Diari Si Emak: School From Home dan Remaja

Alzena Masykouri
Psikolog Anak & Remaja, Pengelola Sekolah Bestariku (www.bestariku.co.id), dan ibu seorang remaja putri.
Konten dari Pengguna
25 Maret 2020 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alzena Masykouri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kemarin keputusan telah disahkan dengan keluarnya Surat Edaran Menteri DikBud dan Kepala Dinas Pendidikan (DKI Jakarta). UN 2020 ditiadakan dan sampai tgl 5 April 2020, anak-anak akan belajar di rumah. Semoga.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi menyiapkan diri untuk masa yang lebih panjang, mungkin sampai tahun ajaran ini selesai. Dan, sangat besar kemungkinan, akan ada perubahan pola belajar-mengajar serta aktivitas lainnya di sekolah sampai akhir tahun 2020. Persiapan dan antisipasi, semoga tidak terjadi.
Seperti marathon, kita harus siapkan stamina dan atur energi, termasuk atur napas. Bukan lari cepat-cepatan seperti jarak 50 m atau 100 m, tapi lari jarak jauh, 42 km atau bahkan ultra-marathon. Siapa yang tau. Tentu beda teknis, beda strategi persiapan, beda pula latihan, dan pelaksanaan.
Saya bukan pelari, tapi senang mengamati teman-teman yang pelari menyiapkan diri dan mengamati bagaimana pelaksanaan marathon atau event lari lainnya. Bagaimana mereka menyiapkan venue, meletakkan titik jeda minum, mengamankan pelari, dan termasuk memberikan semangat dan hiburan di spot tertentu. Karena, semua harus menyenangkan!
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
Sama dengan proses SFH yang dilakukan anak-anak kita sekarang. Seharusnya, menyenangkan. Sebaiknya pengelola SFH memperhatikan bagaimana 'pelari-pelarinya' menempuh jarak sejauh ini. Kalau event lari sudah jelas ada garis finishnya, SFH belum ada. Semua tergantung situasi dan kondisi.
ADVERTISEMENT
Sebelum kita bahas mengenai event lari-nya, eh anu, proses SFH-nya, kita bahas dulu pesertanya ya? Anak-anak kita. Tapi, kali ini saya akan fokus pada remaja. Sosok yang bukan lagi anak-anak, tapi juga belum dewasa.
Ketika para pelajar dirumahkan, tantangan yang terlintas pertama kali adalah: Bagaimana caranya supaya mereka tidak bosan dan tidak main game atau nonton YouTube terus. Kegiatan hiburan dimasukkan menjadi agenda harian.
Untuk usia 13 tahun ke bawah, mungkin berhasil, dengan supervisi orang tua. Masalah muncul pada remaja. Diatur enggak mau, mengatur diri sendiri masih ada bolong-bolongnya juga. Iya, umur tanggung. Coba kita pahami dulu mereka.
Remaja, kebutuhan utamanya adalah interaksi. Dalam berbagai bentuk. Ngobrol ngalor-ngidul sama teman, main basket atau main bola sampai basah kuyup oleh keringat, atau sekedar berada di sekeliling orang banyak. Pokoknya ada teman. Bagi mereka, teman yang paling mengerti mereka, teman gak sibuk kasih nasihat setiap kali bicara, dan teman mau mendengarkan.
ADVERTISEMENT
Perkara bagaimana saran yang diberikan, itu urusan belakangan. Ok, coba ditinjau ulang, di rumah: Bagaimana kebutuhan interaksi selama SFH? Bagaimana cara pemenuhannya? Dari sekolah: Adakah tugas dari sekolah yang memenuhi kebutuhan ini? Untuk sepekan pertama, mungkin remaja masih tahan. Tapi bagaimana kalau masih harus berjalan tanpa titik akhir yang jelas?
Ciri yang kedua, remaja maunya dianggap dewasa. Wajar, kita juga 'kan yang selalu bilang, "Kakak kan sudah besar," atau "Udah SMP/SMA lho, Kak, harusnya bla...bla...bla." Kita menuntut mereka untuk bersiap jadi orang dewasa yang bertanggung-jawab, mandiri, dan dapat dipercaya. Sayangnya, kadang kita memperlakukan mereka sebaliknya.
Eh gimana, gimana? Iya, harapannya mereka jadi dewasa, sementara perlakuan kita ke mereka justru mengkerdilkan harapan tadi. Contoh nih ya, (harusnya) mereka mandiri. Mengerjakan aktivitasnya sendiri, mengelola dan mengatur diri sendiri. Ketika SFH, lantas tiap jam kita tanya, "udah selesai tugasnya?
ADVERTISEMENT
Kamu kok pegang hp terus? Ini-nya udah belum? Itu-nya udah belum? Dst. Dsb. Dsmc." Begitu juga dengan 'bertanggung-jawab' dan 'dapat dipercaya'. Kadang justru kita orang dewasa yang memperlakukan mereka seperti anak kecil, "coba lihat?! Yakin udah?
Ilustrasi anak belajar di rumah Foto: Shutterstock
Ini temen-temen kamu bla..bla..bla. Di WAG katanya kamu disuruh bla..bla..bla." Orang tua menjadi penyedia, memang harus. Kalau ada yang di luar kebiasaan, mesti nanya dong. Dan, anaknya sudah dibiasakan untuk cerita untuk minta tolong kalau mereka perlu pertolongan. Mereka harusnya berinteraksi dengan gurunya, jika urusan pelajaran sekolah.
Orang tua cukup tau apa yang dilakukan anaknya, tanpa ikut campur terlalu jauh. Apalagi kepo. Sampai anaknya risih. Lantas tidak mau lagi cerita dengan orangtuanya. Kacau 'kan jadinya?
ADVERTISEMENT
SFH ini aktivitas jangka panjang. Kita dipaksa untuk menyesuaikan diri secara cepat. Cara yang paling membantu untuk melakukan perubahan, penyesuaian, dan antisipasi adalah dengan tetap terjadwal.
Termasuk tugas-tugas dari sekolah. Saya masih menuliskannya sebagai tugas, karena sampai memasuki pekan kedua, belum ada proses pemberian materi. Kalau WFH, jadwalnya lebih terprediksi, ada tugas, ada tenggat (deadline), ada jadwal diskusi, dan ada jadwal kerja. Bisa 'kan SFH melakukan hal yang sama? Bisa dong.
Stay safe, keep healthy, be happy.