Konten dari Pengguna

Cara Mendampingi Anak saat Terpapar Berita Mencekam

Alzena Masykouri
Psikolog Anak & Remaja, Pengelola Sekolah Bestariku (www.bestariku.co.id), dan ibu seorang remaja putri.
15 Mei 2018 17:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alzena Masykouri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu dan anak bermain media sosial. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu dan anak bermain media sosial. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Di era digital seperti saat ini, arus informasi berita bisa didapatkan dalam hitungan detik dan tidak terbatas melalui kanal berita di televisi saja. Tentu merupakan hal yang baik ketika kita perlu mendapatkan informasi dengan segera.
ADVERTISEMENT
Hal yang serupa juga terjadi pada anak-anak yang dapat mengakses dunia digital. Mereka dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi, meskipun orang tua berusaha untuk tidak memberitahukan atau membahasnya.
Ada dua pendapat mengenai paparan informasi pada anak. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya anak tidak tahu dan tidak terlibat dengan 'masalah orang dewasa'. Ada juga yang berpendapat bahwa anak boleh terpapar dengan konflik atau masalah, selama dengan pendampingan orang dewasa.
Saya lebih sepakat dengan pendapat yang kedua. Alasannya, dunia saat ini benar-benar tanpa batas dan sekat. Lebih baik anak-anak mengetahui apa yang terjadi dan mendapatkan penjelasan serta kesempatan berdiskusi yang tepat, daripada ia berusaha memahami sendiri tanpa bimbingan yang bisa jadi justru menanamkan konsep yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
Nah, PR orang dewasa selanjutnya adalah bagaimana mendampingi anak ketika ada permasalahan atau peristiwa yang terjadi?
Ilustrasi ibu dan anak.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Thinkstock)
Peristiwa terkini di tanah air yang menarik perhatian semua kalangan adalah meledaknya bom di beberapa gereja di Surabaya yang melibatkan orang dewasa serta anak-anak sebagai pelaku dan korban. Secara umum, orang tua harus mengecek pengetahuan dan pemahaman anak mengenai peristiwa ini.
Luangkan waktu dengan kondisi nyaman dan santai, ajak anak berbicang mengenai apa yang diketahui mengenai peristiwa yang terjadi. Dengarkan dulu dengan saksama agar kita dapat mengetahui sejauh apa informasi yang diterima anak. Bisa saja skenarionya berubah karena anak anda yang bertanya terlebih dahulu mengenai peristiwa tersebut. Tetap tenang sebelum menjawab. Dan, mulailah dengan langkah pertama, yaitu mendengarkan.
ADVERTISEMENT
Pada anak usia sekolah, terutama yang sudah lebih besar (9 tahun ke atas), biasanya akan muncul pertanyaan 'kenapa'. Mereka membutuhkan penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi. Hal ini wajar mengingat ada peristiwa yang tidak sesuai dengan konsep yang mereka miliki. Misalnya, di rumah dan di sekolah, anak mempelajari konsep bahwa setiap makhluk hidup harus saling menyayangi dan mengasihi. Lalu terjadi peristiwa di mana ada orang yang melukai orang lain, bahkan yang tidak dikenal.
Tentu hal ini tidak sesuai dengan konsep. Kenapa? Dan, mungkin 'kenapa' yang lain akan bermunculan. Jawablah dengan singkat dan sesuaikan jawaban dengan pemahaman yang mereka miliki. Jawaban secara umum (orang tua bisa menyesuaikan jawaban sesuai dengan kebutuhan dan kondisi) adalah ada orang-orang yang jahat karena melukai orang lain yang tidak bersalah.
ADVERTISEMENT
Berhati-hatilah dalam memberikan komentar, jangan sampai orang tua memasukkan prasangka atau rumor. Batasi penjelasan berdasarkan fakta. Dari proses diskusi yang terjadi, orang tua dapat menganalisis pemahaman yang dimiliki anak dan memberikan penguatan di area yang diperlukan.
Orang tua juga dapat mengamati bagaimana emosi anak yang terlibat dalam peristiwa ini. Apapun emosi yang muncul, seperti takut, sedih, cemas, atau mungkin marah, harus diterima apa adanya. Beri kesempatan anak untuk mengekspresikan emosi yang dirasakan.
ADVERTISEMENT
Jika anak menangis, tawarkan pelukan selama ia menangis sepuasnya. Tidak usah minta anak untuk berhenti mengekspresikan emosinya. Jika sudah merasa cukup, anak akan berhenti sendiri. Demikian pula bila ia merasa marah, misalnya. Tawarkan bagaimana ia akan mengekspresikan marahnya tanpa mengganggu orang lain. Anak bisa menggambar apa yang menjadi objek kemarahannya, kemudian mencoret-coret atau bahkan merobek-robek kertas, misalnya.
Ilustrasi Anak Ketakutan (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Ketakutan (Foto: Thinkstock)
Jika anak bingung untuk mengekspresikan emosinya, tanyakan apa yang orangtua dapat bantu untuk meredakan emosinya. Dengan pelukan erat, misalnya, atau ditemani mengobrol bisa jadi mengurangi kecemasan yang dialami. Setelah emosi tersampaikan, biasanya anak menjadi lebih tenang dan dapat diajak berdiskusi mengenai penyebab munculnya emosi yang membuat ia tidak nyaman dan bagaimana penyelesaiannya.
ADVERTISEMENT
Melalui proses diskusi dan pendampingan seperti ini, anak akan merasa bahwa ia diperhatikan orang tuanya. Bagi anak, orang tua merupakan figure yang dapat memahami dirinya serta menjadi sumber pengetahuan.
Nilai-nilai keluarga yang dirasakan dan diteladani dari perilaku sehari-hari orang tua dan anak akan bermakna bagi anak. Hubungan yang terjalin akan menjadi bekal dan benteng bagi anak dalam menjelajah kehidupan bermasyarakat di dunia tanpa batas kelak.