Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Seri Syam #1: Koin Indonesia Beraksara Arab di Pasar Tua Damaskus
25 Agustus 2020 10:10 WIB
Tulisan dari AM. Sidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak banyak hiburan yang bisa didapati di Suriah ketika saya penugasan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Damaskus, Suriah, pada kurun 2015-2017. Negara Suriah yang cantik dan penuh berkah itu dicabik-cabik oleh konflik berkepanjangan. Maka hiburan paling standar bagi saya adalah menjelajahi Kota Tua Damaskus.
Kota Tua Damaskus adalah kota metropolitan nan megah di zamannya. Dikelilingi tembok tebal dan tujuh gerbang raksasa, serta gang-gang sempit beratap kain mirip di kisah 1001 malam. Jika senang dengan sejarah, hasrat kita akan terpuaskan di Damaskus. Setiap sudut kota di Damaskus punya cerita berabad-abad ke belakang.
Bagi saya, selalu menarik menyaksikan kehidupan keseharian di Kota Tua Damaskus. Kita akan mudah menemukan pemandangan klasik nan puitis di gang sempit itu: para pedagang barang-barang antik, semerbak aroma kopi bercampur shisha dari kedai kopi, tukang jus delima yang berteriak-teriak, dan sepasang muda-mudi yang bergandengan tangan erat seolah itu terakhir kalinya.
Damaskus memang kota hub perdagangan sejak zaman Phoenician ke Romawi Kristen ke Imperium Islam ke zaman modern. Kota itu adalah surga barang-barang antik. Kita bisa menemukan barang antik dari berbagai zaman di Damaskus, termasuk koin-koin kuno. Apalagi di tengah konflik, ketika para kolektor menjual koleksinya untuk bertahan hidup.
Karena sering kali saya mengunjungi Kota Tua Damaskus di akhir pekan, saya bersahabat dengan beberapa para pedagang barang-barang antik. Kehangatan dan kesederhanaan mereka seolah energi kehidupan yang tidak pernah usang oleh guliran masa.
Salah satunya adalah Jamil. Bapak dari empat anak gadis ini adalah pemilik Shagir Antiques di salah satu pojok Kota Tua Damaskus. Secangkir teh manis, roti hangat, dan obrolan ngalor-ngidul dengan Jamil adalah liburan akhir pekan saya dari urusan repatriasi dan evakuasi warga negara Indonesia dari wilayah konflik.
Pada suatu Sabtu sore, Jamil setengah berteriak ketika melihat saya muncul di pintu tokonya.
ADVERTISEMENT
"My friend! Ahlan wa sahlan welcome!" sahutnya sambil merapikan kursi menyilakan saya duduk. "I have something spesial for you."
Ia mengeluarkan sekeping koin dari laci dan menaruhnya di telapak tangannya. "Lihat, ini koin Indonesia, bukan?"
Saya kira Jamil berhasil menemukan lampu jin Aladin seperti permintaan saya bulan lalu. Saya pun mengulurkan leher dan mencoba memeriksa koin di telapak tangannya.
"Ya, itu adalah koin Indonesia 25 sen tahun 1952," saya menjawab mantap. Ukuran dan material sangat mirip dengan koin Rp500 "bunga melati" tahun 2003.
Namun, yang paling menarik dari koin ini adalah penggunaan aksara Arab pada koin Indonesia. Bagi saya, koin ini menyibak banyak hal dari masa lalu.
"Mengapa Indonesia menggunakan aksara Arab?" si penjual koin malah bertanya ke saya.
ADVERTISEMENT
"Hmmm... mungkin karena sebagian besar rakyat Indonesia tahun 1950-an lebih familiar dengan tulisan Arab," jawab saya sekenanya, tapi malah jawaban itu balik menyerang saya dengan lebih banyak pertanyaan dalam kepala dan pencarian.
Usut punya usut, ternyata Indonesia pernah mencetak koin dengan tulisan Arab, yakni 1 sen (1952), 5 sen (1951—1954), 10 sen (1951—1954), dan 25 sen (1952). Setelah itu aksara Arab dalam mata uang Indonesia lenyap dan digantikan seluruhnya dengan huruf latin.
