMENT
Sikap isin atau rasa malu juga membawa dampak positif dalam membangun kerja sama tim. Nilai ini mendorong seseorang untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain sebelum berbicara atau bertindak. Di lingkungan kerja, hal ini sering terlihat dalam sikap anggota tim yang cenderung menahan diri untuk tidak menyampaikan kritik secara langsung kepada atasan, demi menjaga hubungan yang harmonis. Meskipun terkadang membatasi komunikasi terbuka, sikap ini justru menciptakan suasana kerja yang saling mendukung, di mana anggota tim merasa lebih nyaman untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.

Dampak Negatif: Ketika Sungkan Menjadi Hambatan

Budaya sungkan sering kali menciptakan tantangan tersendiri dalam komunikasi tim, terutama ketika anggota tim merasa enggan menyampaikan pendapat yang berbeda, apalagi kepada atasan. Kondisi ini membuat komunikasi menjadi kurang efektif. Penelitian Muhaimin (2009) mengungkapkan bahwa dalam konteks sosial yang hierarkis, rasa hormat yang berlebihan kepada atasan sering kali menghambat individu untuk berbicara secara terbuka, sehingga menciptakan situasi di mana kritik atau saran jarang terdengar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penelitian oleh Prihatini & Kurnia (2022) menunjukkan bahwa budaya kerja yang sangat menekankan toleransi dan saling menghormati dapat membuat karyawan merasa sulit menegur rekan kerja yang melakukan kesalahan. Dalam banyak kasus, kesalahan-kesalahan ini dibiarkan tanpa tindakan lebih lanjut karena sungkan untuk berkonfrontasi. Meskipun niat untuk menjaga harmoni ini baik, hal ini dapat berdampak buruk pada efisiensi kerja dan menghambat proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, meskipun sungkan bertujuan baik untuk menjaga hubungan yang harmonis, jika tidak dikelola dengan baik, budaya ini justru bisa menjadi penghalang bagi produktivitas dan komunikasi yang sehat di tempat kerja.

Studi Kasus: Belajar dari Perusahaan di Indonesia

Penelitian Maryam & Wahyudi (2012) dalam studi mereka yang berjudul “Interaksi Antara Sistem Formal dengan Budaya dalam Pencegahan Tindakan Kecurangan: Studi Kasus PT Bank X (Persero) Tbk” menemukan bahwa budaya sungkan berpengaruh signifikan terhadap keputusan karyawan untuk melaporkan tindak kecurangan. Meskipun PT Bank X telah menerapkan sistem pengendalian internal, audit, dan mekanisme whistleblower, efektivitasnya sering terhambat oleh faktor budaya dan tekanan sosial yang mencegah karyawan melaporkan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar tindakan kecurangan di perusahaan tersebut justru terdeteksi oleh pihak ketiga, seperti verifikator atau pimpinan unit kerja, alih-alih melalui mekanisme formal yang telah dirancang. Temuan ini menunjukkan bahwa budaya organisasi, khususnya nilai sungkan, dapat melemahkan sistem deteksi dan pencegahan kecurangan yang ada.
Studi kasus PT Bank X (Persero) Tbk ini memberikan pelajaran penting bahwa pengelolaan budaya sungkan menjadi kunci dalam meningkatkan keterbukaan dan transparansi di tempat kerja. Sebagai langkah solutif, penelitian ini merekomendasikan program pelatihan komunikasi untuk membantu karyawan lebih percaya diri dalam memberikan umpan balik (feedback) dan melaporkan masalah. Selain itu, menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan terbuka juga menjadi langkah penting agar karyawan merasa nyaman menyampaikan kekhawatiran mereka tanpa tekanan sosial atau rasa takut.
ADVERTISEMENT

Menyeimbangkan Budaya Malu dan Produktivitas

Untuk mengoptimalkan nilai-nilai positif dari sungkan dan isin sekaligus mengatasi tantangan yang muncul, organisasi perlu mengambil langkah-langkah strategis berikut.

Diskusi Terbuka

Pemimpin organisasi dapat menciptakan budaya yang mendorong karyawan untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Salah satu contoh inspirasi adalah budaya kerja Jepang dengan konsep ‘giri’—rasa tanggung jawab terhadap tim dan perusahaan. Dalam praktiknya, konsep ini sering didukung dengan pelatihan yang mendorong pengambilan risiko secara bertahap. Dalam pendekatan serupa, organisasi dapat memberikan pelatihan dan dukungan agar karyawan merasa percaya diri untuk berbicara lebih terbuka. Menanamkan pemahaman bahwa menyampaikan pendapat adalah bagian dari tanggung jawab profesional juga dapat membantu mengurangi hambatan budaya.

