Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Diari Si Emak: Pentingnya Berpikir Kritis pada Anak dan Orang Tua
15 April 2020 10:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Alzena Masykouri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sudah sampai kilometer berapa? Itu lho, 'kan kemarin kita sedang (lari) marathon. Ada yang melakukan evaluasi atas kilometer yang sudah dijalani?
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaan project atau kegiatan, proses evaluasi bisa dilaksanakan ketika kegiatan SEDANG berlangsung, tujuannya untuk memperbaiki proses yang masih berjalan. Tentunya evaluasi juga harus dilakukan di akhir, terutama untuk melihat efektivitas program dan area perbaikan serta pengembangan.
Tujuannya evaluasi adalah sebagai umpan balik, memberi masukan terhadap aspek kegiatan yang perlu perhatian dan perbaikan. Ingat, evaluasi bukan untuk mencari siapa yang salah.
Kembali ke pertanyaan saya tadi, mengenai evaluasi proses yang sedang berjalan, lantas siapa saja yang memberikan evaluasi? Stakeholders, pihak-pihak yang terlibat dan bertanggung-jawab. Kalau kita bicara SFH, maka ada (minimal) 3 pihak: guru, siswa, dan orang tua.
Paling mudah evaluasi menggunakan kuesioner. Pakai google form misalnya, tinggal pencet-pencet, berikan ruang untuk menyampaikan pendapat. Voila! Hasilnya langsung tersusun rapi, bahkan lengkap dengan diagram. Gampang toh?
ADVERTISEMENT
Perlu usaha sedikit untuk membuat kuesioner yang dapat mengukur seluruh aspek dan indikator efektivitas suatu kegiatan. Kalau suatu kegiatan disiapkan dengan jelas strukturnya, aspek dan indikatornya pasti sudah siap untuk diukur. Gak repot kok, juga bukan sesuatu yang mesti menggunakan pemikiran njelimet. Ini metode penelitian dasar sekali. Hasilnya, mesti diumumkan. Sebagai kontrol akan proses yang terjadi kemudian, apakah sudah ada perbaikan atau belum.
Bicara tentang pemikiran dan berpikir, kalau saya pribadi, inilah hakikat pendidikan. Mengasah keterampilan berpikir. Kemampuan berpikirnya sudah diberikan oleh Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Bagaimana menggunakannya hingga terampil, itu gunanya pendidikan. Teori berpikir klasik mengenal nama Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Dalam teori berpikir modern, ada Edward de Bono. Bahkan de Bono menulis satu buku khusus untuk mengajarkan anak berpikir (Teach your children how to think). Kalau pakai bahasa remaja: Sepenting itu!
ADVERTISEMENT
Anda lihat lagi 4C yang kemarin saya singgung. 4C ini bukan hal yang baru, kurikulum Indonesia juga sudah mengadaptasinya. Bagian dari kompetensi yang harus dimiliki siswa di abad XXI ini. Sekitar 4 tahun lalu saya sudah bahas detail mengenai 4C ini. Salah satu C-nya adalah Critical Thinking. Berpikir kritis. Mempertanyakan 5W+1H dari suatu kondisi. Menggunakan kemampuan berpikir analisis, sintesis, antisipasi, mungkin juga metakognisi, dan evaluasi. Harusnya, keterampilan berpikir ini yang dilatihkan pada anak melalui tugas-tugas yang diberikan.
Masih ingat di awal-awal seri catatan ini saya menulis tentang 3 (tiga) ranah belajar? Di ranah kognitif, bahasannya adalah mengenai kemampuan berpikir yang digunakan ketika menyelesaikan masalah. Teori terkenal juga, Taksonomi Bloom. Semua yang belajar psikologi dan pendidikan pasti bertemu dengan materi ini. Pun ketika saya membahas tentang HOTS beberapa tahun lalu, materi ini sudah dikupas di sana.
ADVERTISEMENT
Jadi, kembali ke evaluasi. Sudilah kiranya para pemangku kepentingan (stakeholders) melihat kembali proses yang sudah terjadi selama 7 hari belajar terakhir. Terutama tentang bagian pendidikannya. Bagian keterampilan berpikirnya. Juga di ranah afektif dan motoriknya. Sudah sesuaikah?
Boleh kok jeda sejenak, jika memang perlu. Anak-anak gak akan mendadak bodoh bila 2-3 hari tanpa kegiatan. Mereka akan tetap belajar. Mungkin belajar mengamati dari lingkungan atau justru mempelajari diri sendiri. Siapa tahu? Selama indera dan sensor mereka berfungsi, mereka akan belajar. Asal, setelahnya mereka melakukan refleksi untuk menyadari apa saja yang mereka lakukan. Mereka bukan robot yang bergerak sebatas perintah saja.
Yang kita hadapi bersama dalam SFH ini sebenarnya adalah proses adaptasi yang cepat dan harus. Dipaksa menyesuaikan diri. Dituntut untuk berpikir cepat, belajar hal-hal baru dengan cepat. Bukan hanya anak, tapi juga guru dan orang tua.
ADVERTISEMENT
Pada saat ini akan terlihat bagaimana pendekatan kita dalam menyelesaikan masalah. Bagaimana kita membimbing dan melatih anak-anak kita dalam menyelesaikan masalah. Dan, yang terpenting adalah bagaimana kita menunjukkan contoh implementasi 4C tadi pada anak-anak.
Bagaimana kita berpikir kritis, bagaimana kita mencari alternatif menyelesaikan tantangan dengan kreativitas, bagaimana kita berkomunikasi dengan efektif, dan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah. Karena, anak belajar paling efektif melalui contoh perilaku, bukan dari slogan semata.
Sudah? Itu sebabnya kita yang jadi guru dan orang tua anak-anak. Bukan sebaliknya.
-------------------------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!