Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membongkar Pasar Eropa di Tengah Pandemi COVID-19
30 Agustus 2020 22:03 WIB
Tulisan dari AM. Sidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi Covid-19, semua negara berupaya menyelamatkan diri masing-masing dari ancaman resesi ekonomi. Namun semua negara juga sadar bahwa tidak ada negara yang bisa survive tanpa perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia pun berupaya melakukan percepatan pemulihan ekonomi antara lain dengan perdagangan internasional. Pertanyaannya, apakah benua Eropa masih menjadi pasar menarik bagi Indonesia?
Acap kali kita dengar bahwa Eropa adalah benua tua dengan pertumbuhan ekonomi lambat dan pasar yang jenuh bagi produk ekspor Indonesia. Sebelum Covid-19 menyerang, pertumbuhan ekonomi Eropa tergolong rendah selama lima tahun terakhir (sekitar 1%) dan akan tetap lambat pada 2019-2020 dengan rata-rata sekitar 1,1% (European Economic Forecast 2019).
Dengan hantaman keras Covid-19, ekonomi Uni Eropa diramalkan akan akan mengalami kontraksi sebesar 7,7% dan bersiap menghadapi resesi lebih parah dari yang diprediksi sebelumnya.
Terlebih lagi, pada tahun 2019, Parlemen Eropa mengeluarkan kebijakan yang secara tidak langsung membatasi akses produk sawit Indonesia masuk ke Uni Eropa. Membuat Eropa menjadi tempat yang semakin tidak nyaman sebagai tujuan ekspor Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menanggapi lesunya ekonomi Eropa dan hambatan perdagangan itu, pemerintahan jilid pertama Presiden Jokowi menerapkan strategi “diversifikasi pasar” dan diplomasi ekonomi menjadi salah satu poros utama kebijakan luar negeri RI. Mesin diplomasi kita digenjot untuk membawa pulang manfaat ekonomi ke Tanah Air. Diversifikasi pasar juga diterapkan dengan mengubah fokus tujuan ekspor yang sebelumnya ke negara-negara maju, seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang (pasar tradisional); kini beralih negara-negara berkembang dengan potensi pasar besar, seperti di Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Eropa Timur (pasar non-tradisional).
Strategi diversifikasi pasar ini tidak salah, tetapi cenderung menegasikan fakta bahwa selama ini kita belum optimal memanfaatkan Eropa sebagai pasar ekspor tradisional, bahkan sebagian wilayah Eropa masih minim tergarap. Meskipun terletak di benua Eropa, terdapat dua kelompok sub-kawasan Eropa yang menyimpan ke potensi luar biasa sebagai emerging market, yakni “EFTA” sebagai kelompok negara-negara termakmur di Eropa Tengah Utara dan “Visegrad Group” sebagai kelompok negara Eropa Timur dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Eropa.
ADVERTISEMENT
Kelompok negara Eropa dengan ekonomi termakmur
Ketika bicara tentang pasar Eropa, kita cenderung membatasi perhatian kita pada Uni Eropa dan melupakan fakta bahwa kelompok negara Eropa yang paling makmur dan berdaya beli tertinggi, yaitu Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss, justru tergabung dalam “klub eksklusif” EFTA (European Free Trade Association) dan bukan bagian dari Uni Eropa.
Pasar EFTA memang kecil (+14 juta penduduk), tetapi memiliki daya beli yang sangat besar, yaitu USD 72ribu perkapita. Saat ini, EFTA adalah tujuan ekspor Indonesia urutan ke-23 dan asal impor ke-25. Nilai total perdagangan Indonesia-EFTA (2018) mencapai USD 1 miliar dan diprediksi akan meningkat pasca ditandatanganinya Indonesia-EFTA CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) pada Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Indonesia-EFTA CEPA adalah perjanjian perdagangan bebas pertama Indonesia dengan Eropa. Ditargetkan pada 2020, ratifikasi di Indonesia dan negara-negara EFTA rampung, maka CEPA mulai melaju. Berbeda dengan Preferential Trade Agreement (PTA) dan Free Trade Agreement (FTA) yang hanya menegosiasikan akses pasar, CEPA merupakan kemitraan komprehensif mencakup perdagangan barang, jasa, investasi, juga kerja sama ekonomi yang lebih luas, seperti pengembangan kapasitas, pendidikan tinggi, dan vokasi. Dan untuk pertama kalinya, pada CEPA dengan EFTA, Indonesia menegosiasikan perdagangan dan pembangunan berkelanjutan (trade and sustainable development/TSD). Hal ini menunjukan komitmen kuat Indonesia bahwa perdagangan wajib berkontribusi terhadap aspek pembangunan berkelanjutan dalam bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan standar ketenagakerjaan.