Sistem Umpan Balik Anonim

Norma sosial dalam budaya sungkan dan isin sering membuat karyawan enggan menyampaikan ide atau kritik secara langsung. Menerapkan sistem umpan balik anonim dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi kendala ini. Sistem ini memungkinkan karyawan untuk menyuarakan pendapat atau keluhan tanpa rasa takut, sehingga keterlibatan mereka dalam organisasi meningkat.
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi efektivitas sistem tersebut. Evaluasi dapat dilakukan dengan melihat jumlah ide yang diajukan melalui platform tersebut atau melalui survei kepuasan kerja karyawan. Data yang diperoleh akan membantu organisasi menyempurnakan sistem, dan memastikan hasil yang optimal.

Budaya Apresiasi

Membangun budaya apresiasi adalah langkah penting untuk menciptakan keberlanjutan. Menghargai keberanian karyawan yang menyampaikan ide atau mencoba hal baru akan mendorong budaya inovasi. Sebagai contoh, perusahaan dapat mengadakan penghargaan tahunan untuk karyawan yang berkontribusi melalui ide-ide kreatif. Selain penghargaan formal, apresiasi informal, seperti ucapan terima kasih atau pengakuan di depan rekan kerja, juga sangat efektif dalam meningkatkan motivasi.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, organisasi dapat memanfaatkan nilai-nilai positif dari budaya sungkan dan isin, sekaligus menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, inovatif, dan produktif. Budaya malu yang selama ini dianggap sebagai hambatan justru bisa menjadi kekuatan yang mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan organisasi.
ADVERTISEMENT

Penutup

Budaya malu orang Jawa, yang mengedepankan rasa hormat dan keharmonisan antarindividu, merupakan aset berharga di tempat kerja. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, nilai-nilai ini dapat menjadi “pedang bermata dua” yang berpotensi menghambat inovasi dan produktivitas. Untuk mengoptimalkan keunggulan budaya ini, organisasi perlu menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk diskusi terbuka, serta mempromosikan keberanian untuk mencoba hal-hal baru tanpa meninggalkan esensi budaya lokal. Dengan langkah ini, tempat kerja dapat berkembang menjadi lingkungan yang tidak hanya produktif, tetapi juga lebih manusiawi, inklusif, dan harmonis.

Referensi

Hermawan, Marko & Loo, Mark Kam Loon. (2019). The Construction of Kekeluargaan as an Indonesia’s Organizational Culture. Jurnal Humaniora. https://doi.org/10.22146/jh.v31i1.42851
Maryam & Wahyudi, Imam. (2012). INTERAKSI ANTARA SISTEM FORMAL DENGAN BUDAYA DALAM PENCEGAHAN TINDAK KECURANGAN: STUDI KASUS PT BANK X (PERSERO) TBK. Jurnal Media Riset Akuntansi. 143-156. Retrieved December 7, 2024, from https://journal.bakrie.ac.id/index.php/journal_MRA/article/view/273
ADVERTISEMENT
Muhaimin, Hendro. (2009). PENGARUH TELEVISI TERHADAP PERUBAHAN BUDAYA DAN PERILAKU MASYARAKAT JAWA (Tinjauan Etika Nilai Max Scheler). Jurnal Filsafat. https://doi.org/10.22146/jf.3451
Prihatini, Sukma & Kurnia, Okki. (2022). PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN HOTEL NAGOYA PLASA KOTA BATAM. JURNAL MEKAR, 1(1). 1-6. https://doi.org/10.59193/jmr.v1i1.25
Suryadi, Dyoko. (2018). UPAYA MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN MELALUI BUDAYA ORGANISASI PADA CV. GUNUNG BATU MANDIRI BINUANG KAB. TAPIN. KINDAI, 14(3). https://doi.org/10.35972/kindai.v14i3.227
Sutanto, Ivan & Sugiarti, Yenny. (2023). Peran Budaya Jawa dalam Implementasi Pengendalian Internal: Sebuah Studi Kasus. Jurnal Riset dan Aplikasi: Akuntansi dan Manajemen, 6(3). https://doi.org/10.33795/jraam.v6i3.002