Sejak lama kita selalu dijejali data bahwa pada masa awal kemerdekaan, tingkat buta huruf di Indonesia mencapai lebih dari 90%! Bayangkan suatu bangsa yang menuntut kemerdekaan padahal hanya kurang dari 10% penduduknya yang bisa baca tulis. Bagaimana bangsa merdeka itu kelak bisa menjalankan pemerintahannya dan mengurus negaranya jika baca tulis saja tidak becus? Tidak heran salah satu perdebatan sengit di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah bangsa ini belum siap untuk merdeka karena masih bodoh dan belum bisa baca tulis.
Namun tunggu dulu… sebetulnya bangsa Indonesia saat itu "buta huruf" atau "buta huruf latin"? Bagaimana dengan aksara Arab yang sudah lebih dulu dikenal oleh umat Islam di Indonesia? Atau bagaimana dengan aksara-aksara lokal Nusantara? Apakah mereka juga dijebloskan ke dalam 90% penduduk yang buta huruf itu? Saya teringat almarhumah nenek yang lahir sebelum Indonesia merdeka. Beliau besar di lingkungan pesantren terbata-bata dan berat sekali membaca aksara latin, tapi sangat cepat dan ringan membaca tulisan Arab/Arab Melayu/Pegon. Apakah beliau almarhumah buta huruf?
ADVERTISEMENT
Didorong oleh rasa penasaran, penemuan koin ini menuntun saya untuk menggali lebih dalam tentang sejarah aksara Arab Melayu/Jawi/Pegon. Sebelum masa kolonial, Arab Melayu/Jawi/Pegon ini luas digunakan sebagai bahasa sastra, bahasa pendidikan, dan bahasa resmi kerajaan se-Nusantara. Beberapa karya sastra ditulis dengan aksara ini, seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Amir Hamzah, Syair “Singapura Terbakar” karya Abdul Kadir Munsyi (1830), juga karya-karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan tafsir Qur’an karya Kyai Saleh Darat juga ditulis dengan Arab Pegon yang kini sudah banyak dilupakan.
Surat-surat raja Nusantara, stempel kerajaan, dan mata uang pun ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi ini. Kesultanan Pasai Aceh, Kerajaan Johor dan Malaka, Kesultanan Pattani pada abad 17, secara resmi menggunakan Arab Melayu sebagai aksara kerajaan. Termasuk juga dalam hubungan diplomatik, kerajaan-kerajaan Nusantara menggunakan aksara Arab Melayu untuk membuat perjanjian perjanjian resmi baik dengan Inggris, Portugis, maupun Belanda. Deklarasi kemerdekaan Persemakmuran Tanah Malaya (Malaysia) tahun 1957 juga ditulis dalam aksara Arab Melayu.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, pengaruh kuat dominasi kolonial Belanda lambat laun menggeser kejayaan aksara Arab Melayu/Pegon. Terlebih lagi pada pergantian abad ke-19, media penerbitan secara besar-besaran mencetak huruf latin sebagai media komunikasi massa. Pun juga setelah merdeka, Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melestarikan aksara latin dengan menyebut orang-orang yang sehari-hari menggunakan aksara Arab Melayu atau aksara daerah, tapi tidak bisa membaca huruf latin, sebagai "buta huruf."
Jika kini Bank Indonesia menerbitkan koin atau uang Indonesia dengan aksara Arab, pastilah perdebatan sengit dan diskusi tajam tidak henti-henti sepanjang hari. Di media sosial, polarisasi akan membelah masyarakat. Maka dari itu, tahun ini, kita tidak bisa membayangkan Bank Indonesia akan menerbitkan uang Indonesia beraksara Arab.
Bagi kolektor uang, koin Indonesia tahun 1952 bukanlah koin langka dan spesial. Namun, perjumpaan saya dengan koin Indonesia tahun 1952 di Damaskus menyibak banyak hal. Bahwa aksara sebagai rekaan bahasa tidak hanya memberi tanda dan makna, tetapi juga merupakan representasi kekuasaan yang dominan di masyarakat itu. Dan uang koin 25 sen Indonesia beraksara Arab merekam ini dengan sangat jelas.***
ADVERTISEMENT