Dengan berlakunya CEPA dengan EFTA, maka Indonesia dapat menikmati akses produk Indonesia di pasar Eropa, peningkatan investasi sektor teknologi tinggi dari negara-negara EFTA, pengembangan kapasitas, standardisasi, dan pelatihan vokasi, serta aneka kerja sama turunan lainnya. Dalam perdagangan barang, sekitar 90% total pos tarif akan dihapuskan dari masing-masing negara EFTA untuk produk Indonesia. Produk sawit Indonesia juga mendapat akses pasar penuh dari Islandia dan Norwegia, serta akses khusus dari Swiss.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang investasi, negara-negara anggota EFTA dikenal sebagai sumber investasi asing langsung bagi banyak negara, terutama di sektor keuangan dan perbankan (Swiss dan Liechtenstein), telekomunikasi (Norwegia), farmasi, kimia, dan plastik (Islandia, Swiss), ekstraksi pertambangan dan migas (Norwegia), energi panas bumi (Islandia), serta manufaktur dan jasa logistik (Swiss dan Norwegia).
Fakta menarik lainnya adalah, di tengah himpitan pandemic Covid-19, ekspor Indonesia ke Swiss justru melonjak tajam. Dalam lima bulan pertama tahun ini, yaitu Januari – Mei 2020, ekspor Indonesia naik sebesar 284% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Kopi dan minyak atsiri adalah di antara produk Indonesia yang mengalami kenaikan lumayan besar.
Kelompok negara Eropa dengan pertumbuhan ekonomi tercepat
Di samping EFTA yang dikenal sebagai klub negara Eropa termakmur, terdapat pula Visegrad Group (terdiri dari Ceko, Hungaria, Polandia, dan Slowakia) yang merupakan kelompok negara Eropa Tengah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, yaitu sekitar 4,1% atau jauh di atas rata-rata Uni Eropa (±1%).
ADVERTISEMENT
Didirikan sejak 1991 di Kastil Visegrad Hongaria untuk mengenang persatuan Kerajaan Bohemia, Hongaria, dan Polandia tahun 1335, empat negara Visegrad Group (V4 ) juga merupakan anggota Uni Eropa. Kombinasi ukuran ekonomi V4 setara dengan perekonomian terbesar ke-5 di Eropa dan memiliki posisi tawar yang semakin mengemuka di dalam Uni Eropa.
Dewasa ini, kerja sama Indonesia dengan keempat negara Visegrad Group semakin berkembang, tetapi belum mencerminkan potensi sebenarnya. Volume perdagangan Indonesia-V4 mencapai ±USD 1 miliar (2018) dengan sokongan ekspor produk-produk manufaktur Indonesia. Sejumlah perusahaan farmasi Indonesia telah berinvestasi di kawasan tersebut dan perusahaan-perusahaan di kawasan V4 juga banyak menyedot pekerja migran Indonesia. Turis dari V4 juga melonjak ke Indonesia sebesar 300% selama lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Jika pasar Eropa tidak lagi menjadi prioritas tujuan ekspor Indonesia karena ukuran dan pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, maka seharusnya tidak demikian bagi EFTA dan V4. Prospek kerja sama ekonomi dengan Eropa justru menemukan peluangnya sebagai kelompok negara Eropa dengan daya beli tertinggi (EFTA) dan pertumbuhan ekonomi tercepat (V4).
Pada Trade Expo Indonesia (TEI) 2019 lalu, sejumlah transaksi bisnis senilai berhasil dicatatkan antara perusahaan Indonesia dengan negara-negara di kawasan EFTA dan Visegrad Group, seperti USD 45juta di sektor budidaya ikan (Norwegia), 35 juta Euro di sektor hydropower (Hongaria), USD 1juta sektor kopi (Slowakia), dan USD 500ribu di sektor produk minyak sawit (Hongaria). Lebih jauh lagi, pada Indonesia-Visegrad Group Business Forum di sela-sela TEI 2019 juga ditandatangani delapan kontrak bisnis pengiriman tenaga kerja terlatih antara enam perusahaan Indonesia-Polandia pada sektor jasa, industri, dan perdagangan. Transaksi ini semakin menguatkan bahwa pasar Eropa tetap perlu mendapatkan perhatian serius dalam bentuk strategi pemeliharaan (maintaining) sekaligus peningkatan (improving), terutama bagi EFTA dan Visegrad Group yang sangat menjanjikan.
Akhirnya, strategi diversifikasi pasar ekspor ini tidak salah, tetapi rawan kehilangan fokus. Alih-alih percepatan pemulihan ekonomi pasca Covid-19, jangan sampai kebijakan ekonomi kita meninggalkan kekuatan ekspor dan cenderung melupakan potensi emerging markets di benua Eropa, khususnya EFTA dan Visegrad. Ibarat kita harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Semoga saja tidak.
ADVERTISEMENT